Tulisan ini didipetik dari tafsir al Fatihah oleh Almarhum Dr HAMKA .
Segala sembahyang tidak sah, kalau tidak membaca al-Fatihah. Tersebut dalam Hadis-hadis:
Dan hendaklah dibaca pada tiap·tiap rakaat, karena Hadis:
1. Daripada Ubadah bin as·Shamit, bahwasanya Nabi s.a.w. berkata:
“Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil-Kitab.“ (Dirawikan oleh al-Jamaah).
2. Dan pada lafaz yang lain: “Tidaklah memadai sembahycmg bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil·Kitab.” (Dirawikan oleh adDawquthni. dan beliau berkata bahwa isnad Hadis ini shahih).
3. “Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya Ummul Quran.” (Dirawikan oleh Im0m Ahmad).
Dengan Hadis-hadis ini dan beberapa Hadis lain sama bunyinya, sependapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain daripada membaca al·Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kiita baca. Demikianlah Mazhab Imam Malik. Imam Syafi’i dan jumhur Ulama, sejak dari sahabat·sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi’in dan yang sesudahnya. Oleh sebab itu baik Imam atau ma’mum. wajiblah sernuanya membaca al·Fatihah di dalam sembahyang.
4. “Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi s.a.w. adalah beliau tiap·tiap rakaat membaca Fatihatil-Kitab.” (Dirawikan oleh Bukhari)
Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-F atihah itu diiringkan pula dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan hafal oleh yang bersangkutan; karena ada Hadis:
5. “Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang
mudah.” (Dirawikan oleh Abu Daud danpada Abu Said al·Khudri).
Berkata Ibnu Sayidin Nas: “Isnad Hadis ini shahih dan rijalnya semua dapat dipercaya. ”
Kalau Imam sedang membaca dengan jahar hendaklah ma’mum berdiam diri dan rnendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca ma’mum sedang Imam membaca, hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan Imam jangan terganggu.
6. “Daripada Ubadah, berkata dia bahwa satu ketika Rasullullah s.a.w. sembahyang Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka takala sembahyang telah selesai, berkatalah beliau: Saya perhatikan kamu membaca. Berkata Ubadah: Kami jawab: Ya Rasulullah, memang kami membaca. Lalu berkatalah beliau: Jangan kamu lakukan itu, kecuali dengan Ummul-Quran. Karena sesungguhnya tidaklah sah sembahyang bagi barangsiapa yang tidak membacanya.” (Hadis ini dirawikan oleh Abu Daud dan T ermidzi).
7. Dari Ubadah bahwasanya Rasulullah s.a.w. pernah berkata: “Sekali-kali jangan seorangpun di antara kamu membaca sesuatu dari al-Quran, apabila aku menjahar, kecuali dengan Ummul Quran.” (Dirawikan oleh ad-Daruquthni)
Dan ada lagi beberapa Hadis yang lain yang bersamaan maknanya yaitu kalau Imam menjahar, yang boleh dibaca oleh ma’mum di belakang Imam yang menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca.
Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad di antara Ulama-ulama Fiqh tentang membaca di belakang Imam yang sedang menjahar itu. Kata setengah ahli ijtihad, kalau Imam membaca jahar, hendaklah ma’mum berdiam diri mendengarkan, sehingga al·Fatihah pun cukuplah bacaan Imam itu saja didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah Hadis:
8. “Dan Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah s.a.w. berkata: Sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu. Maka apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila dia membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri.” (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali T ermidzi. Dan berkata Muslim: “Hadis ini shahih”).
Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 daripada Surat 7 (Surat alA’raf).
“Dan apabila dibaca orang al-Quran, maka dengarkanlah olehmu akan dia dan berdiam dirilah, supaya kamu diberi rahmat.” (al-A’raf: 204)
Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tetapi tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun Imam membaca jahar, namun ma’mum masih wajib membaca al·Fatihah di belakang Imam. Sebab – kata mereka – baik Hadis yang dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir Surat al-A’raf itu ialah perintah yang am,sedang Hadis Ubadah dan Hadis-hadis yang lain itu ialah khas. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:
“Membinakan yang am atas yang khas adalah wajib.”
Jadi kalau kita nyatakan seeara lebih mudah difahami ialah: Isi ayat Surat alA’raf ialah memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika al-Quran dibaca orang. Itu aam atau umum di mana saja, kecuali seketika menjadi ma’mum di belakang Imam yang menjahar. Maka pada waktu itu perintah mendengar dan berdiam diri itu tidak berlaku lagi, sebab Nabi telah mengatakan bahwa tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah. Maka kalau dia mendengarkan bacaan Imam saja dan berdiam diri, padahal dia disuruh membaca sendiri di saat itu tidaklah sah sembahyangnya.
Hadis Abu Hurairah pun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. Inipun umum. Maka dikecualikanlah dia oleh Hadis Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apa-apa juapun, kecuali al·F atihah.
Dan datang pula sebuah Hadis Anas bin Malik, dirawikan oleh Ibnu Hibban, demikian bunyinya:
9. “Berkata Rasulullah s.a.w.: Apakah kamu membaca di dalam sembahyang yang kamu di belakang Imam, padahal Imam sedang membaca? Jangan berbuat begitu. T etapi hendaklah membaca tiap seorang kamu akan Fatihatul-Kitab di dalam dirinya. (Artinya; baca dengan tidak keras-keras.)”
Oleh sebab itu maka golongan pertama tadi menjalankanlah kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang Imam yang menjahar, tetapi tidak boleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca. Dan apabila telah selesai membaea al·F atihah, merekapun menjalankan maksud Hadis, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan Imam yang lain.
Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti samasekali membaea al-Fatihah karena berpegang pada Hadis Abu Hurairah dan ayat 104 Surat al-A’raf tadi, pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah dihormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua faham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka penulis menjawab: “Aku memegang faham yang pertama, yaitu walaupun Imam menjaharkan bacaannya, namun sebagai ma’mum penulis tetap membaca alFatihah untuk diri sendiri. Karena payah penulis hendak mengenyampingkan Hadis yang terang tadi, yaitu tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah.”
Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri sejenak, atau seketika dia membaca? Maka Ulama-ulama dalam MazhabSyafi’i, berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca al-F atihah dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak memberi kesempatan kepada ma’mum supaya mereka membaca al-F atihah pula. T etapi kalau Imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat at au Surat-surat yang mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca alFatihah, terus pulalah si ma’mum membaca al-Fatihah, sedang Imam itu membaca Surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah si ma’mum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.