Istilah Ilmu Hadis.

Istilah Ilmu Hadis.

doa khat 

Al-‘Adalah 

Potensi (baik) yang dapat membawa pemi­liknya kepada takwa, dan (menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan segala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat­-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.

Dalam definisi lain, rawi yang adil ialah: yang meninggalkan dosa-dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil.

Al-Jarh ( at-Tajrih )

Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng­hilangkan) bobot predikat “al-‘adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.

Al-Jarh wa at-Ta’dil

Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per­nyataan adanya “al- ‘adalah” dan “hafalan yang bagus” pacia seorang rawi hadits.

Al-Mutaba’ah

Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa­yatkannya bersama para rawi suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau mak­na saja; dari seorang sahabat yang sama.

Ashhab as-Sunan

Para ulama penyusun kitab-kitab “Sunan” yaitu: Abu Dawud, at-Tirmidizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah.

Ash-Shahihain

Dua kitab shahih yaitu: Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Asy-Syaikhain

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

At-Ta’dil

Pernyataan adanya “al-‘Adalah” pada diri seorang rawi hadits.

Hadits Ahad

Hadits yang sanadnya tidak mencapai derajat mutawatir.

Hadits Dha’if

Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits hasan, dengan hilangnya salah satu syarat­-syaratnya.

Hadits Hasan

Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil dan me­miliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sam­pai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat.

Hadis Masyhur

Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih dalam setiap tabaqah, tetapi belum mencapai derajat mutawatir.

Hadits Matruk

Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pendusta.

Hadits Maudhu’

Hadits dusta, palsu dan dibuat-buat yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw.

Hadits Mungkar

Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dha’if(lemah) dan bertentangan dengan riwayat rawi yang tsiqah

Hadits Mutawatir

Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang rawi dalam setiap tabaqah, sehingga musta­hil mereka semua sepakat untuk berdusta.

Hadits Shahih

Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil dan memi­liki tamam adh-Dhabt (hafalan yang hebat) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sa­nadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me­miliki illat.

Ihalah

Isyarat yang diberikan seorang mu’allij, be­rupa tempat yang perIu dirujuk berkaitan dengan hadits atau masalah bersangkutan.

Illat

Sebab yang samar yang terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.

Inqitha’

Terputusnya rangkaian sanad. Dalam sanad­nya terdapat inqitha’, artinya: dalam sanad itu ada rangkaian yang terputus.

Jahalah

Tidak diketahui secara pasti, yang berkaitan dengan identitas dan jati diri seorang rawi.

Layyin

Lemah.

Lidzatihi

Pada dirinya (karena faktor internal). Misal­nya: Shahih Lidzatihi, ialah, hadits yang sha­hih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan pe­nguat atau faktor eksternal.

Lighairihi

Karena didukung yang lain (karena faktor eksternal). Misalnya: Shahih Lighairihi ialah, hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi shahih lighairihi.

Majhul

Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kc­cuali oleh seorang saja.

Majhul al – Adalah

Tidak diketahui kredibelitasnya.

Majhul al – Ain

Tidak diketahui identitasnya.

Majhul al Hal

Tidak diketahui jati dirinya.

Maqthu’

Riwayat yang disandarkan kepada tabi’in atau setelahnya, berupa ucapan atau perbuatan, baik sanadnya bersambung atau tidak ber­sambung.

Marfu’

Yang disandarkan kepada Nabi saw baik ucap­an, perbuatan, persetujuan (taqrir), atau sifat; baik sanadnya bersambung atau terputus.

Mauquf

(Riwayat) yang disan<jarkan kepada sahabat, baik perbuatan, ucapan atau taqrir. Atau, ri­wayat yang sanadnya hanya sampai kepada sahabat, dan tidak sampai kepada Nabi saw, baik sanadnya bersambung ataupun terputus.

Mu’allaq

(Hadits) yang sanadnya terbuang dari awal, satu orang rawi atau lebih secara berturut­turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya.

Mubham

Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.

Mudallis

Rawi yang melakukan tadlis.

Mu’dhal

Hadits yang di tengah sanadnya ada dua orang rawi atau lebih terbuang secara ber­turut-turut.

Munqathi’

Hadits yang di tengah sanadnya ada rawi yang terbuang, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan.

Mursal

(Hadits) yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi’in.

Gambarannya, adalah apabila seorang tabi­’in mengatakan, “Rasulullah saw bersabda, ….. atau “Adalah Rasulullah ~ saw melakukan ….ini dan itu …..

Nakarah

Makna hadits yang bertentangan dengan makna riwayat yang lebih kuat. Bila dikata­kan, “Dalam hadits tersebut terdapat nakarah” artinya, di dalamnya terdapat penggalan ka­limat atau kata yang maknanya bertentangan dengan riwayat yang shahih.

Syadz

Apa yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pada hakikatnya kredibel, tetapi riwa­yatnya tersebut bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih utama dan lebih kredibel dari dirinya.

Syahid

Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa­yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.

Tadh’if

Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersang­kutan dha’if(lemah).

Tadlis

Menyembunyikan cela (cacat) yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskan­nya secara zhahir.

Tahqiq

Penelitian ilmiah secara seksama ten tang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang paling tepat.

Tahsin

Pemyataan bahwa hadits bersangkutan ada­lah hasan.

Takhrij

Mengeluarkan suatu hadits dari sumber­sumbemya, berikut memberikan hukum atas­nya; shahih atau dhaif.

Ta’liq

Komentar, atau penjelasan terhadap suatu potongan kalimat, atau derajat hadits dan sebagainya yang biasanya berbentuk cacatan kaki.

Targhib

Anjuran, atau dorongan, atau balasan baik.

Tarhib

Ancaman, atau balasan buruk.

Tashhih

Pemyataan shahih

Tsiqah

Kredibel, di mana pada dirinya terkumpul sifat  al- ‘Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).

Rujukan :

  1. Taisir Mushthalah aI-Had its, Dr. Mahmud ath-Thahhan.
  2. Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadits,
  3. Taujih al-Qari’ Ila al-Qawa’id Wa al-Fawa’id al-UshuIiyah Wa al Haditsiyah  Wa al-Isnadiyah Fi Fath aI-Bari, al-Hafizh Tsanallah az­Zahidi.
  4. Program CD Har! Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif: (Ar-Rajihi).

 

Dipetik dari kitab Terjemahan Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib – Al Bani ( Pustaka Sahifa )

Dapatkan e book  

Ilmu Hadis Untuk Pemula

download di sini : http://www.scribd.com/doc/17243410/Ilmu-Hadis-Untuk-Pemula

Taisir Mustolahul-Hadis

 di http://www.scribd.com/doc/8096851/Taisir-Mustolahul-Hadis?autodown=pdf

Ilmu  Jarah Wal Ta’Dil – down load di sini :

http://www.scribd.com/doc/8097012/Ilmu-Jarah-Wal-TaDil

Ilmu Rijal Hadis download di sini 

http://www.scribd.com/doc/8097030/Ilmu-Rijal-Hadis

 

 

HADITS 12 KHALIFAH

Sahabat Syiah saya , Abu Hasan , dalam e-mail kepada saya menulis :

Saya kira sdr. sudah mengimani terdapatnya 12 orang Imam atau khalifah yang mengganti Rasullah untuk membimbing umat Islam sepeninggalan Rasullalah., sebagaimana disebut di dalam hadist al Bukhari , Muslim, Tarmizi dan  lain-lain. Atau sdr. mungkin memahami secara berbeza dengan apa yang difahami oleh AB bersabit hadist –hadist tersebut..  Silalah maklumkan kepada saya sekiranya pemahaman sdr. berbeza.

Berikut tulisan berkaitan,  mengenainya :

MENARAKECILSalah satu hadis yang menjadi hujah Syiah yang telah di sanggah oleh Ustaz Hafiz Firdaus Abdullah dalam bukunya Jawapan Ahl al-Sunnah kepada Syi’ah al-Rafidhah dalam Persoalan Khalifah ialah hadis 12 Khalifah.  Jika saudara pembaca tidak memiliki buku tersebut sila lawati laman beliau di http://hafizfirdaus.com/content/view/175/76/

Hadits-Hadits Rasulullah Yang Dijadikan Hujjah Oleh Syi’ah: HADITS 12 KHALIFAH

Ketika membahas Hadis al-Tsaqalain, Muhammad Mar’i al-Amin telah menyebut tentang ‘Ali dan kesemua sebelas anak keturunannya sebagai para imam yang maksum. Apa yang beliau maksudkan merujuk kepada hadis berikut daripada Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anh:

Aku bersama ayahku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku mendengar baginda bersabda: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan selesai sehingga berlaku kepada mereka dua belas orang khalifah.”

(Jabir meneruskan): Kemudian baginda berbicara dengan suara yang perlahan kepada aku (sehingga aku tidak dapat mendengarnya). Aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang (Rasulullah) perkatakan?” Ayahku menjawab: “Semua mereka daripada bangsa Quraisy.”

Di sisi Syi‘ah, dua belas orang khalifah yang dimaksudkan dalam hadis di atas ialah ‘Ali dan sebelas anak keturunannya. Hadis ini bukan sahaja menjadi hujah di sisi Muhammad Mar’i al-Amin tetapi kepada semua tokoh Syi‘ah. Penghujahan mereka adalah seperti berikut:

HUJAH SYI‘AH                                              

Muhammad Mar’i al-Amin menulis:[1]

Pengkaji-pengkaji menegaskan bahawa hadith-hadith tersebut menunjukkan bahawa khalifah-khalifah selepas Nabi SAWAW ialah dua belas orang (……).[2] Dan maksud hadith Nabi SAWAW ialah dua belas orang daripada Ahlu l-Baitnya. Kerana tidak mungkin dikaitkan hadith ini kepada khalifah-khalifah yang terdiri daripada (para sahabat baginda kerana)[3] bilangan mereka kurang daripada dua belas orang. Dan tidak mungkin dikaitkan dengan khalifah-khalifah Bani Umaiyyah kerana bilangan mereka melebihi dua belas orang dan kezaliman mereka yang ketara selain daripada ‘Umar bin Abdu l-Aziz. Tambahan pula mereka bukan daripada Bani Hasyim (kerana Nabi SAWAW telah bersabda: Semua mereka daripada Bani Hasyim).[4] ((Di dalam riwayat yang lain beliau memilih Bani Hasyim di kalangan Quraisy dan memilih Ahlu l-Baitnya di kalangan Bani Hasyim.)) [5]

……Sesungguhnya riwayat-riwayat yang berbilang-bilang yang datang kepada kita menurut metod Ahlu s-Sunnah adalah sekuat dalil, dan hujjah yang paling terang bahawa sesungguhnya khalifah selepas Rasulullah SAWAW secara langsung ialah Imam Amiru l-Mukminin ‘Ali bin Abi Talib AS. Dan selepasnya ialah anak-anaknya sebelas imam yang maksum, pengganti Rasul dan para imam Muslimin satu selepas satu sehingga manusia ‘berhadapan’ dengan Tuhan mereka. Tiada seorangpun yang dapat mengingkari hadith-hadith yang sabit yang diriwayatkan menurut riwayat para ulama besar Ahlu s-Sunnah dan pakar-pakar hadith mereka, lebih-lebih lagi menurut riwayat Syi’ah. Kecuali cahaya pemikirannya telah dipadamkan dan dijadikan di hatinya penutup. Justeru itu ia adalah termasuk di dalam firmanNya di dalam (Surah al-Baqarah (2): 171): 

Mereka itu bisu dan buta, maka (oleh sebab itu mereka tidak mengerti

Dan firmanNya (Surah al-Zukhruf(43):36):

 Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami akan adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya

 Dan firman-Nya (Surah al-Kahf(18):57):

Kami jadikan di hati mereka tutupan (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinga mereka, sekalipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, nescaya tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.

Demikianlah kedudukan Hadis 12 Khalifah yang begitu jelas membuktikan kekhalifahan ‘Ali dan sebelas anak keturunannya radhiallahu ‘anhum di sisi Syi‘ah. Sehinggakan sesiapa yang menolak hadis ini, ternyata dia telah ditutupi indera-inderanya, memiliki syaitan sebagai kawan karibnya dan tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.

Marilah kita membahas darjat dan kedudukan Hadis 12 Khalifah. Di akhir perbahasan, penulis yakin para pembaca dapat menilai sendiri siapakah yang sebenarnya telah ditutupi indera-inderanya, memiliki syaitan sebagai kawan karibnya dan tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.

 JAWAPAN AHL AL-SUNNAH            

 DARJAT HADIS 12 KHALIFAH.

Terdapat tiga darjat hadis yang perlu diterangkan dalam perbahasan ini:

Hadis Pertama:

Pertama adalah hadis yang membentuk asas penghujahan, iaitu:

Aku bersama ayahku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku mendengar baginda bersabda: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan selesai sehingga berlaku kepada mereka dua belas orang khalifah.”

(Jabir meneruskan): Kemudian baginda berbicara dengan suara yang perlahan kepada aku (sehingga aku tidak dapat mendengarnya). Aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang (Rasulullah) perkatakan?” Ayahku menjawab: “Semua mereka daripada bangsa Quraisy.”

Hadis ini dikeluarkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 1821 (Kitab kepimpinan, Bab manusia berbai‘ah kepada Quraisy……) Para pengkaji Syi‘ah menyatakan hadis ini telah diriwayatkan oleh lebih 12 orang sahabat selain Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhum.

Perhatian para pembaca ditarik kepada penggunaan istilah “khalifah” dalam hadis di atas. Inilah yang penulis maksudkan ketika membahas Hadis al-Ghadir bahawa jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin melantik ‘Ali radhiallahu ‘anh sebagai khalifah pengganti baginda, pasti baginda akan menggunakan istilah “khalifah” dan tidak istilah Mawla atau Wali. Ini kerana istilah “khalifah” adalah sesuatu yang lazim baginda gunakan, sepertimana Hadis 12 Khalifah di atas. Jika Rasulullah memilih untuk tidak mengguna istilah “khalifah” terhadap ‘Ali di dalam Hadis al-Ghadir, bererti baginda sememangnya tidak bermaksud untuk melantik ‘Ali sebagai khalifah penggantinya.

Hadis Kedua:

Kedua adalah dakwaan Hadis 12 Khalifah yang diakhiri dengan lafaz Semua mereka daripada Bani Hasyim”. Setakat ini penulis tidak menemuinya dalam mana-mana rujukan hadis Ahl al-Sunnah bahawa Hadis 12 Khalifah diakhiri dengan lafaz Bani Hasyim. Yang benar ia diakhiri dengan lafaz “Semua mereka daripada bangsa Quraisy.” Ketika mengemukakan Hadis 12 Khalifah dengan lafaz pengakhirnya: “Semua mereka daripada Bani Hasyim”, Muhammad Mar’i al-Amin sendiri tidak memberikan catitan notakaki kepada sumbernya, apatah lagi darjat kekuatannya.

Adapun penyataan: “Di dalam riwayat yang lain beliau memilih Bani Hasyim di kalangan Quraisy dan memilih Ahl al-Baitnya di kalangan Bani Hasyim”, ia tidak terdapat dalam edisi Arab yang asal. Riwayat yang dimaksudkan dalam bentuknya yang lengkap adalah seperti berikut:

Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.

Hadis ini dikeluarkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 2276 (Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi). Terdapat dua perkara yang perlu diluruskan berdasarkan hadis di atas:

1.      Dalam hadis di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyatakan Allah telah memilih Ahl al-Bait daripada Bani Hasyim, sebaliknya telah memilih dirinya daripada Bani Hasyim.

2.      Hadis di atas tidak berperanan mengkhususkan 12 Khalifah daripada bangsa Quraisy kepada Bani Hasyim sahaja. Ia hanya menerangkan keutamaan Bani Hasyim dan bukan kelayakan mereka secara automatis menjadi khalifah.

 Hadis Ketiga:

Dalam sumber-sumber Syi‘ah, mereka mengemukakan beberapa hadis yang kononnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebut satu persatu nama-nama para khalifah yang dua belas tersebut, terdiri daripada ‘Ali dan sebelas anak keturunannya. Malang sekali hadis-hadis tersebut dikemukakan tanpa sanad, jauh sekali daripada dinilai darjat kekuatannya. Oleh itu dalam perbahasan ini kita tidak akan memberi perhatian kepada hadis-hadis tersebut kerana tanpa sanad, ia tidak memiliki apa-apa nilai.

 MAKSUD HADIS 12 KHALIFAH

Sekali lagi, izinkan penulis memberi sebuah contoh perumpamaan bagi memudahkan para pembaca yang budiman sekalian memahami maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sebalik Hadis 12 Khalifah.

Umpamakan sebuah syarikat yang melancarkan kempen motivasi bagi para pekerjanya demi menaikkan produktiviti kerja. Untuk mencapai hasrat ini, pihak pengurusan syarikat merancang akan memilih bagi setiap bulan seorang pekerja yang terbaik (staff of the month). Pemilihan adalah berdasarkan ciri-ciri yang ada pada seseorang pekerja seperti disiplin yang baik, penampilan diri yang kemas, budaya kerja yang sihat, kepimpinan yang memberi teladan kepada yang lain, komunikasi yang ramah mesra antara pekerja dan pelbagai lagi sifat-sifat yang positif. Dengan adanya pemilihan pekerja yang terbaik oleh pihak pengurusan, ia memberi motivasi kepada semua pekerja untuk memberikan prestasi yang terbaik agar mereka terpilih. Lebih dari itu, dengan adanya pemilihan yang dilakukan pada setiap bulan, para pekerja akan berusaha memberi prestasi yang terbaik secara berterusan supaya jika dia tidak terpilih pada bulan tertentu, dia akan dipilih pada bulan-bulan yang akan datang.

Percaya atau tidak, usaha memberi motivasi sebagaimana contoh di atas yang banyak dilaksanakan di syarikat-syarikat masa kini, sebenarnya telah diusahakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih 1400 tahun yang lalu. Baginda sendiri telah banyak memberi “hadis-hadis motivasi” kepada umatnya agar mereka berusaha keras demi kebaikan agama dan umat.  Berikut adalah tiga “hadis motivasi” yang dapat penulis kemukakan sekadar contoh:[6]

Contoh hadis motivasi # 1:

Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada permulaan setiap seratus tahun seorang yang memperbaharui baginya agamanya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anh, dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya dan para imam selainnya, dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Daud – hadis no: 4291 (Kitab al-Malahin, Bab apa yang disebut tentang kurun 100 tahun).

Contoh hadis motivasi # 2:

Perumpamaan umatku adalah umpama hujan, tidak diketahui apakah yang baik itu pada awalnya atau akhirnya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ‘Amr, ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Abd Allah ibn ‘Umar radiallahu ‘anhum, dikeluarkan oleh Ahmad, al-Tirmizi, Abu Ya’la dan lain-lain. Ia dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shagheir – hadis no: 5854.

Contoh hadis motivasi # 3:

Masa kenabian akan berlangsung di kalangan kalian sehinggalah satu tempoh yang dikehendaki Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya apabila Dia ingin mengangkatnya.

Kemudian akan berlangsung (sistem pemerintahan) khalifah yang berada di atas manhaj Nubuwwah sehinggalah satu tempoh yang dikehendaki Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya apabila Dia ingin mengangkatnya.

Kemudian akan berlangsung (sistem pemerintahan) beraja yang menggigit (menghimpit) sehinggalah satu tempoh yang dikehendaki Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya apabila Dia ingin mengangkatnya.

Kemudian akan berlangsung (sistem pemerintahan) beraja yang mengganas (zalim) sehinggalah satu tempoh yang dikehendaki Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya apabila Dia ingin mengangkatnya.

Kemudian akan berlangsung (semula sistem pemerintahan) khalifah yang berada di atas manhaj Nubuwwah.

Kemudian baginda diam.

Hadis ini diriwayatkan oleh Huzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anh, dikeluarkan oleh Ahmad di dalam Musnadnya dan sanadnya dinilai hasan oleh Syu‘aib al-Arna’uth dalam semakannya ke atas kitab Musnad Ahmad – hadis no: 18406 (Awal Musnad al-Kufayyan, Hadith Nu’man bin al-Basyir).

Ketiga-tiga hadis di atas bersifat memberi motivasi kepada umat Islam dengan caranya yang tersendiri:

1.      Hadis pertama memberi motivasi kepada umat Islam untuk sentiasa berusaha memperbaharui agama mereka, yakni dengan cara mengembalikannya kepada bentuk yang tulen sepertimana baru, bersih daripada bid‘ah dan penyelewengan.[7]

2.        Hadis kedua memberi motivasi kepada umat Islam untuk sentiasa berusaha ke arah kebaikan tanpa berputus asa kerana hasil kebaikan itu tetap akan diperoleh satu hari nanti.

3.      Hadis ketiga menerangkan janji Allah Subhanahu wa Ta‘ala bahawa sistem pemerintahan khalifah akan kembali mengurus umat Islam. Umat Islam akan kembali berbai‘ah, memberi janji taat setia kepada khalifah Islam dan meninggalkan amalan masa kini yang berbai‘ah kepada “Bangsa-Bangsa Bersatu” atau sistem pemerintahan ala Barat. Ia memberi motivasi kepada kita semua untuk sentiasa berusaha ke arahnya tanpa berputus asa atau berselesa dengan apa yang ada masa kini.

Ciri penting untuk mengenal hadis-hadis motivasi adalah ia menerangkan tentang perkara yang akan berlaku tanpa memperincikan sesuatu nama, tempat atau masa.

Kini kita sampai kepada menjelaskan maksud Hadis 12 Khalifah. Ia termasuk dalam kategori “hadis motivasi”, bertujuan memberi motivasi kepada para khalifah umat Islam agar mereka memimpin umat dengan benar, adil dan berjaya. Hendaklah dia memimpin sehingga berjaya memberi kemenangan kepada Islam dan umatnya. Ini berdasarkan sebuah hadis yang lain yang dikeluarkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 1821-3 di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Islam akan terus menang selagi ia dipimpin oleh 12 khalifah.

Jika dikaji semua hadis yang menerangkan tentang kepimpinan 12 khalifah berdasarkan sanad yang sahih, tidak satu jua yang menerangkan nama para khalifah tersebut mahupun masa dan pusat pemerintahan mereka. Baginda hanya menerangkan bahawa mereka terdiri daripada bangsa Quraisy. Ini memang merupakan ciri-ciri hadis motivasi sebagaimana yang penulis jelaskan di atas.

Memandangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan hadis tersebut dalam bentuk yang terbuka, tidaklah perlu untuk kita menutupnya dengan menetapkan nama-nama khalifah tertentu. Apa yang boleh dilakukan ialah sekadar meramalkan siapakah khalifah yang menepati ciri-ciri hadis, seperti Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, Harun al-Rasyid, ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz dan sebagainya, radhiallahu ‘anhum.

Merujuk kepada hujah Syi‘ah yang menganggap 12 khalifah yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ialah ‘Ali dan kesemua 11 anak keturunannya radhiallahu ‘anhum, ia adalah hujah yang salah lagi jauh tersasar. Sebabnya, di kalangan ‘Ali dan kesemua 11 anak keturunannya, hanya ‘Ali dan anaknya Hasan bin ‘Ali yang pernah menjadi khalifah umat Islam. Baki sembilan daripada keturunan ‘Ali yang dinobatkan sebagai khalifah oleh Syi‘ah tidak pernah menjadi khalifah, justeru tidak pernah memimpin sehingga membawa kemenangan kepada agama dan umat. Oleh itu mereka tidak masuk ke dalam Hadis 12 Khalifah ini.[8]

Kesimpulan mudah kepada para pembaca:

Hadis 12 Khalifah bertujuan memberi motivasi kepada para khalifah umat Islam untuk memimpin secara benar, adil dan terbaik demi membawa kemenangan kepada agama dan umat.

Dakwaan Syi‘ah bahawa Hadis 12 Khalifah diwakili oleh ‘Ali dan sebelas keturunannya adalah tidak benar kerana mereka tidak pernah menjadi khalifah umat Islam. Yang benar hanya ‘Ali dan anaknya Hasan bin ‘Ali yang menepati ciri-ciri Hadis 12 Khalifah.


[1]         Mengapa Aku Memilih Ahlul-Bait? (edisi muat turun internet, Bab: Hadith-hadith yang menghadkan pengganti Rasulullah SAWAW kepada duabelas orang). Bagi rujukan asal: Limaza Akhtartu Mazhab al-Syi‘ah?, lihat ms. 171 & 180.

[2]           Terdapat teks yang tidak diterjemahkan, namun ia tidak mencemari hujah yang cuba disampaikan oleh Muhammad Mar’i al-Amin.

[3]           Teks ini tertinggal terjemahannya daripada edisi Arab yang asal.

[4]           Teks ini dalam edisi muat turun internet tertinggal terjemahannya. Akan tetapi dalam edisi bercetak ia tidak tertinggal.

[5]           Teks dalam kurungan berganda ini tidak terdapat dalam edisi Arab yang asal.

[6]           Inilah juga hadis-hadis yang lazim dikenali sebagai “Hadis-hadis Akhir Zaman”. Ia seringkali disalahfahami oleh kebanyakan orang bahawa kononnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meramalkan sesuatu yang buruk lagi bersifat negatif tentang umatnya. Padahal yang benar adalah sebaliknya. Lebih lanjut rujuk buku penulis: Kaedah Memahami Hadis-Hadis Musykil (Jahabersa, Johor Bahru 2003).

[7]           Apakah yang dimaksudkan sebagai “memperbaharui agama”? Rujuk penjelasan Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqih Tajdid Dan Shahwah Islamiyah (edisi terjemahan oleh Nabhani Idris daripada judul asal: Min Ajli Shahwatin Rasyidah Tujaddid al-Deen……wa Tanhadh  bi al-Dunya; Islamuna Press, Jakarta 1997).

[8]           Penulis menggunakan istilah “dinobatkan sebagai imam” kerana mengikut beberapa riwayat, para Ahl al-Bait daripada keturunan Husain bin ‘Ali radhiallahu ‘anhum telah menolak kedudukan khalifah yang disandarkan kepada mereka oleh orang-orang Syi‘ah. Akan tetapi orang-orang Syi‘ah tetap berkeras menyandarkan kedudukan tersebut kepada mereka kerana darah Parsi yang mengalir dalam tubuh mereka, hasil perkahwinan Husain bin ‘Ali dengan puteri raja Parsi yang ditakluk pada zaman pemerintahan ‘Umar al-Khaththab.

Menarik untuk diperhatikan bahawa para tokoh Syi‘ah hanya memilih 12 khalifah tersebut daripada keturunan Husain bin ‘Ali dengan mengecualikan Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anh sekalipun beliau (Hasan) pada asalnya pernah menjadi khalifah umat Islam sebelum menyerahkannya kepada Muawiyah radhiallahu ‘anh.

 

Sumber :Buku Hafiz Firdaus Abdullah :  “Jawapan Ahl al-Sunnah kepada Syi’ah al-Rafidhah dalam Persoalan Khalifah”

Juga boleh di baca di :  http://abuhaekal.multiply.com/journal/item/65

Siapakah Ahlul Bait Itu?

Sahabat Syiah saya , Saudara Abu Hasan mengatakan Ahlul Bait  Nabi saw tidak termasuk isteri-isteri nabi, dan  firman Allah  dalam Al Quran 33.33 :

( 33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1215]. Maksudnya: Isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’. Perintah ini juga meliputi segenap mukminat.

[1216]. Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.

[1217]. Ahlul bait di sini, yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w. )

tidak di tujukan kepada isteri-isteri nabi, sebaliknya hanya kepada Ali ra , Fatimah ra, Hasan ra dan Hussin ra  sahaja. Dan beliau peliknya pula berkata  hujung ayat :

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

hendaklah di tafsir  berasingan.  Bagi menyangkal hujahnya berikut ini di petik tulisan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi dari majalah Qiblati mengenai siapakah Ahlu Bait.

Siapakah Ahlul Bait itu

Oleh : Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi

Ahlul bait digunakan untuk makna yang banyak, dan yang dimaksud dengan Ahlul bait disini adalah Alu Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam-. Dan istilah Ahlul bait memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk susunan kalimat. Para ulama ahli lughah dan agama telah sepakat bahwa Ahlul bait seseorang itu mencakup istri-istrinya. Semua ini telah tetap dan diketahui di dalam bahasa Arab, dan memiliki dalil-dalil yang kuat didalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-. Di antara makna-makna ahlul bait tersebut adalah sebagai berikut:

1. Seorang itu sendiri.

Seperti kandungan sabda Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-:

«يَا أبَا مُوْسىَ، لَقَدْ أُوْتِيْتَ مِزْمَاراً مِنْ مَزَامِيْرِ آلِ دَاوُدَ»

“Wahai Abû Musa, sungguh engkau telah diberi sebuah (suara yang nyaring dan merdu seperti) seruling dari seruling-seruling keluarga Dâwud.” (HR. Bukhari (IV/1925), Muslim (I/456))

Yang dimaksud disini adalah Dâwud ؛ itu sendiri, karena dialah yang diberi suara indah oleh Allah -Subhanahu wata’ala- .

 2. Istri-istri seseorang.

Makna inilah yang paling banyak digunakan. Salah seorang ahli lughah yang terkenal, al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (175 H) didalam kitabnya al-’Ain (45) berkata: [أَهْل] : [أَهْلُ الرَّجُلِ] : istrinya, dan orang yang paling khusus dengannya; dan [التَّأَهُّل] artinya [التَّزَوُّج] : menikah; dan [أَهْلُ الْبَيْتِ]: penghuninya.

Imâm Muslim / telah meriwayatkan didalam Shahihnya (IV/2282; 2972) dari ‘Aisyah ك dia berkata:

« إِنْ كُنَّا آلَ مُحَمَّدٍ < لَنَمْكُثُ شَهْرًا مَا نَسْتَوْقِدُ بِنَارٍ إِنْ هُوَ إِلَّا التَّمْرُ وَالْمَاءُ »

“Sungguh kami keluarga Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam-, benar-benar berdiam selama sebulan tanpa menghidupkan api (untuk membuat makanan), yang ada hanyalah kurma dan air.”

Imâm al-Bukhari / telah meriwayatkan didalam Shahîhnya (II/729) dari Anas ط dia berkata:

« سَمِعْتُهُ (أي النبي) يَقُولُ : « مَا أَمْسَى عِنْدَ آلِ مُحَمَّدٍ < صَاعُ بُرٍّ وَلَا صَاعُ حَبٍّ » وَإِنَّ عِنْدَهُ لَتِسْعَ نِسْوَةٍ »

“Aku pernah mendengar beliau (Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-) bersabda: “Tidak ada satu sha’ pun dari gandum, dan bijian (lain) yang menginap di sisi keluarga Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam-.” Padahal disisi beliau -Shalallahu alaihi wa salam- ada sembilan orang istri.” Jadi ini adalah bukti nyata bahwa istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- masuk dalam sebutan Alu Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam-.

Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman:

 

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا (32) وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا(33)

 

Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab: 32-33)

Yang dimaksud dengan bait disini adalah rumah Nabi dan rumah-rumah tempat tinggal istri-istri beliau -Shalallahu alaihi wa salam-. Dan tidak diragukan serta disangsikan lagi bahwa arah pembicaraan dua ayat ini adalah kepada mereka.

Orang-orang Rafidhah mengatakan bahwasannya Dia ingin memasukkan selain istri-istri Nabi bersama mereka dalam ayat tersebut dengan dalil bahwa Dia berfirman [عَنْكُمْ] “Dari kalian (laki-laki)” dan bukan [عَنْكُنِّ] “Dari kalian (perempuan)”.

Maka kita katakan: “Ini adalah sebuah kebodohan terhadap bahasa Arab, sesungguhnya tidak ada di dalam lafazh [أَهْلُ الْبَيْتِ] ta’nits (tanda atau penyebutan perempuan), maka tidak benar kalau digunakan penyebutan perempuan dalam menujukan arah pembicaraan, akan tetapi yang benar adalah menggunakan bentuk jama’ mudzakkar.

Misalnya firman Allah -Subhanahu wata’ala- tentang perkataan Sarah yang artinya:

 “Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya Ini benar-benar suatu yang sangat aneh. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS. Hud: 72-73)

 

Sudah dimaklumi bahwa arah pembicaraan tersebut ditujukan kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim ؛ sendiri. Dialah yang dimaksud dengan Ahlul bait Ibrahim ؛ . Sekalipun demikian, para malaikat berkata kepadanya [عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ] “Dicurahkan atas kalian (laki-laki), wahai ahlul bait”. Dikarenakan inilah yang terkandung dalam bahasa Arab. Tidak seperti persangkaan orang-orang Rafidhah bahwa yang benar adalah mereka mengatakan: [عَلَيْكِ أَهْلَ الْبَيْتِ] “Dicurahkan atasmu (perempuan) ahlul bait” atau [عَلَيْكِ أَهْلَةُ الْبَيْتِ] “Dicurahkan atasmu (perempuan) ahlul bait (perempuan)!”

Al-Hakîm at-Turmudzi berkata dalam Nawâdir al-Ushûl fî Ahâdîts ar-Rasûl (III/69): “Dan ini adalah sebuah kalimat yang tersusun sebagiannya atas pengaruh sebagian yang lain.” Maka bagaimana mungkin arah pembicaraan ayat ini yang seluruhnya tertuju kepada istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- sebelum dan sesudahnya, kemudian di tengah-tengahnya dipalingkan kepada yang selain mereka?! Padahal pembicaraan ini tersusun di atas susunan dan aturan satu, dikarenakan Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman: [لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْزَ أَهْلَ الْبَيْتِ] “hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait.” Kemudian Dia berfirman: [وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ] “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” Maka bagaimana mungkin [كاف] yang kedua ditujukan kepada istri-istri Nabi sementara yang pertama ditujukan kepada Ali dan Fathimah -Radiallahuanhuma- ?! Lalu di mana penyebutan keduanya di dalam ayat ini?

Apabila dikatakan, jika pembicaraan ini ditujukan kepada istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, mengapa Dia berfirman: [لِيُذْهِبَ عَنْكُمْ] “hendak menghilangkan dari kalian (laki-laki)” dan tidak berfirman [عَنْكُنَّ]: Dari kalian (perempuan)? Maka kita katakan, penyebutannya itu dipalingkan kepada kata [الأَهْل], dan [الأَهْل] bersifat mudzakkar (bentuk laki-laki), maka mereka disifati dengan nama mudzakkar sekalipun mereka adalah wanita.

Telah diriwayatkan dari Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bahwa tatkala ayat ini turun kepada beliau -Shalallahu alaihi wa salam-, masuklah menemui beliau Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain ن . Kemudian Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- menuju ke sebuah pakaian kemudian menyelimutkan kepada mereka semua kemudian memberikan isyarat ke langit seraya bersabda:

« اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِي وَخَاصَّتِي أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا » رواه الترمذي (3806) وقال: هذا حديث حسن صحيح وَهُوَ أَحْسَنُ شَيْءٍ رُوِيَ فِي هَذَا الْبَابِ ؛ وأحمد (25339,25383)

“Ya Allah, mereka adalah Ahlul bait-ku, dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka dosa, dan sucikanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.” (HR. Turmudzi (3806), dan dia berkata: Ini adalah hadîts hasan shahîh, dan hadîts ini adalah riwayat yang terbaik dalam bab ini; Ahmad (25383, 25339))

Maka ini adalah do’a beliau -Shalallahu alaihi wa salam- bagi mereka setelah turunnya ayat tersebut. Beliau senang memasukkan mereka kedalam ayat yang ditujukan kepada istri-istri beliau ن tersebut.

Hadîts-hadîts shahîh telah menetapkan kejelasan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan urusan istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- secara khusus bukan selain mereka.

Telah datang riwayat di dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ` (II/208), Târîkh Dimasyq (LXIX/150), dan tafsir Ibnu Abi Hatim, dia berkata, dari Ibnu ‘Abbas م :

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ

Dia berkata: “Turun kepada Istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- secara khusus.” Kemudian berkatalah ‘Ikrimah: “Bahwasannya ayat tersebut turun berkenaan dengan istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- secara khusus.”

Ini adalah hadîts shahîh yang tidak bisa disangkal di dalamnya. Imâm Adz-Dzahabî / berkata di dalam Siyar A’lâm an Nubalâ` (II/221): “Sanadnya shalih, dan bentuk ayat telah menunjukkannya.”

Dan telah diketahui oleh para ulama bahwasannya perkataan para sahabat tentang sabab nuzul ayat memiliki hukum marfu’ kepada Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, dikarenakan para sahabat menyaksikan turunnya ayat tersebut.

Penguat hal tersebut adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari jalan Sa’id ibn Jubair dari Ibnu ‘Abbas م dia berkata: “Turun kepada istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-.” Dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari ‘Ikrimah dia berkata: “Tidak seperti pendapat kalian, akan tetapi sebab turunnya ayat tersebut adalah kepada istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-.” At-Thabari / di dalam tafsirnya (XXII/8) meriwayatkan dari ‘Alqamah, dia berkata: “Ikrimah menyeru di tengah pasar bahwa ayat:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ

Turun berkenaan dengan istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- secara khusus.”

3. Keturunan seseorang

Imâm al-Bukhari / meriwayatkan (II/541; 1414) dari Abû Hurairah ط bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- pernah mengeluarkan sebutir kurma sedekah dari mulut al-Hasan atau al-Husain seraya bersabda:

«أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ آلَ مُحَمَّدٍ r لاَ يَأْكُلُوْنَ الصَّدَقَةَ؟»

“Tidakkah engkau tahu bahwa keluarga Muhammad tidak memakan harta sedekah?”

Maka hadîts ini menunjukkan bahwa kalimah [آلُ مُحَمَّدٍ] telah mencakup keturunan pula. Dan dalilnya pula adalah firman Allah -Subhanahu wata’ala-:

 

قَالَ إِنَّ فِيهَا لُوطًا قَالُوا نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَنْ فِيهَا لَنُنَجِّيَنَّهُ وَأَهْلَهُ إِلا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ

 

Berkata Ibrahim: “Sesungguhnya di kota itu ada Luth”. Para malaikat berkata: “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).(QS. al-Ankabut: 32)

Dan telah dimaklumi bahwa tidak ada seorangpun yang beriman kepada Luth ؛ selain kedua putrinya. Adapun istrinya, tetap berada diatas kekufuran. Oleh karena itulah Allah -Subhanahu wata’ala- mengecualikan dirinya termasuk dari orang-orang yang selamat dari keluarga Luth ؛ . Maka hal ini menunjukkan bahwa [الأَهْل] mencakup istri-istri dan keturunan.

4. Kerabat seseorang

Imâm Muslim didalam Shahihnya (IV/1873; 2408) meriwayatkan dari Hushain, dia berkata kepada Zaid ibn al-Arqam:

 

«وَمَنْ أْهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدٌ؟ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟». قَالَ: «إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ. وَلَكِنَّ أَهْلَ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةُ بَعْدَهُ». قَالَ: «وَمَنْ هُمْ؟». قَالَ: «هُمْ آلُ عَلِيٍّ، وَآلُ عَقِيْلٍ، وَآلُ جَعْفَرٍ، وَآلُ عَبَّاسٍ». قَالَ: «أَكُلُّ هَؤُلاَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةُ؟». قَالَ: «نَعَمْ»

“Siapakah Ahlul bait-nya wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul baitnya? Dia berkata: “Sesungguhnya istri-istri beliau adalah termasuk ahlul bait beliau. Akan tetapi ahlul bait beliau adalah mereka yang diharamkan memakan sedekah setelah beliau.” Dia berkata: “Siapakah mereka?” Dia menjawab: “Mereka adalah keluarga Ali, Keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas.” Dia berkata: “Apakah setiap mereka diharamkan dari harta sedekah?” Dia menjawab: “Ya.”

5. Pengikut seseorang dan kelompoknya

Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman:

 

وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ(49) وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ(50)

Dan (Ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan. (QS. Al-Baqarah: 49-50)

Yang dimaksud di sini adalah pengikut Fir’aun dan bukan anak-anaknya. Dikarenakan ia tidak memiliki seorang anakpun berdasarkan kesepakatan ahli tafsir. Oleh karena itulah ia mengabulkan permintaan Asiyah , istrinya, untuk mengambil Musa ؛ sebagai anak angkat, sebagaimana firman Allah -Subhanahu wata’ala-:

 

وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّةُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ(9)

“Dan berkatalah isteri Fir’aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari.” (al-Qashash: 9)

 

Dan tidak khilaf bahwasannya yang menyembelih putra-putra Bani Israil adalah mereka yang ditenggelamkan oleh Allah -Subhanahu wata’ala-. Mereka adalah bala tentara dan pengikut Fir’aun, dan bukanlah anak-anaknya.

Ijma’ para ulamapun telah memperkuat hal ini, yaitu bahwa orang-orang kafir dari keturunan Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam- bukanlah termasuk keluarga dan ahl-nya. Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman:

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ(46)

Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan. (QS. Hud: 46)

Maka putra Nuh ؛ tidaklah termasuk ahlnya dikarenakan dia kafir, sekalipun dia adalah putra kandungnya.

Dan firman Allah -Subhanahu wata’ala-:

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ (28)

Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya (QS. Ghafir: 28)

Yaitu, bahwasannya seorang laki-laki itu adalah termasuk pengikut Fir’aun sebagaimana tampak nyata, maka dia termasuk ahl Fir’aun, akan tetapi hakikatnya dia seorang mukmin yang menyembunyikan keimanannya.

Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman:

وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ (248)

Dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; (QS. al-Baqarah: 248)

Tidak ada seorangpun yang berselisih bahwa Musa ؛ tidak memiliki seorang anakpun. Maka yang dimaksud dengan [آل] di sini adalah pengikut dan bukan keturunan. Abdurrazaq didalam Mushannif-nya (II/214) berkata: “Aku mendengar seorang laki-laki berkata kepada Ats-Tsauri tentang sabda beliau -Shalallahu alaihi wa salam-: [اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ] maka dia bertanya kepada Ats-Tsauri: “Siapakah [آلِ مُحَمَّدٍ]?” Maka dia menjawab: “Telah diperselisihkan tentang mereka; di antara mereka ada yang mengatakan [آلُ مُحَمَّدٍ] adalah ahlul bait beliau, dan di antara mereka ada yang mengatakan siapa saja yang menaati beliau.

Maka aku katakan: “Bahkan yang kedua itulah yang benar secara yakin.” Imâm al-Bukhari telah meriwayatkan didalam Shahîh-nya (III/1233) tentang shalawat Ibrahimiyah di dalam shalat secara marfu’: “Ucapkanlah:

« اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ »

Dan kalimat [آلُ إِبْرَاهِيْمَ] tidak mencakup orang-orang Yahudi, dan tidak pula Abû Lahab, sekalipun mereka adalah anak keturunan beliau. Dan seandainya maknanya adalah keturunan maka mengapa disebutkan keturunan Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam-, padahal mereka secara pokok termasuk dalam keturunan Ibrahim ؛ ?! Maka yang dimaksud di sini adalah pengikut dan kelompok.

Al-Baihaqi / telah meriwayatkan di dalam al-Kubra (II/152) dengan sanad shahîh dari Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Uqail ibn Abi Thalib al-Hasyimi dari Jabir ibn Abdillah ط dia berkata:

«آلُ مُحَمَّدٍ r: أُمَّتُهُ»

“(Yang dimaksud dengan) Alu Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam- adalah umatnya.”

Imâm al-Qurthubi di dalam tafsirnya (I/381) mengatakan: “Firman Allah -Subhanahu wata’ala- [مِنْ آلِ فِرْعَوْن] (Yang dimaksud) alu Fir’aun di sini adalah kaum, pengikut, dan ahlu agamanya. Begitupula Alu Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-, mereka adalah yang berada di atas agama dan millah beliau pada ribuan atau seluruh masa, sama saja ada hubungan nasab ataukah tidak. Dan barangsiapa tidak berada di atas agama dan millahnya, maka dia tidak termasuk Âlurrasul dan Ahlulbait-nya, sekalipun dia memiliki nasab dan kekerabatan terhadap beliau.

Berbeda dengan Rafidhah yang telah berkata: “Sesungguhnya (yang dimaksud dengan) Âlu Rasul -Shalallahu alaihi wa salam- adalah Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain saja.”

Dalil kita dalam membantah mereka adalah firman Allah -Subhanahu wata’ala-:

وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (50)

Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. al-Baqarah: 50)

وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ(46)

Dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. (QS. al-Mukmin: 46)

Yang dimaksud di sini adalah pengikut agamanya. Dikarenakan dia tidak memiliki seorang putra, putri, bapak, ibu, paman, saudara sekandung, atau saudara seayah. Dikarenakan juga tidak ada khilaf bahwa siapa saja yang tidak beriman dan tidak mentauhidkan Allah -Subhanahu wata’ala- maka sesungguhnya dia tidak termasuk alu Muhammad r, sekalipun dia memiliki kekerabatan dengan beliau -Shalallahu alaihi wa salam-. Berdasarkan hal ini maka dikatakan bahwa Abû Lahab, dan Abû Jahal tidaklah termasuk alu Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam- dan ahlulbait-nya, sekalipun keduanya memiliki kekerabatan dengan Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-.

Oleh karena itu Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman tentang putra Nabi Nuh ؛ :

إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ (46)

Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. (Hud: 46)

Dan di dalam Shahîh Muslim dari ‘Amr ibn al-’Ash ط dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dengan tidak sembunyi-sembunyi bersabda:

« أَلَا إِنَّ آلَ أَبِي –يَعْنِيْ فُلاَنٍ (طَالِبٍ)– لَيْسُوا لِي بِأَوْلِيَاءَ إِنَّمَا وَلِيِّيَ اللَّهُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ »

“Ingatlah, sesungguhnya keluarga bapakku -yang dimaksud adalah Abû Thalib- bukanlah termasuk waliku, akan tetapi waliku adalah Allah dan orang-orang mukmin yang shalih.” (HR. Bukhari (5531), Muslim (316))

Di dalam at-Târîkh al-Kabîr (VIII/187) Imâm al-Bukhari meriwayatkan: Muhammad ibn Yazid berkata, Wald ibn Muslim menceritakan kepada kami, dia berkata, Abû ‘Amr al-Auza’i menceritakan kepada kami, dia berkata, Abû ‘Ammar bercerita kepadaku, dia pernah mendengar Watsilah ibn al-Asqa’ berkata, “Telah turun ayat: [إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ ] aku katakan kepada Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-:

«وَأَنَا مِنْ أَهْلِكَ؟». قَالَ (رَسُوْلُ اللهِ r): «وَأَنْتَ مِنْ أَهْلِيْ». قَالَ: «فَهَذَا مِنْ أَرْجىَ مَا أَرْتَجِيْ»

‘Dan saya termasuk keluarga anda?’ Beliau (Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-) bersabda: “Dan engkau termasuk keluargaku.” Maka Watsilah berkata: “Ini adalah harapan yang paling kuharapkan.”

Hadîts ini jelas menunjukkan bahwa ayat tersebut tidaklah khusus diperuntukkan kepada ‘Ali ط dan anak-anaknya, tetapi berlaku umum untuk siapa saja yang mengikuti Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- dengan dalil masuknya Watsilah didalam ayat tersebut.

Maksudnya adalah bahwa ahlulbait, mereka adalah alu Muhammad yakni pengikut beliau -Shalallahu alaihi wa salam-. Hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah shahîh dari Ibnu ‘Abbas م : [إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ] dia berkata: “Turun kepada istri-istri Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- secara khusus.” Maka ayat tersebut turun kepada istri-istri Nabi secara khusus, dan tidak ada penghalang untuk mencakup selain mereka.

Apakah kekerabatan Bani Hasyim dengan Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- bermanfaat bagi mereka?

Ibnu Taimiyah / berkata dalam Daqaiqut Tafsir (II/48): “Yang memberikan manfaat kepada manusia adalah ketaatan kepada Allah -Subhanahu wata’ala- dan Rasul-Nya -Shalallahu alaihi wa salam-. Adapun selain itu, maka tidak akan bermanfaat bagi mereka, tidak ada kekerabatan, tidak juga kedekatan dan yang lainnya. Sebagaimana telah tetap dari Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dalam sebuah hadîts shahîh, beliau bersabda:

« … وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا … »

“…wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku dari hartaku sesukamu, aku tidak berguna bagimu sedikitpun dari (murka) Allah…” (HR. Bukhari (2548))

Semua telah mengetahui bahwa banyak di antara keturuan Bani Hasyim, bahkan keturunan al-Husain ط, yang telah menjual agama mereka, bahkan diantara mereka ada yang komunis, dan sekuleris. Jika permasalahannya demikian, maka apakah akan kita katakan bahwa mereka memiliki kemuliaan keluarga kenabian? Sekali-kali tidak !!!

Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman tentang Nabi Nuh ؛ saat dia berkata:

 

رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ (45) قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (46)

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 45-46) 

Dan Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman yang artinya:

Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (QS. al-Mukminun: 101)

Maka pada hari kiamat hubungan nasab sama sekali tidak bermanfaat. Imâm Muslim / meriwayatkan didalam Shahîh-nya (IV/2074; 2699) bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

«مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ»

“Barangsiapa amalnya lambat bersamanya, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya.”

Imâm Bukhari / (III/1298 # 3336), dan Imâm Muslim / (I/192 # 204) meriwayatkan hadîts dari Abu Hurairah ط dia berkata: “Tatkala turun ayat [وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ] “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS. Asy-Syu’ara: 214)

Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- memanggil orang-orang Quraisy, maka mereka berkumpul, lalu beliau menyeru secara umum dan secara khusus:

« يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبَلَالِهَا ».

“Wahai bani Ka’b ibn Lu`aiy, selamatkanlah diri kalian dari api neraka! Wahai bani Murrah ibn Ka’b, selamatkanlah diri kalian dari api neraka! Wahai bani Abdu Syams, selamatkanlah diri kalian dari api neraka! Wahai bani Abdi Manaf, selamatkanlah diri kalian dari api neraka! Wahai bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari api neraka! Wahai bani Abdul Muthallib, selamatkanlah diri kalian dari api neraka! Wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Dikarenakan aku tidak kuasa memberikan pertolongan sedikitpun kepada kalian dari (siksa) Allah, hanya saja bagi kalian tali rahim yang aku akan menyambungnya dengan tali rahim tersebut.”

Imâm al-Bukhari / (V/2233) dan Imâm Muslim / (I/197) meriwayatkan di dalam Shahihain, begitupula Abu Nu’aim di dalam Mustakhraj-nya dari Qais ibn Abi Hazim bahwa ‘Amr ibn al-’Ash ط berkata: “Aku mendengar Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda terang-terangan tanpa sembunyi-sembunyi:

«إنَّ آلَ أَبِيْ (طَالِبٍ) لَيْسُوا بِأَوْلِيَائِيْ. إِنَّمَا وَليِّيَ اللهُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَ. (وَلَكِنَّ لَهُمْ رَحِمٌ أبُـلُّـهَا بِبَلاهَا)» (يَعْنِيْ أَصِلُهَا بِصِلَتِهَا)

Sesungguhnya alu bapakku (yakni Abu Thalib) bukanlah waliku, sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang mukmin, akan tetapi mereka memiliki tali rahim (denganku) yang aku akan menyambungnya dengan tali rahim tersebut.” (AR)*

 

* Majalah Qiblati Volume 1 Edisi 11 – atau laman  : www.qiblati.com

Baca juga di : http://www.gensyiah.com/siapakah-ahlul-bait-itu/

 

Keujudan Abdullah Ibn Saba’ Dari Sumber Syiah

Sahabat Syiah saya , Saudara Abu Hasan mengatakan Abdullah Ibn Saba’ adalah tokoh ciptaan orang orang Suni bagi memburukkan Syiah , beliau berhujah tokoh ini sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah. Senubungan dengan itu saya petik tulisan oleh : Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi  dari Buku gen syiah . Ikuti tulisan beliau :

Keujudan Abdullah Ibn Saba’  Dari Sumber Syiah

Abdullah Ibn Saba’ adalah Yahudi dari San’a (Yaman) ibunya adalah wanita berkulit hitam, ia dikenal dengan “Ibnu as-Sawda’”. Dia masuk Islam pada zaman Utsman ra. Dia dan para pengikutnya dari Yahudi Jazirah Arab berpindah-pindah tempat antara Hijaz, Bashrah, Kufah dan Syam. Dia berusaha dengan keras untuk mempengaruhi kelompok orang-orang bodoh, orang yang berjiwa lemah dan orang-orang yang menyimpan dendam terhadap Islam (dan atau orang-orangnya). Ternyata ia tidak berhasil (dengan gemilang), kemudian ia pindah ke Mesir dan diikuti oleh pengikutnya. Di sana ia tinggal menetap dan hidup di tengah-tengah penduduk Mesir. Dia mulai mempengaruhi mereka, ternyata bumi Mesir subur untuk dakwahnya. Dia berkata kepada mereka: “Aku sangat heran kenapa kalian mempercayai bahwa Isa putra Maryam akan kembali ke dunia sementara kalian tidak percaya bahwa Muhammad akan kembali kepadanya ?!” Dia berdalil dengan firman Allah yang artinya:

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”.(Al-Qashash : 85).”

Dia telah jauh menyimpang dari kebenaran dalam menafsiri ayat, karena yang dimaksud dengan “ma’ad” di sini adalah sebagaimana yang dikatakan para ahli tafsir adalah kematian atau surga atau kembalinya Rasul Saw kepada Rabb-nya pada hari kiamat.

Dengan begitu dia telah mempengaruhi akal mereka. Maka mereka meyakini adanya Raj’ah ini. Jadi Ibnu Saba’ adalah orang pertama yamg menyuarakan tentang Raj’ah”. Dia sangat berlebihan dalam perkara ini sampai menetapkan wilayah”, ia berkata:

“Sesungguhnya setiap Nabi memiliki seorang “washi” dan Ali ibn Abi Thalib adalah washi bagi Muhammad.Saw! Maka tidak ada orang yang paling Zalim selain orang yang tidak melaksanakan wasiat Rasulullah Saw (maksudnya ia menuduh Utsman merampas hak Ali dan menzaliminya). Maka bangkitlah kalian untuk memperjuangkan perkara ini, dan hendaklah cara kalian dalam mengembalikan hak kepada pemiliknya dengan mencela para umara dan menampakkan “amar ma’ruf dan nahi munkar”, dengan begitu kalian akan menarik simpati orang”.

Akhirnya sampailah ajaran Ibnu Saba’ kepada puncaknya ketika mengklaim ketuhanan Ali, dan bahwasanya Ali tidak dibunuh melainkan naik ke langit, dan sesungguhnya yang terbunuh adalah setan yang menjelma dengan rupa Ali. Gledek adalah suara Ali dan kilat adalah cemetinya atau senyumannya………

Padahal gledek dan kilat sudah ada sejak zaman dulu (sebelum meninggalnya Ali)!!

Demikianlah ia menyebarkan kebatilan dan khurafat ini di tengah-tengah orang yang lemah jiwanya. Maka ia dan orang-orangnya berhasil membentuk kelompok-kelompok di Mesir, Bashrah dan Kufah, dan di setiap wilayah ada amirnya. Kelompok Mesir dipimpin oleh al-Ghafiqi ibn Harb al-‘Akki al-Misri, yang menjadi ujung tombak dan alat untuk melaksanakan rencana-rencana selanjutnya. Al-Ghafiqi memiliki banyak pembantu dan orang dekatnya semisal: Sudan ibn Hamran, Khalid ibn Muljam, Kinanah ibn Bisyr at-Tujibi, Abdullah ibn Badil ibn Warqa’, Hakim ibn Jabillah dan Malik ibn al-Harits al-Asytar.

Tatkala tiba waktunya kelompok Saba’iyah berangkat dari Mesir, Bashrah dan Kufah secara serentak menuju Madinah pada tahun 35 H. Mereka memecah diri dalam 12 kelompok, masing-masing wilayah 4 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 150 orang. Mereka menampakkan diri seperti rombongan haji, memanfaatkan momentum keberangkatan jama’ah haji yang sesungguhnya. Ketika mereka telah mengepung Madinah, dan fitnah telah mencapai puncaknya mereka melarang khalifah Utsman ra shalat di masjid Nabawi, kemudian mereka mengepung rumah khalifah ar-Rasyid. Lalu mereka masuk rumah (dari belakang) secara paksa, al-Ghafiqi memukul khalifah dengan besi. At-Tujibi memutuskan jari-jari Nailah istri khalifah. Kemudian mereka menancapkan pedang di dada khalifah dan menindihnya, maka terbunuhlah khalifah Utsman asy-Syahid. Ruhnya terbang menemui Rabb-nya dan di hadapannya tergeletak Kitabullah. Kemudian Sudan ibn Hamran keluar dari rumah khalifah dan berteriak “Kami telah membunuh Utsman ibn Affan”.

Sukseslah Ibnu Saba’ dalam rencana jahatnya dan khalifah Utsman ibn Affan ra menjadi korban dari konspirasi ini.

Kini, setelah lebih dari seribu tahun sebagian Hakham (pemimpin, ulama) Syi’ah mengingkari keberadaan sosok Ibnu Saba’ dengan tujuan supaya tidak terbongkar kebusukkan mereka dan agar tidak membenarkan pendapat kaum muslimin tentang mereka. Maka mereka mengingkari keberadaan Ibnu Saba’ “sang mu’allim pertama” dalam kesesatan mereka. Di antara yang mengingkarinya adalah Muhammad al-Husain Ali Kasyif al-Ghitha’ di dalam kitabnya “Ashl asy-Syi’ah wa Ushuluha”. Dia menulis dengan keji : “Sesungguhnya Abdullah ibn Saba’, Majnun ibn Amir, Abu Hilal dan yang semisal dengan orang-orang atau pahlawan-pahlawan ini, semuanya adalah khurafat yang dikarang oleh para “tukang cerita” atau “oarang-orang yang senang begadang dan ngobrol tidak karuan”.

Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah ketika membantah orang-orang seperti mereka mengatakan:

“Mengingkari keberadaan Abdullah ibn Saba’ sama artinya dengan mengingkari matahari yang bersinar terang di siang hari. Tidak ada satupun penulis klasik yang mengingkari keberadaannya. Saya tidak habis pikir siapakah yang lebih dalam ilmu dan penguasaannya terhadap realitas-realitas (sejarah)? Orang-orang terdahulu ataukah orang-orang belakangan yang pengecut dan takut dari cucunya sendiri?! Kita meminta dan menantang mereka untuk membuktikan satu orang yang terdahulu, dari mereka sendiri, bukan dari kita, yang mengingkari sosok Ibnu Saba’ dan menganggapnya sebagai khayalan dan khurafat….. Yang perlu diingat, kita tidak menyebut Ibnu Saba’, ketika menyebutnya dalam kitab kami “Asy-Syi’ah wa asSunnah”, sebagai nukilan dari Ibnu Hajar al-Asqalani atau adz-Dzahabi atau Ibnu Hibban, Ibnu Makula, al-Bukhari atau Fulan dan Fulan…Tetapi kami menyebutnya berdasarkan nukilan dari al-Kasy-syi imam mereka sendiri dalam bidang rijal, an-Nubakhti, imam mereka dalam hal firaq atau sekte-sekte. Dan seorang sejarawan Syi’ah dalam “ar-Rawdhah ash-Shofa”. Ketiga kitab tersebut adalah kitab mereka, ditulis oleh pemuka mereka kemudian dari tahqiq atau editing mereka, supaya tidak ada sangkaan bahwa ada yang sengaja menyisipkan, editor atau komentator. Sesungguhnya an-Nubakhti secara pasti tidak menukil dari ath-Thabari dan tidak satupun orang yang menuduhnya demikian. Dia jika tidak mendahului ath-Thabari, juga tidak setelahnya, karena dia sejaman dengan Tsabit ibn Qurrah yang meninggal 288 H, dan dialah poros dan pusat dari orang Syi’ah yang terkenal dengan kefanatikan dan caciannya terhadap orang-orang yang tidak sejalan, yang dikenal dengan sebutan al-Kasy-syi, yang ahli di bidang rijal (para tokoh dan rawi). Yang hidup sejaman dengan Ibnu Fuldaih yang meninggal pada 369 H. Dan kitabnya adalah kitab yang paling utama dan pertama tentang rijal, juga (mengambil) dari “al-Ushul al-Arba’ah” yang menjadi tumpuan mereka dalam bab ini”.

Sesungguhnya banyak sekali kitab-kitab Syi’ah yang menegaskan dan mengukuhkan apa yang sudah kita sebut di atas tentang Ibn Saba’. Inilah al-Huli asy-Syi’i dalam kitabnya menulis`: “Sesungguhnya Abdullah ibn Saba’ kembali menjadi kafir dan menampakkan sikap ghuluw, ia mengaku menjadi Nabi dan Ali as adalah Allah. Maka Ali memintanya untuk bertaubat dalam tiga hari. Ternyata ia tidak mau taubat maka Ali membakarnya dengan api dalam kelompok 70 orang yang mengklaim hal yang sama”.

Begitu pula pembesar mereka Sa’ad ibn Abdillah al-Qummi yang meninggal pada 229 H, yang sejaman dan bertemu dengan Imam Syi’ah kesebelas al-Hasan al-Askari dan mengambil ilmu dari padanya, telah mengakui keberadaan sosok Ibn Saba’. Bahkan ia menyebutkan nama orang-orang pembantu dan sahabatnya yang ikut melakukan makar dan menjuluki mereka dengan “ Firqah Saba’iyah”. Dia berkata tentang Ibn Saba’: “Dia adalah orang pertama yang menampakkan penghinaan terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat serta menyatakan “Bara’” (lepas diri) dari mereka. Dia mengklaim bahwa Ali yang memerintahkannya untuk itu”. Sebagaimana ia meriwayatkan bahwa ketika Ali mendengar kabarnya ia memerintahkan untuk membunuhnya, kemudian diurungkan dan merasa cukup dengan mengusirnya ke Madain.

Mirip dengan yang tadi para ulama dan sejarawan Syi’ah lainnya juga telah mengatakan seperti : al-Astarabadzi, ath-Thusi, at-Tustari, Abbas al-Qummi, al-Khawansari, al-Ashfahani dan pengarang kitab Rawdhah as-Shafa dalam sejarahnya.

Sebagaimana Ulama dan sejarawan Sunni juga telah menetapkan Ibn Saba’ dan akidah-akidahnya seperti ath-Thabari, Ibn Katsir dan Ibn al-Atsir, Ibn Khaldun, al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Isfiraini.

 

Begitu pula al-Baghdadi, ar-Razi dan asy-Syaharastani.

Tidak diragukan lagi bahwa sumber-sumber dan bukti-bukti ini telah mengukuhkan keberadaan Ibn Saba’ dan kelompoknya yang terdiri dari orang Yahudi dan kaum munafik yang menyebut diri mereka dengan sebutan “Syi’ah Ahlul Bait”.

Sebagian ulama Syi’ah kontemporer telah merubah pola mereka dan mulai mengakui adanya tokoh Ibn Saba’, setelah bukti-bukti keberadaannya tampak di mata mereka dan tidak bisa lagi mengelak. Mengelak harganya sangat mahal bagi mereka sebab konsekuensinya adalah menganggap cacat sumber-sumber agama mereka. Karena itu Muhammad Husain az-Zen seorang Syi’ah kontemporer mengatakan: “Bagaimanapun juga Ibn Saba’ memang ada dan dia telah menampakkan sikap ghuluw, sekalipun ada orang yang meragukannya dan menjadikannya sebagai tokoh dalam khayalan…..Adapun kami sesuai dengan penelitian akhir maka kami tidak meragukan keberadaannya dan ghuluwnya”.

Dari paparan di atas menjadi jelaslah bahwa Ibn Saba’ adalah orang yang pertama menyuarakan tenatng “wasiat”, “raj’ah”, “mencela sahabat” dan “mencela Khulafa’ Rasyidin”.

Dia dan kelompoknya mengemas dengan kemasan-kemasan tertentu lalu menjadikannya sebagai riwayat dan hadits-hadits, kemudian secara dusta mereka mengaitkan pada ahlul bait yang baik-baik. Dan hasilnya sangat laku dikalangan orang-orang bodoh dan lugu.

Rencana makar Ibn Saba’ memiliki banyak tujuan antara lain bisa kita sebutkan:

1. Menaburkan fitnah di tengah-tengah umat Islam dengan memprovokasi massa untuk bangkit menentang dan membunuh khalifah Utsman ra agar ekspansi Islam menjadi terhenti

2. Menanam akar kebencian di hati umat Islam terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dan ini telah terjadi, mereka sukses dalam hal ini dengan mempengaruhi orang-orang Islam yang bodoh dan orang-orang yang memiliki niat jahat kepada Islam.

3. Mensosialisasikan Akidah Yahudi di tengah-tengah kaum muslimin, yaitu : akidah wishayah (wasiat oleh Nabi) dan wilayah (Imamah) yang tidak ada kekurangannya sedikitpun dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi justru di rekayasa oleh yahudi dari wasiat musa kepada Yusya’ ibn Nun, lalu mereka sebarkan di tengah komunitas muslim dengan nama wasiat Muhammad Saw, untuk Ali ra dan ternyata sangat menarik hati orang-orang Majusi, kini mereka menjadi propagandis yang paling besar.

4. Mengkafirkan semua sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang. Sasarannya adalah untuk meragukan semua hadits-hadits Nabi dan ayat-ayat al-Qur’an yang diriwayatkan melalui mereka. Ini juga berhasil karena anak cucu Majusi tidak mau menerima hadits yang diriwayatkan melalui jalur para sahabat yang mulia tersebut

5. Menyebar pemikiran-pemikiran Yahudi seperti “raj’ah” (kembali setelah mati), “tidak mati”, “menguasai bumi”, “mengetahui yang ghaib”, “kuasa” dan hal-hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan Islam. Semua keyakinan tadi telah diambil oleh Syi’ah bahkan mereka membubuhi dan melengkapi.

Demikianlah Abdullah ibn Saba’ dan pemikiran-pemikirannya yang merusak yang dia kaitkan dengan syariat yang suci ini, mulai dengan kembalinya Rasul Saw ke muka bumi ini, setelah beliau wafat, keyakinan Ali tidak mati sampai menguasai bumi, hak wilayah dan uluhiyah bagi Ali sampai akhirnya mengaku menjadi Nabi. Pemikiran-pemikiran semacam ini tidak lain hanyalah racun yang dia sebarkan setelah mempelajari dan merancang demi mewujudkan tujuan dan cita-citanya yang kotor.

 (12 Ramadhan 1430)

Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Ath-Thabari V/98-99.

‘Ashl asy-Syi’ah wa Ushuluha. Hal 106-107.

Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait. Hal 124.

Kitab ar-Rijal. Hal 469. Cet Tehran. 1383 H.

Al-Maqalat wa al-Firaq. Hal 20.

Ibid.

Manhaj al-Maqal. Hal 203.

Rijal ath-Thusi. Hal 51. Cet Najef. 1961 M.

Qamus ar-Rijal. Jilid V. Hal 98-99.

Tuhfah al-Ahbab. Hal 184.

Rawdhat al-Jannat.

Jilid V. Hal 393. Cet Tehran.

Tarikh ath-Thabari. Jilid V. Hal 98-99.

Al-Bidayah wa an-Nihayah. Jilid VII. Hal 167.

Tarikh Ibn Khaldun. Jilid II. Hal 139

Lisan al-Mizan. Jilid III. Hal 289.

At-Tabshir fi ad-Din. Hal 108-109.

Al-Farq Bayna al-Firaq. Hal 233-235. Cet Mesir.

I’tiqadat Firaq al-Musyrikin. Hal 108-109.

Al-Milal wa an-Nihal. Jilid II. Hal 11.

Asy-Syi’ah wa at-Tarikh. Hal 213.

Sumber : http://www.gensyiah.com/gerakan-saba%e2%80%99iyah/#more-210

Dr. Ali Jum’ah : Fatwa Zikir Beramai-ramai

Polimik zikir beramai-ramai di Perlis adalah perkara biasa. Ada kumpulan menyokong dan ada juga tidak. Itu biasalah selagi manusia ada fikiran, meraka akan condong kepada sesuatu aliran mengikut hujah yang di terima atau yang terhidang. Yang penting kita mendengar hujah dan menilainya. Berikut satu hujah untuk direnung :

Al-Faqir Al-Haqir ila Rabbihi Al-Jalil Al-Qadir Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin menulis dalam blog beliau :

Sheikh Allamah Musnid Prof. Dr. Ali Jum’ah (Mufti Mesir) mengatakan (dalam buku beliau “Al-Bayan”) bahawa: “

Berhimpun untuk melakukan zikir secara berjemaah dalam satu halaqah (perhimpunan) merupakan suatu amalan yang sunnah, yang bersandarkan dalil syarak yang mulia.

“Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud:

“Bersabarlah kamu (tekunlah kamu) takkala bersama dengan orang-orang yang yang menyeru kepada Tuhan mereka (berdoa dan berzikir), samada petang ataupun pagi, dalam mengharapkanNya…” (Al-Kahfi: 28)

Nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang bermaksud:

“Sesungguhnya, bagi malaikat itu, sekumpulan malaikat yang berlegar-legar dalam mencari ahli zikir. Maka, apabila mereka (malaikat) mendapati satu kaum berzikir kepada Allah s.w.t., mereka (malaikat) akan berkata (kepada sesama para malaikat yang lain): “marilah segera kepada hajat kamu (apa yang kamu hajati)” Maka, mereka menaungi golongan yang berzikir (secara berjemaah tersebut) dengan sayapsayap mereka sehingga ke langit dunia…” Al-Hadis. (riwayat Al-Bukhari).

Dari Mu’awiyah r.a. telah berkata, bahawasanya Nabi s.a.w. pernah keluar menuju ke halaqah para sahabat Baginda s.a.w.. Lalu, Baginda s.a.w. bertanya (kepada para sahabat yang berhimpun tersebut):

“Apa yang menyebabkan kamu semua duduk berhimpun ini?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berzikir kepada Allah s.w.t., memujiNya terhadap nikmatNya takkala Dia memberi hidayah kepada kami dalam memeluk Islam…” sehinggalah sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku dan memberitahuku bahawa Allah s.w.t. berbangga terhadap kamu di hadapan mara malaikat” (hadis riwayat Muslim)

Dari Abi Hurairah r.a. telah berkata, bahawa Rasulullah s.a.w. telah bersabda yang bermaksud:

“Tidaklah duduk sesuatu kaum, akan suatu majils untuk berzikir kepada Allah, melaikan para malaikat akan menaungi mereka, akan terlimpah rahmat ke atas mereka, dan Allah s.w.t. juga akan memperingati mereka…” (hadis riwayat Muslim)

Imam An-Nawawi dalam syarah beliau mengatakan bahawa:

“hadis ini menunjukkan tentang kelebihan majlis-majlis zikir dan kelebihan orang-orang yang berzikir, serta kelebihan berhimpun untuk berzikir beramai-ramai. “

-Demikianlah ringkasan daripada fatwa guru kami, Dr. Ali Jum’ah, yang merupakan Mufti Negara Mesir sekarang. Semoga Allah s.w.t. memberi manfaat dengan ilmu beliau kepada seluruh umat Islam. Wallahu a’lam…

Disediakan oleh:

Al-Faqir Al-Haqir ila Rabbihi Al-Jalil Al-Qadir Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin

Lawati laman beliau : http://mukhlis101.multiply.com/journal/item/137/Fatwa_Dr._Ali_Jumah_Berzikir_Secara_Berjemaah

Imam Nawawi dalam Az Azkar pada bab Ikhlas dan Niat Baik Dalam Segala Amalan  ada menyentuh tetang pekara ini , juga mengenai hadis yang sama . Dihujung perbincangan beliau menambah :

Zikir itu sebaik-baiknya dengan hati, dan boleh juga dengan lisan. Tetapi yang lebih utama ialah berzikir dengan hati dan lisan sekaligus. Kalau hendak memilih salah satu di antara keduanya, maka berzikir dengan hati adalah lebih utama.

Lalu tidak wajar meninggalkan zikir dengan lisan yang disertai hati kerana khuatir disangkakan adanya riya’, bahkan dibuatkan kedua-duanya sekaligus dan diniatkan semua itu untuk mencari keridhaan AllahTa’ala. Sebelum ini telah kita mengemukakan kata­kata AI-Fudhail rahimahullah “bahwa meninggalkan amal kerana manusia adalah riya”‘. Memang sebenamya jika manusia membuka pintu kebimbangan dari hal pemerhatian orang terhadap amal kita, atau memelihara diri dari menarik sangkaan-sangkaan yang batil niscaya akan tertutup kebanyakan pintu-pintu kebajikan, dan akan tersia-sia pada orang itu banyak hal-hal yang penting dari urusan agama, dan tentulah ini bukan jalannya para arifin, yakni orang­orang arif.

Ketahuilah keutamaan zikir bukan saja terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan sebagainya, bahkan semua amalan yang merupakan ketaatan kepada Allah dikira juga berzikir kepadaNya sesuai sebagaimana yang dikatakan Said bin Jubair r.a. dan selainnya daripada para ulama.

Memimjam kata-kata Syed Ahmad Semait mengenai riya’ beliau berkata :

Meskipun kita disuruh beramal tanpa riya’ kepada manusia, namun ini bukan berarti kita mesti meninggalkan beramal bila berhadapan dengan manusia, kerana perbuatan meninggalkan amal kerana manusia itulah pokok riya’, yang betul hendaklah kita terus beramal tidak mengira ada orang atau tidak ada, dan amalan kita itu kita tujukan kepada Allah dengan setulus ikhlas.

Catitan hujung :

Demikian beberapa ramuan untuk dicerna oleh akal kita, sekurang-kurang nya kita mengetahui hujah dari pihak mana sekalipun, yang penting kita tidak berbalah.

Musthalah Hadits

MuhammadMusthalah Hadits

Sebelumnya, ada baiknya kita perhatikan skema pembagian hadits sebagai berikut sebagai pengantar :

1. Pembagian hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita :

a. Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir dibagi menjadi mutawatir lafdhi dan mutawatir ma’nawi

b. Hadits Ahad

Hadits ahad dibagi menjadi :

– Hadits Masyhur

– Hadits ‘Aziz

– Hadits Gharib : gharib mutlaq dan gharib nisbi

2. Pembagian hadits dilihat dari kuat dan lemahnya (masuk dalam pembahasan hadits ahad):

a. Hadits Maqbul; terdiri dari :

– Hadits shahih : shahih lidzaatihi dan shahih lighairihi

– Hadist hasan : hasan lighairihi
Pembagian khabar maqbul dilihat dari yang dapat diamalkan dan tidak dapat diamalkan :
– Al-Muhkam

– Al-Mukhtalif

b. Hadits Mardud; terdiri dari :

– Hadits dla’if dan saudara-saudaranya.

Pembagian hadits dla’if :

– Dla’if akibat cacat pada sanadnya (gugur sanadnya) :

@ Keguguran secara dhahir : Mu’allaq, Mursal, dan Munqathi’

@ Keguguran secara tersembunyi : Mudallas dan Mursal

– Dla’if akibat cacat pada rawi hadits :

@ Maudlu’

@ Matruk

@ Munkar

@ Ma’ruf

@ Mu’allal

@ Mukhalafah lits-Tsiqaat : Mudraj, Maqlub, Al-Maziid fii Muttashilil-Asaanid, Mudltharib, dan Mushahhaf.

@ Syadz (dan sekaligus dibahas : Mahfudh)

@ Hadits dla’if akibat Jahalatur-Rawi (Majhul)

@ Hadits dla’if akibat Bid’atur-Rawi

 

3. Pembagian Hadits Menurut Sandarannya :
a. Hadits Qudsi

b. Marfu’

c. Mauquf

d. Maqthu’

Ada beberapa penjelasan lain mengenai Muttabi’ dan Asy-Syahi, serta jalan mencapai keduanya (I’tibar)

Ilmu Musthalah Hadits

Ilmu Musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditoleknya.

Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.

Buah dari ilmu ini : membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.

Al-Musnad : secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-Musnad menurut istilah ilmu hadits mempunyai beberapa arti :

a. Setiap buku yang berisi kumpulan riwayat setiap shahabat secara tersendiri.

b. Hadits marfu’ yang sanadnya bersambung.

c. Yang dimaksud dengan Al-Musnad adalah sanad, maka dengan makna ini menjadi mashdar yang diawali dengan huruf mim (mashdar miimi.

Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits riwayah dan dirayah dan meneliti riwayat-riwayat dan keadaan para perawinya.

Al-hafidh adalah :

a. Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits.

b. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Hafidh derajatnya lebih tinggi dari Al-Muhaddits karena yang diketahuinya pada setiap thabaqah (tingkat generasi) lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya.

Al-Hakim menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua hadits kecuali sebagian kecil saja yang tidak diketahuinya.

Sumber : http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/musthalah-hadits/

Dapatkan e book   Taisir Mustolahul-Hadisdi http://www.scribd.com/doc/8096851/Taisir-Mustolahul-Hadis?autodown=pdf

SOLAT TARAWIH MENGIKUT SUNNAH NABI MUHAMMAD S.A.W. YANG SOHIH

Petunjuk Dari Al-Quran

  • “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan berpuasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.    (Maksud ayat 183 Surah al-Baqarah)

  • (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang padanya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk dan penjelasan-penjelasan mengenai petinjuk itu dan perbezaan (antara yang hak dan yang batil). Kerana itu sesiapa antara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah berpuasa pada bulan itu.”    (Maksud ayat 185 Surah al-Baqarah)

  • Dan, seterusnya Allah s.w.t. memuji terhadap sahabat-sahabat Baginda Rasulullah s.a.w. yang bersungguh-sungguh dalam menghidupkan malam (khususnya malam-malam bulan Ramadhan): “Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam, Dan pada akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah s.w.t.).”    (Maksud ayat 17-18 Surah al-Zariyat)

Petunjuk Rasulullah s.a.w.

  • Maksudnya: “Sesiapa yang beribadah pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan kepada Allah s.w.t. dan mengharapkan pahalanya, nescaya akan diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.”    (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) { Dengan penuh keimanan maksudnya yakin dengan janji-janji Allah s.w.t. dan melaksanakan perintah-perintah Allah s.w.t. Dengan penuh pengharapan ialah semata-mata mencari pahala daripada sisi Allah s.w.t. dan bukan bertujuan untuk mendapatkan dunia}

  • Maksudnya: “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah mewajibkan puasa Ramadhan atas kamu sekelian dan aku mensunnahkan atas kamu agar beribadat pada bulan Ramadhan. Jesteru sesiapa yang berpuasa dan beribadah pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampunkan oleh  Allah s.w.t.”    (Riwayat Ashab al-Sunan)

  • Maksudnya: “Telah datang bulan Ramadhan yang penuh berkat kepadamu. Dengannya, Allah (s.w.t.) melimpahkan rahmat-Nya, mengampunkan dosa dan mengabulkan doa. Pada bulan itu Allah (s.w.t.) melihat perlumbaan dalam mengerjakan ibadah dan membangga-banggakan kamu dihadapan para malaikat. Oleh kerana itu, tunjukkanlah kepada-Nya kebaikan-kebaikan dirimu. Maka sesungguhnya orang-orang yang celaka adalah mereka yang tidak mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla pada bulan Ramadhan.”    (Riwayat al-Nasai)

 

SOLAT TARAWIH

Hukum dan keutamaannya.

                        Solat Tarawih adalah solat yang dikerjakan pada malam-malam dalam bulan Ramadhan al-Mubarak dan waktu mengerjakannya adalah selepas solat Isyak dan sebelum solat Witir. Solat Tarawih adalah salah satu daripada ibadah-ibadah dalam bulan Ramadhan yang penuh berkat dan paling besar kesannya dihati kaum Muslimin. Ia juga mempunyai darjat dan keutamaan yang dirahsiakan oleh Allah s.w.t.

                        Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: “Sesiapa beribadat pada malam-malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan akan pahala deripada Allah (s.w.t.), nescaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh Allah (s.w.t.).”    (Riwayat al-Bukhari)

                        Maksud daripada Hadith tersebut ialah bahawa setiap orang yang menyemarakkan malam-malam bulan Ramadhan dengan mengerjakan solat, zikir dan membaca Al-Quran dengan penuh keimanan kepada Allah s.w.t. dan mengharap akan pahalanya, maka Allah s.w.t. akan mengampunkan dosa-dosanya pada masa silam, selama mana dosa-dosa itu adalah dosa-dosa kecil. Adapun mengenai dosa-dosa besar, maka wajib melalui jalan Taubat Nasuha. Demikianlah pendapat para Ulama Fekah.

Orang yang mula-mula mengerjakan solat Tarawih

                        Orang yang mula-mula mengerjakan solat Tarawih menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya yang lengkap “Al-Mughni” berkata: “Solat Tarawih adalah sunnat muakkad. Orang yang pertama kali mengerjakannya adalah Rasulullah s.a.w.. Hal ini berdasarkan kepada satu hadith yang  diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang bermaksud:

 “Rasulullah s.a.w. menyemarakkan ibadah pada malam hari bulan Ramadhan dengan tidak mewajbkan kepada umatnya. Baginda s.a.w. bersabda yang bermaksud: “Sesiapa beribadat pada malam hari bulan Ramadhan dengan penuh keimanan kepada Allah (s.w.t.) dan mengarapkan pahala daripada-Nya, nescaya akan diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.”    (Riwayat Imam Muslim)

                        Saiyidatina Aisyah r.a telah meriwayatkan sebuah hadith  yang bermaksud:

“Pada suatu malam Nabi Muhammad s.a.w. solat dimasjid, maka para sahabat mengikuti solatnya. Pada malam berikutnya, Baginda s.a.w. solat lagi dimasjid dan para sahabat yang mengikutinya bertambah ramai. Lalu mereka berhimpun pada malam ketiga atau keempat, tetapi Nabi Muhammad s.a.w. tidak keluar kemasjid untuk solat bersama mereka. Pada sebelah paginya Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu kerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang mencegah aku untuk keluar mengerjakan solat bersama kamu semua kecuali aku khuatir kalau- kalau kamu menganggap solat itu diwajibkan atas kamu.”    (Riwayat Muslim)

                        Abu Hurairah r.a. meriwayat sebuah hadith yang bermaksud:

Nabi Muhammad s.a.w. keluar kemasjid. Kebetulan pada malam bulan Ramadhan itu para sahabat mengerjakan solat ditepi-tepi masjid. Baginda s.a.w. bertanya: ‘Siapa mereka itu?’ Ada yang menjawab” ‘Mereka adalah para sahabat yang tidak dapat membaca al-Quran, tetapi Ubai bin Kaab solat ditengah-tengah mereka dan mereka ikut solat bersamanya.’ Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ‘Mereka telah mendapatkan pahala dan sebaik-baik amalan adalah apa yng mereka lakukan itu.”    (Riwayat Abu Dawud)

                        Adapun panggilan solat Tarawih adalah dinisbahkan kepada Khalifah ‘Umar ibnu al-Khattab r.a. kerana beliaulah yang mengumpulkan orang ramai untuk melakukan solat pada malam bulan ramadhan itu dibawah pimpinan seorang imam iaitu Ubai bin Ka’ab. Imam al-Bukhari meriwayatkan daripada Abdurrahman bin Abdul-Qari, beliau berkata: 

                        “Saya keluar bersama Umar ibnu al-Khattab pada suatu malam bulan Ramadhan. Kebetulan pada saat itu orang ramai sedang mengerjakan solat secara berjama’ah dalam beberapa kelompok. Ada pula seorang yang bersolat secara bersendirian dan ada pula yang solat keseorangan tetapi kemudian diikuti oleh orang lain sehingga menjadi suatu kumpulan. Melihat keadaan itu Umar berkata: ‘Saya berpendapat, sekiranya mereka ini dihimpunkan dibawah satu imam, nescaya ia adalah lebih baik.” Kemudian Umar melaksanakan pendapatnya dan menghimpunkan orang ramai untuk mengerjakan solat dibawah seorang imam iaitu Ubai bin Ka’ab.”

                        Seterusnya Abdurrahman bin Abdul Qari menerangkan bahawa pada malam hari yang lain, dia keluarlagi dengan Umar dan pada ketika itu umat Islam mengerjakan solat dibelakang seorang qari. Maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Adapun orang yang tidur pada awal malam seraya bermaksud akan mengerjakan solat lail (Tarawih) pada malam hari, yang demikian itu adalah lebih utama daripada orang yang mengerjakannya pada awal malam. Akan tetapi umat Islam mengerjakan pada awal malam.”    (Dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari)

                        Berdasarkan pada keterangan hadith-hadith sohih diatas, maka jelaslah bahawa orang yang mula-mula mengerjakan solat Tarawih dalam kaitannya dengan ibadah pada bulan Ramadhan adalah junjungan Agung kita Nabi Muhammad s.a.w. .

                        Baginda Rasulullah s.a.w. mengerjakan bersama para sahabat tiga atau empat malam. Setelah itu Nabi Muhammad s.a.w. tidak keluar untuk mengerjakan bersama para sahabat lagi kerana Nabi Muhammad s.a.w. khuatir solat Tarawih dianggap wajib oleh umatnya. Dalam hal ini adalah sebagai rahmat dan tanda sangat sayang kepada umatnya.

                        Keterangan yang lebih jelas lagi disebutkan oleh al-Bukahri dan Muslim maksudnya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad s.a.w.  keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadhan kemudian solat dimasjid. Beberapa orang mengikuti solat Baginda Rasulullah s.a.w.. Pada sebelah paginya mereka menceritakan perkara tersebut kepada teman-teman mereka. 

                        Maka pada malam hari berikutnya para sahabat yang berhimpun lebih ramai lagi. Pada malam yang kedua ini Nabi Muhammad s.a.w. keluar untuk mengerjakan solat dan para sahabat pun mengikuti solatnya. Pada sebelah paginya para sahabat menyebut-nyebut perkara itu, maka pada malam ketiga orang-orang yang berhimpun dimasjid bertambah ramai lagi. Nabi Muhammad s.a.w. keluar kemasjid mengerjakan solat pada malam ketiga itu dan para sahabat mengikutinya. 

                        Kemudian pada malam yang keempat, masjid tidak lagi muat untuk menampung orang ramai yang datang berhimpun tetapi Nabi Muhammad s.a.w. tidak keluar kemasjid. Beberapa orang sahabat ada yang melaungkan azan “al-solah! al-solah!”, tetapi Nabi Muhammad s.a.w. tidak keluar juga. Apabila masuk waktu subuh, barulah Nabi Muhammad s.a.w. keluar kemasjid. Setelah selesai solat Subuh, Nabi Muhammad s.a.w. menghadap para sahabat, membaca syahadat dan kemudian bersabda: ‘Sesungguhnya aku bukannya tidak tahu bagaimana keadaan kamu malam tadi, akan tetapi aku khuatir kalau-kalau kamu menganggap bahawa hal ini (solat  malam Ramadhan) diwajibkan atas kamu, maka kamu tidak mampu mengerjakannya.’

                        Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Sehingga Nabi Muhammad s.a.w. wafat keadaan masih tetap seperti itu.”

Mengapa disebut solat Tarawih

                        Solat pada malam bulan Ramadhan itu disebut ‘Tarawih’ kerana solatnya panjang, raka’atnya banyak dan orang yang melakukannya beristirahat pada setiap selesai menunaikan empat raka’at sebelum menyambungnya lagi. Oleh kerana adanya rehat maka inilah disebut “Tarawih”.

                        Ibnu Manzur dalam kitab ‘Lisanul Arabi’ menerangkan bahawa ‘Altarawih’ adalah bentuk jamak daripada Tarwihah’ adalah isim marrah (Isim yang menunjukkan makna satu kali) daripada Ar-rahah’.

                        Jadi makna ‘Tarwihah’ itu adalah satu kali istirehat. Hal ini sama dengan kata ‘Taslimah’ (satu kali salam) yang berasal daripada perkataan ‘Assalam’. Disebut ‘Tarawih’ kerana orang yang melakukannya mengambil beberapa kali istirehat pada setiap kali selesai mengerjakan solat empat raka’at, kemudian dia menerangkan pula bahawa ‘Ar-rahah’ itu ertinya lega atau segar adalah lawan daripada kata ‘at-ta’ab’ yang bererti penat.

                        Didalam sebuah hadith ada diterangkan bahawa apabila masuk waktu solat,Nabi Muhammad s.a.w.  berkata pada bilal: “Marilah kita beristirehat dengan solat.’

                        Maksudnya ialah, azanlah untuk solat, wahai bilal! Maka kita akan beristirehat dengan solat itu, Istirehat Nabi Muhammad s.a.w. menerusi solat kerana didalamnya sebagai munajat kepada Allah s.w.t.. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang bermaksud: “Hatiku dan jiwaku menjadi tenteram ketika dalam solat.”

                        Dengan demikian solat Tarawih adalah sunnat yang dilaksanakan dalam kaitannya dengan ibadah pada malam-malam bulan Ramadhan al-Mubarak sebagaimana yang akan diterangkan menerusi hadith-hadith dalam bab seterusnya.

Bilangan raka’at solat Tarawih

                        Solat Tarawih adalah termasuk solat sunnat muakkad berdasarkan hadith-hadith yang telah disebutkan tadi. Bilangan raka’atnya berjumlah 20 raka’at tidak termasuk solat witir. Jika dimasukkan solat witir maka manjadi 23 raka’at. Demikian berdasarkan pada sunnah yang telah berlaku dan berdasarkan pada sunnah umat Islam, sama ada daripada golongan ulama Salaf maupun Khalaf sejak zaman Khalifah Umar Ibnu al- Khattab r.a. sehinggalah kezaman kita sekarang.

                        Tidak seorang pun antara Imam-imam Mazhab yang empat, ahli fekah yang mujtahid memperselisihkannya kecuali ada sati riwayat saja yang menerangkan iaitu Imam Darul Hijrah (Imam Malik bin Anas) yang menambah sehingga 30 raka’at.

                        Demikian pula dalam riwayat yang kedua dari Imam Malik yang berdasarkan pada amalam penduduk Madinah bersumberkan dari Nafi’ yang berikut: “Saya menjumpai umat Islam (Madinah) mengerjakan solat Tarawih 39 raka’at bersama witirnya tiga raka’at.”

                        Akan tetapi menurut riwayat yang masyhur daripada Imam Malik dan bahkan riwayat yang amshyur ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama daripada kalangan Syafi’i, Hambali dan Hanafi mengatakan bahawa solat Tarawih itu berjumlah 20 raka’at. Oleh kerana itu, berdasarkan pada riwayat yang mashyur ini, maka telah menjadi kesepekatan antara Imam-imam mazhab yang empat. Semoga Allah s.w.t. melindungi orang-orang Mukmin daripada permusuhan yang membinasakan.

Dalil-dalil Para Mujtahidin

  • Para Imam Mujtahid menetapkan bahawa solat Tarawih berjumlah 20 raka’at berdasarkan hadith riwayat al-Baihaqi dan riwayat lain dengan sanad yang sorih lagi sohih daripada Saib bin Ziyad, yakni seorang sahabat yang terkenal. Saib berkata: “Pada zaman Umar ibnu al-Khattab r.a. umat Islam mengerjakan solat Tarawih dalam bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at.”

  • Mereka berhujah juga dengan hadith riwayat Imam Malik dalam kitab Al-Muwatta’ dan riwayat al-Baihaqi daripada Yazid bin Rauman. Yazid bin Rauman berkata: “Pada zaman Umar ibnu al-Khattab r.a. orang ramai mengerjakan solat Tarawih sebanyak 23 raka’at.” Yakni, 20 raka’at Tarawih dan 3 Raka’at Witir.

  • Mereka juga berhujah dengan hadith yang diriwayatkan daripada al-Hasan yang mengatakan bahawa Umar r.a. telah menghimpun orang ramai untuk mengerjakan solat dibelakang Ubai bin Ka’ab sebagai Imamnya dengan mengerjakan solat Tarawih 20 raka’at. Ubai bin Kh’ab tidak membaca qunut bersama mereka kecuali pada malam separuh kedua daripada bulan Ramadhan. Apabila masuk separuh ketiga yang akhir daripada bulan Ramadhan, Ubai bin Ka’ab menghilang, yakni dia mengerjakan solat dirumahnya sendiri, lalu jama’ah pun berkata: “Ubai telah lari.”

                        Ibnu Qudamah menceritakan didalam kitab Al-Mughni  bahawa telah terjadi ijma atas bilangan solat Tarawih iaitu 20 raka’at. Dan diriwayatkan daripada Imam Malik bahawa bilangan raka’at Tarawih itu 36 raka’at. Dia berkata: “Solat pada malam-malam bulan Ramadhan adalah 20 raka’at. Ia adalah sunnat muakkad dan orang yang mula-mula mengerjakannya adalah Nabi Muhammad s.a.w. Adapun nama Tarawih itu dinisbahkan kepada Umar ibnu al-Khattab r.a. Ini kerana Umar menghimpun umat Islam untuk mengerjakan solat Tarawih secara jemaah dibelakang Ubai bin Ka’ab yang bertindak sebagai imam.”

                          Telah diriwayatkan oleh para ahli hadith bahawa pada suatu malam dalam bulan Ramadhan, Umar ibnu al-Khattab keluar kemasjid, kebetulan ketika itu umat Islam solat dimasjid sendiri-sendiri. Lalu Umar berkata: “Seabiknya aku himpunkan mereka dibawah pimpinan seorang ahli qiraat.”  Maka beliau pun mengumpulkan umat Islam dan solat dibelakang Ubai bin Ka’ab. Kemudian pada malam berikutnya dia keluar lagi dan menyaksikan orang ramai mengerjakan solat dibelakang imam. Maka berkatalah Umar ibnu al-Khattab: “Sebaik-baik bida’ah adalah ini.”

                        Seterusnya Ibnu Qudamah menjelaskan bahawa yang dipilih oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah 20 raka’at. Demikian juga 20 raka’at ini dipilih oleh al-Thauri, Abu Hanifah dan al-Syafi’i, sedangkan Imam Malik memilih 36 raka’at dengan menyandarkan pada amalan penduduk Madinah dan bagi kami, sesungguhnya Umar ibnu al-Khattab ketika mengumpulkan orang ramai mengerjakan solat dibelakang Ubai bin Ka’ab sebanyak 20 raka’at.

                        Imam Malik meriwayatkan dengan sanad dari Yazid bin Abdurrahman: “Umat Islam pada zaman Umar mengerjakan qiyamullail sebanyak 23 raka’at.”

                        Diriwayatkan daripada Ali k.w. bahawa beliau telah menyuruh seseorang untuk menjadi imam Tarawih pada bulan Ramadhan dan mengerjakan 20 raka’at. Ini adalah seperti ijma’. Seterusnya Ibnu Qudamah berkata: “Seandainya seluruh penduduk Madinah mengerjakan 36 raka’at, nescaya bilangan raka’at yang dikerjakan oleh Umar ibnu al-Khattab dan telah diijma’kan oleh para sahabat  yang lain ketika itu lebih utama untuk diikuti. Kerana sesungguhnya penduduk Madinah mengerjakan  bilangan raka’at  sedemikian itu hanya kerana mereka ingin menyemai amalan penduduk Makkah bertawaf tujuh kali setiap selesai dua kali salam (empat raka’at). Oleh sebab itu penduduk Madinah menggantikan tujuh kali tawaf tadi dengan empat raka’at. Namun demikian, apa yang telah ditetapkan oleh para sabahat Nabi Muhammad s.a.w. adalah lebih utama untuk diikuti.”

                        Diriwayatjan juga Ali k.w. mengelilingi masjid-masjid pada bulan Ramadhan dengan membawa lampu sambil mengucapkan kata-kata yang bermaksud: “Semoga Allah s.w.t. menerangi kubur Umar sebagaimana dia telah menerangi masjid-masjid kami.” 

                        Berhubung dengan ayat-ayat yang dibaca dalam solat Tarawih, Imam Ahmad berkata: “Seseorang yang menjadi imam solat Tarawih hendaklah membaca ayat-ayat yang dirasakan dapat meringankan makmumnya dan bukan yang memberat-beratkan mereka. Jadi bacaan ayat-ayatnya adalah yang meringankan bagi makmumnya.” Al-Qadhi berpendapat bahawa bacaan ayat suci al-Quran itu sunnat khatam dalam satu bulan agar dapat didengar oleh semua jama’ah dan hendaknya jangan menambah daripada satu kali khatam itu kerana khuatir memberatkan kepada makmum yang solat dibelakang.

                        Kami berpendapat bahawa yang masyhur dalam Mazhab Maliki adalah 20  raka’at berdasarkan bahawa inilah imam-imam mujtahid berijma atas keutamaan mengerjakan 20 raka’at.

                        Syeikh Al-Dardir dalam kitabnya ‘Aqrabul Masalik’ala Mazhab al-Imam Malik’ Juzuk 1:552, beliau menulis: “bahawa solat Tarawih itu  20 raka’at dilaksanakn selepas solat Isyak dan salam setiap dua raka’at selain witir. Didalam Tarawih itu disunnatkan dikerjakan dirumah jika masjid telah penuh dengan jama’ah yang mendirikan solat Tarawih. Akan tetapi jika amsjid kosong daripada solat Tarawih maka yang lebih utama adalah masjid dengan berjama’ah.”

                        Begitu juga Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahawa solat Tarawih itu berjumlah 20 raka’at berdasarkan ijma para sahabat pada zaman Khalifah Umar al-Faruq. Imam Ibnu Abdil Bar menerangkan: “Sungguh benar adanya daripada Ubai bin Ka’ab bahawa beliau solat Tarawih dengan 20 raka’at bersama umat Islam tanpa ada perselisihan antara para sahabat.”

                        Didalam kitab ‘Al-Mukhtasor’ yang disusun oleh Imam Al-Muzani disebutkan bahawa Imam Syafi’i berkata: Aku melihat orang ramai diMadinah mengerjakan solat Tarawih 39 raka’at tetapi yang lebih aku sukai adalah yang 20 raka’at kerana ia yang diriwayatkan daripada Umar. Demikian juga diMakkah, umat Islam mengerjakan solat Tarawih 20 raka’at dan mengerjakan solat Witir 3 raka’at.”

Penjelasan Imam Al-Turmuzi

                        Imam al-Turmuzi didalam kitab hadithnya yang bertajuk ‘Sunan Al-Turmuzi’ menerangkan : “Majoriti ahli ilmu mengerjakan solat Tarawih berdasarkan kepada riwayat daripada Umar, Ali dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang lain, iaitu 20 raka’at. Bilangan ini juga yang dipegangi oleh Imam Sufyan al-Thauri, Ibnu al-mubarak dan al-Syafi’i. Syafi’i berkata: “Aku menjumpai umat Islam dinegeri aku Makkah mengerjakan solat Tarawih 20 raka’at.”

                        Ibnu Rusyd dalam kitab ‘Bidayah al-Mujtahid’ berkata: “Imam Malik dalam satu riwayat mengatakan Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad memilih 20 raka’at selain witir.”

                        Imam Nawawi menerangkan: “Mazhab kami menetapkan bahawa solat Tarawih berjumlah 20 raka’at dengan sepuluh salam selain witir. Ini terdiri daripada lima “tarwihat” (istirahat) dan satu Tarawih  terdiri daripada empat raka’at dengan terdiri dua salam.”

                        Demikian juga dengan pendapat Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya, dan juga Imam Ahmad, Abu Daqud dan juga Qadhi ‘Iyadh yang diambilnya daripada jumhul ulama. Imam Malik sendiri berkata: “Solat Tarawih terdiri daripada 9 tarwihat (istirahat) yang jumlahnya 36 raka’at selain witir.”

                        Seterusnya Imam Nawawi berkata: “Hujah mazhab kami berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanadnya yang sohih daripada al-Saib bin Yazid al-Sahabi r.a., beliau berkata: ‘Umat I slam pada zaman Khalifah Umar ibnu al-Khattab mengerjakan solat Tarawih 20 raka’at dalam bulan Ramadhan, sedangkan pada zaman Khalifah Usman  mereka mengerjakannya 200 (dua ratus) raka’at sehingga mereka bersandar pada tongkat-tongkat mereka kerana terlalu letihnya berdiri.”

                        Yazid bin Rauman berkata: ” Umat Islam pada zaman Khalifah Umar ibnu al-Khattab r.a. mengerjakan Qiyam Ramadhan dengan solat 23 raka’at (Tarawih dan Witir).” (Riwayat Imam Malik dalam ‘Al-Muwatta’)

                        Akan tetapi al-Baihaqi mengatakan bahwa hadith tersebut diatas adalah musral, sebab Yazid bin Rauman tidak bertemu dengan Umar ibnu al-Khattab. Seterusnya al-Baihaqi mengatakan bahawa dengan berpandukan kepada hadith-hadith yang diterangkan tadi, umat Islam mengerjakan solat Tarawih 20 raka’at dan Witir tiga raka’at. Al-Baihaqi meriwayatkan juga daripada Ali k.w. bahawa solat Tarawih 20 raka’at.

                        Imam Ibnu Taimiyah menerangkan dalam kitab ‘Al-Fatawa’ : “Benar bahawa Ubai bin Ka’ab mengerjakan solat pada bulan Ramadhan bersama umat Islam sebanyak 20 raka’at dan Witir tiga raka’at. Jadi para ulama berpendapat bahawa yang demikian itu ditengah-tengah para sahabat Muhajirin dan para sahabat Ansar dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya (menentangnya).”

                        Didalam kitab “majmu’ah al-Fatawa al-Najdiyah’  disebut bahawa Sheikh Abdullah bin Abdul Wahhab memberikan jawapan tentang bilangan raka’at Tarawih: “Bahawa Umar r.a. ketika mengumpulkan umat Islam yang diimamkan oleh Ubai bin Ka’ab, bilangan raka’atnya adalah 20 raka’at.”

                        Demikianlah keterangan-keterangan daripada para ulama pimpinan Islam sama ada daripada golongan Salaf maupun Khalaf yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Jelaslah bahawa solat Tarawih itu 20 raka’at yang dikerjakan oleh Umat Islam sekarang ini adalah amalan yang benar, yang tidak dapat disangkal lagi.

                        Perlu diketahui bahawa 20 raka’at inilah yang dikuatkan oleh amalan para sabahat Radiallahu’anhum dan diijmakan oleh imam-imam mujtadij iaitu imam mazhab yang empat. Mereka semua adalah lambang hidayah dan merupakan pancaran ilmu setiap masa dan setiap zaman. Bilangan 20 rakat’at inilah yang telah diperintahkan oleh Umar al-Faruq r.a. yang mana Allah s.w.t. telah menjadikan kebenaran pada lisan dan didalam hatinya sebagaimana yang diterangkan didalam hadith-hadith yang sohih.

Ikutan kita dua masjid yang mulia

                        Ikutan kita kaum Muslimin ialah dua buah masjid yang mulia. Yang pertama Masjidil haram  (di Makkah) yang telah dijadikan sebagai Qiblat  bagi masjid-masjid umat Islam, sama ada yang ditimur atau dibarat. Dalam hal ini  Allah s.w.t. telah berfirman yang bermaksud: 

                        “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) bagi manusia, ialah  Baitullah  diBakkah  (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Surah Ali Imran:96)

                        Yang kedua ialah Masjid Nabawi (di Madinnah) yang didirikan atas dasar takwa dan  Allah s.w.t. telah memuji penghuninya sebagaimana firman  Allah s.w.t. dalam al-Quran yang bermaksud:

                        “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu mengerjakan solat didalamnya. Didalamnya ada orang-orang yang membersihkan diri dan Allah menyukai orang-orang yang suci.” (Surah al-Taubah: 108)


Sumber:Amalan Penting Dalam Islam, Siri Bimbingan Mukmin (Safwan Fathy, Haji Suhaimee Yassin & Mohammad zain)

Juga di : http://tanbihul_ghafilin.tripod.com/solattarawih.htm

Bagaimana Sunat Tarawikh Orang Syiah?

Bagaimana Sunat Tarawikh Orang Syiah?

Dalam sebok sebok beribadat pada bulan Ramadan ini  , mungkin kita tertanya-tanya bagaimana orang Syiah bersunat Tarawikh.  Mereka tidak menyebut Tarawikh tetapi sekadar menyebut  sembahyang Sunat Di Bulan Ramadan .Saya menyalin di sini apa kata  ulama Syiah mengenainya dengan catitan kakinya sekali :

50. Sembahyang sunat pada bulan Ramadan.

Sembahyang pada bulan Ramadan adalah seperti sembahyang pada bulan-bulan selain daripadanya. Sesiapa yang mahu menambahnya, aka hendaklah dia bersembahyang pada setiap malam sebanyak dua puluh rakaat [66] Lapan rakaat antara Maghrib dan Isyak akhir. Dua belas rakaat selepas Isyak akhir sehingga berlalunya dua puluh malam bulan Ramadan. Kemudian dia bersembahyang pada setiap malam sebanayak tiga puluh rakaat di mana lapan rakaat daripadanya antara Maghrib dan Isyak. Dan dua puluh dua rakaat adalah selepas Isyak akhir. Dibaca pada setiap rakaat daripadanya Surah al-Hamdu dan surah yang senang ( ma tayassara min al-Qur’an) melainkan pada malam kedua puluh satu dan pada malam kedua puluh tiga kerana keistimewaan menghayati kedua-dua malam tersebut. Seorang itu hendaklah bersembahyang pada setiap malam tersebut seratus rakaat, dibaca di dalam setiap rakaat Surah al-Hamdu satu kali dan Surah al-Ikhlas sepuluh kali.

 Nota kaki [66]: Sembahyang Terawih adalah bidaah. Umar adalah orang pertama yang menciptakan sembahyang Terawih.

Fakta di atas di petik dari : AMALI AL-SADUQ -Majlis (ke 93) mengenai Kepercayaan Dan Amalan Syiah Imam Dua Belas) Oleh Syeikh Al-Saduq , wafat 381 Hijrah

Diterjemahkan dari buku aslinya Amali al-Saduq -Majlis ke 93 Karya Abu Ja‘far Muhammad bin Ali bin al-Husain Babuih al-Qummi Cetakan Bahasa Arab: Beirut, 1980

Perbahasan Mengenai Rakaat Tarawikh Antara 8 Dan 20

Sembahyang Tarawikh di Perlis  lazimnya dibuat 8 rakaat , bagaimana pun ada juga yang mengerjakan 20 rakkat. Hujah Mufti Mesir, Syaikh Dr Ali Jum’ah mengenai sunat tarawikh   yang dipetik adalah menarik sekali. Berikut ini adalah perbahasan mengenai perbedzaan keduanya, mudah-mudahan mendapat manafaat dari hujah-hujahnya supaya menambah khazanah ilmu kita.  Artikal ini di ambil dari : http://epondok.wordpress.com/2009/09/15/solat-tarawih-20-rakaat-bukan-bidaah/

Mufti Mesir, Syaikh Prof. Dr Ali Jum’ah

Mufti Mesir, Syaikh Prof. Dr Ali Jum’ah

UMAT Islam perlu diperjelaskan bahawa pendapat yang masyhur dan diterima ialah solat Tarawih dilaksanakan 20 rakaat bukan lapan rakaat, bersandarkan kepada hujah bagi memastikan mereka benar-benar mendapat ganjaran dijanjikan untuk ibadat sunat itu.

Ahli Jawatankuasa Tauliah Majlis Agama Islam Selangor (Mais) yang juga Ahli Jawatankuasa Pengawalan Akidah Mais, Mahfuz Mohammed berkata, konsep solat sunat Tarawih yang diamalkan sejak dulu hingga sekarang tidak pernah berbeza melainkan 20 rakaat.

Katanya, pendapat mengatakan solat Tarawih lapan rakaat disandarkan kepada hadis daripada Aisyah itu tidak tepat kerana ia menjelaskan mengenai solat malam (qiamullail) yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW, bukan solat Tarawih.

 

Mufti Mesir, Syaikh Dr Ali Jum’ah dalam komentarnya mengenai hadis ini mengatakan, mereka itu tidak faham hadis dan meletakkannya bukan di tempatnya. Ini berpunca kerana mereka cetek ilmu mengenai hadis dan cuba membuat kesimpulan sendiri, maka timbullah keadaan ini,” katanya.

Beliau berkata, perkara itu perlu dijelaskan kerana wujud pihak mengatakan solat Tarawih adalah bidaah memandangkan Nabi Muhammad SAW tidak solat 20 rakaat tetapi lapan rakaat diikuti tiga rakaat solat witir.

Mahfuz berkata, Syaikh Dr Ali dalam bukunya berjudul Al-Bayan menyatakan berhubung rakaat Tarawih itu sudah muktamad mazhab yang empat, Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafie, bahawa Tarawih adalah 23 rakaat berserta witir.

Malah katanya, Mufti Mesir itu turut membahaskan isu rakaat solat Tarawih secara terperinci daripada sudut istilah perkataan Tarawih itu sendiri yang cukup jelas menunjukkan jumlah bilangan yang tepat.

Tarawih berasal daripada perkataan mufrad (tunggal) at-tarwiha yang bermaksud rehat yang menunjukkan satu sementara at-tarawih perkataan jamak iaitu lebih dari dua. Bahasa Arab pula ada perkataan untuk tunggal, dua dan banyak.

Oleh itu, at-tarawih yang menunjukkan jamak itu dengan makna tiga kali rehat ke atas. Bagi solat Tarawih, satu rehat bermakna empat rakaat dengan dua salam, maka tiga kali rehat bermakna minimum 12 rakaat dengan tiga kali salam.

Jadinya, sudah sepakat empat mazhab mengikut pendapat yang muktamad (kelas pertama) bahawa solat tarawih 20 rakaat dengan 10 kali salam dan lima kali rehat.

mahfuz mohammed

mahfuz mohammed

Mahfuz berkata, satu lagi petunjuk yang jelas ialah riwayat mengenai Umar al-Khattab yang menyuruh melakukan solat Tarawih secara berjemaah sebanyak 20 rakaat dan apa dilakukan Umar adalah dengan kesepakatan sahabat dengan tiada bangkangan daripada Khulafa al-Rasyidin.

“Jadi mana datangnya lapan rakaat kerana dari segi pengertian dan penggunaan istilah sudah tidak betul. Jika pihak yang mendukung lapan rakaat tetap dengan pendirian, kenapa mereka melakukan solat sunat itu secara berjemaah.

“Jika ingin mengambil apa yang dianjurkan Umar, ikutlah keseluruhannya dengan melakukan sebanyak 20 rakaat seperti dibuat Umar. Jangan ambil separuh-separuh dan mengatakan bahawa 20 rakaat itu tidak betul,” katanya.

Beliau tidak menafikan akan timbul tentangan berhubung rakaat Tarawih itu terutama daripada mereka yang melakukannya sebanyak lapan rakaat namun, perkara berkenaan berhak diperjelaskan sebagai jawapan kepada suara yang lantang mengatakan tarawih 20 rakaat bidaah.

Pada masa sama katanya, ia juga bagi memastikan umat Islam kembali kepada apa yang disepakati ummah kerana Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya berkata, tidak sekali-kali bersepakat ulamaku dalam perkara yang sesat.

Mahfuz berkata, walaupun kesimpulannya Syaikh Dr Ali berkata melakukan solat Tarawih kurang dari 20 tidak salah dan yang buat lebih pun tidak salah, tetapi yang mengurangkan daripada amalan itu ialah ia tidak dinamakan Tarawih tetapi qiamullail.

Menurut fatwa Syaikh Dr Ali, mereka yang melakukan qiamullail terlepas daripada ganjaran sangat besar yang Allah kurniakan kepada orang melakukan Tarawih pada Ramadan kerana solat malam boleh dibuat pada bulan lain tetapi Tarawih hanya setahun sekali pada Ramadan.

“Nasihat kepada yang buat lapan, kembali kepada apa yang disepakati ummah dan ketepikan pendapat bertentangan dengan apa yang disepakati ummah. Dalam enakmen Selangor, fatwa mesti rujuk pendapat yang muktamad daripada mazhab Imam Sayfie,” katanya.

Buku Penjelasan Bilangan Rakaat Solat Tarawih yang diterbitkan pada 2008 oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia turut menyokong pendapat solat Tarawih berjemaah di masjid dengan 23 rakaat termasuk witir lebih afdal daripada lapan rakaat.

Itu adalah pendapat jumhur fuqaha pada qaul yang rajih seiring kaedah usul fiqh iaitu apa-apa ibadah yang lebih banyak perbuatan nescaya lebih banyak pula kelebihan. Lebih-lebih lagi cara berjemaah dilakukan Saidina Umar, Saidina Uthman dan Saidina Ali.

Buku tulisan Mohd Nawi Shafii Al-Bahri itu turut menjelaskan pertelingkahan mengenai rakaat Tarawih diperbesarkan oleh Syeikh Nasir al-Albani yang mengembangkan fatwanya mengatakan solat Tarawih mengikut sunnah Nabi ialah lapan rakaat dan witir tiga rakaat.

Sesiapa yang mengerjakannya tidak seperti itu sama ada kurang atau lebih) maka sesungguhnya dia tidak mengikut sunnah Nabi SAW. Solat Tarawih lapan rakaat diamalkan di sesetengah tempat di nusantara termasuk Malaysia, Thailand (Patani) dan Indonesia.

Perbahasan ulama mengenai bilangan solat turut diketengahkan dalam buku ini membabitkan pendapat jumhur ulama yang mengatakan solat tarawih 20 rakaat dengan dalil sokongan, pandangan ulama lain yang mengatakan 36 rakaat seperti di zaman Umar bin Abdul Aziz.

Perbahasan ketiga oleh al-Bani dan mereka yang bersefahaman dengannya mengatakan solat Tarawih lapan rakaat juga dengan dalilnya.

Kesimpulan Mohd Nawi ialah walaupun wujud permasalahan bilangan rakaat solat Tarawih berlaku perkhilafan di kalangan ulama, namun pendapat jumhur ulama itu yang boleh difatwakan untuk muslimin dan muslimat seluruh alam.

Tulisan ini juga boleh di baca di http://www.bharian.com.my/Current_News/BH/Tuesday/Agama/20090914230416/Article/index_html

Perbahasan lanjut   yang lebih terperinci  dan sarat dengan notakaki sumber rujukan , mengenai  rakaat sembahyang tarawikh boleh di baca tuliasan oleh al-Fadhil Ustaz Muhadir Hj Joll di alamat  http://al-fanshuri.blogspot.com/2009/08/sholat-tarawih-bhg-1.html   bagi siri 1  dan sambungan pada siri 2 di sini  http://al-fanshuri.blogspot.com/2009/08/sholat-tarawih-bhg-2.html . Mudah-mudahan saudara sabar membacanya. ….