Saya mengutip tulisan Ibn Katsir seperti berikut:
– SUMBER: DI SCAN DARI TAFSIR IBN KATSIR JUZ 15 MS 203-206, PUSTAKA IMAM AS SYAFIE
Oleh Al-Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim |
http://www.alquran-sunnah.com/ |
![]() Tidak diragukan, orang pertama yang menerangkan, mengajarkan, dan menafsirkan Al Qur’an adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para shahabat telah menerima Al Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara bacaan dan pemahaman. Mereka mengetahui makna-makna, maksud-maksud dan rahasia-rahasianya karena kedekatan mereka dengan Rasulullah, khususnya Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah para shahabat yang terkenal alim di antara shahabat lainnya. Para shababat adalah guru-guru bagi tabi’in yang di kemudian hari melahirkan ahli tafsir dari generasi ini di Makkah, Madinah dan Irak. Dari shahabat dan tabi’in, dilahirkan ahli tafsir yang mengetahui sejarah tafsir -di madrasah tafsir dengan atsar (jejak/petunjuk) Nabi dan Shahabat- yaitu imam besar dalam ushul tafsir: Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H). Ciri khas dari madrasah tafsir dengan atsar adalah menafsirkan ayat Al Qur’an dengan satu atau lebih ayat Al Qur’an lainnya. Bila tidak memungkinkan maka ditafsirkan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih. Jika tidak ditemukan hadits yang menjelaskannya maka ditafsirkan dengan ucapan shahabat terutama shahabat yang telah disebutkan di atas. Jika ucapan shahabat tidak ditemukan maka dengan ucapan tabi’in seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah dan Al-Hasan Al-Basri. Namun jika semuanya ada, maka biasanya disebut semua. Adapun menafsirkan Al Qur’an dengan akal semata, haram menurut kesepakatan ulama Ahlus Sunnah, apalagi tafsir yang dilandasi ilmu filsafat -walaupun terkadang benar- termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Di abad ke-8 Hijriyah lahir seorang ulama ahli tafsir yang merupakan alumnus akhir madrasah tafsir dengan atsar. Dialah Isma’il bin ‘Umar bin Katsir rahimahullah, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 774 H). Tafsirnya dijadikan rujukan oleh para ulama dan penuntut ilmu semenjak jaman beliau hingga sekarang. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah -beliau juga menulis tafsir- mengatakan bahwa Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu kitab tafsir terbaik, jika tidak bisa dikatakan sebagai tafsir terbaik, dari kitab-kitab tafsir yang ada. Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah menilai tafsirnya menakjubkan, belum ada ulama yang menandinginya. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam bukunya Al-‘Ilmu menganjurkan penuntut ilmu membaca Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir. Wallahu a’lam. ____________________________ Download E-Book Tafsir Ibn Katsir DI SINI |
Kuliah Magrib Malam Rabu Ustaz Ya Ali Dahman : Tafsir Surah Yunus Ayat 24 – 25
Catitan kuliah Magrib Malam Rabu :
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاء فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأَنْعَامُ حَتَّىَ إِذَا أَخَذَتِ الأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَآ أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلاً أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون
وَاللّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلاَمِ وَيَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Maksudnya:
Sesungguhnya bandingan kehidupan dunia hanyalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengannya tanam-tanaman di bumi dari jenis yang dimakan oleh manusia dan binatang; hingga apabila bumi itu menampakkan keindahannya dan berhias, dan penduduknya menyangka bahawa mereka dapat menguasainya (mengambil hasilnya), datanglah perintah Kami menimpakannya di malam atau siang hari, lalu Kami jadikan dia hancur-lebur, seolah-olah ia tidak ada sebelum itu. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat keterangan Kami satu persatu bagi kaum yang mahu berfikir. ( Yunus 24 )
Dan Allah menyeru manusia ke tempat kediaman yang selamat, dan memberi hidayah-Nya kepada sesiapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (Yunus 25)
Satu perumpamaan yang indah tentang hidup kita di dunia ini. Hujan yang menjadi salah satu sumber kehidupan diturunkan Allah lalu tumbuhlah tanaman , bunga-bungaan dan buah-buahan dari rahim bumi yang subur. Manusia menyangka semua hasilnya, adalah miliknya, ia akan tuai besoknya. Tetapi kekuasaan Allah merubah semuanya dengan datangnya musibah samawi , bagaikan semuanya habis licin dituai , bagaikan tiada tanaman sebelumnya. Tidakkah mau kita berfikir ?
Ibn Katsir membawa ayat 45 surah al Kahfi bagi menghuraikan tafsir ayat di atas:
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاء فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرً
Maksudnya:
Dan berilah kepada mereka misal perbandingan Kehidupan dunia ini umpama air yang Kami turunkan dari langit, lalu suburlah kerananya tanaman di bumi; kemudian menjadilah ia kering ditiup angin; dan adalah Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Ustaz Ya Ali Dahaman dalam menghuraikan ayat di atas membaca sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Lait dari Jabir bin Abdullah , mengatakan nabi saw di datangi oleh dua malaikat Jibril dan Mikail di dalam mimpi. Daripada percakapan dua malaikat tersebut menyebut Seorang raja memiliki tanah dan di atasnya dibina istana. Raja mengadakan majlis jamuan. Raja melantik seorang pesuruh untuk menjemput orang ramai kejamuan tersebut. Bagaimanapun ada yang hadir , ada yang tidak hadir. Raja itu umpama Allah. Tanah itu dimana istana dibina umpama Islam. Istana dimana perjamuan di adakan adalah Syurga. Dan pesuruh untuk menjemput orang ramai adalah Muhammad saw. Maka barangsiapa menerima undangan tersebut sebenarnya ia telah masuk Islam. Siapa yang masuk Islam , ia masuk syurga . Siapa yang masuk surga akan makan dari hidangannya.
Demikian perumpamaan umat Muhammad saw yang penulis fahami dari hadis tersebut.
Pada ayat 25 Allah menyeru kita masuklah ke kediaman yang Selamat Sentosa, kerana di sana tidak ada takut , dukacita , kesusahan dan kelaparan. Di sanalah syurga yang penuh dengan keindahan, kenikmatan dan keredzaan Allah.
Tulisan ini didipetik dari tafsir al Fatihah oleh Almarhum Dr HAMKA .
Segala sembahyang tidak sah, kalau tidak membaca al-Fatihah. Tersebut dalam Hadis-hadis:
Dan hendaklah dibaca pada tiap·tiap rakaat, karena Hadis:
1. Daripada Ubadah bin as·Shamit, bahwasanya Nabi s.a.w. berkata:
“Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil-Kitab.“ (Dirawikan oleh al-Jamaah).
2. Dan pada lafaz yang lain: “Tidaklah memadai sembahycmg bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil·Kitab.” (Dirawikan oleh adDawquthni. dan beliau berkata bahwa isnad Hadis ini shahih).
3. “Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya Ummul Quran.” (Dirawikan oleh Im0m Ahmad).
Dengan Hadis-hadis ini dan beberapa Hadis lain sama bunyinya, sependapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain daripada membaca al·Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kiita baca. Demikianlah Mazhab Imam Malik. Imam Syafi’i dan jumhur Ulama, sejak dari sahabat·sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi’in dan yang sesudahnya. Oleh sebab itu baik Imam atau ma’mum. wajiblah sernuanya membaca al·Fatihah di dalam sembahyang.
4. “Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi s.a.w. adalah beliau tiap·tiap rakaat membaca Fatihatil-Kitab.” (Dirawikan oleh Bukhari)
Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-F atihah itu diiringkan pula dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan hafal oleh yang bersangkutan; karena ada Hadis:
5. “Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang
mudah.” (Dirawikan oleh Abu Daud danpada Abu Said al·Khudri).
Berkata Ibnu Sayidin Nas: “Isnad Hadis ini shahih dan rijalnya semua dapat dipercaya. ”
Kalau Imam sedang membaca dengan jahar hendaklah ma’mum berdiam diri dan rnendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca ma’mum sedang Imam membaca, hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan Imam jangan terganggu.
6. “Daripada Ubadah, berkata dia bahwa satu ketika Rasullullah s.a.w. sembahyang Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka takala sembahyang telah selesai, berkatalah beliau: Saya perhatikan kamu membaca. Berkata Ubadah: Kami jawab: Ya Rasulullah, memang kami membaca. Lalu berkatalah beliau: Jangan kamu lakukan itu, kecuali dengan Ummul-Quran. Karena sesungguhnya tidaklah sah sembahyang bagi barangsiapa yang tidak membacanya.” (Hadis ini dirawikan oleh Abu Daud dan T ermidzi).
7. Dari Ubadah bahwasanya Rasulullah s.a.w. pernah berkata: “Sekali-kali jangan seorangpun di antara kamu membaca sesuatu dari al-Quran, apabila aku menjahar, kecuali dengan Ummul Quran.” (Dirawikan oleh ad-Daruquthni)
Dan ada lagi beberapa Hadis yang lain yang bersamaan maknanya yaitu kalau Imam menjahar, yang boleh dibaca oleh ma’mum di belakang Imam yang menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca.
Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad di antara Ulama-ulama Fiqh tentang membaca di belakang Imam yang sedang menjahar itu. Kata setengah ahli ijtihad, kalau Imam membaca jahar, hendaklah ma’mum berdiam diri mendengarkan, sehingga al·Fatihah pun cukuplah bacaan Imam itu saja didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah Hadis:
8. “Dan Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah s.a.w. berkata: Sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu. Maka apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila dia membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri.” (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali T ermidzi. Dan berkata Muslim: “Hadis ini shahih”).
Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 daripada Surat 7 (Surat alA’raf).
“Dan apabila dibaca orang al-Quran, maka dengarkanlah olehmu akan dia dan berdiam dirilah, supaya kamu diberi rahmat.” (al-A’raf: 204)
Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tetapi tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun Imam membaca jahar, namun ma’mum masih wajib membaca al·Fatihah di belakang Imam. Sebab – kata mereka – baik Hadis yang dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir Surat al-A’raf itu ialah perintah yang am,sedang Hadis Ubadah dan Hadis-hadis yang lain itu ialah khas. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:
“Membinakan yang am atas yang khas adalah wajib.”
Jadi kalau kita nyatakan seeara lebih mudah difahami ialah: Isi ayat Surat alA’raf ialah memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika al-Quran dibaca orang. Itu aam atau umum di mana saja, kecuali seketika menjadi ma’mum di belakang Imam yang menjahar. Maka pada waktu itu perintah mendengar dan berdiam diri itu tidak berlaku lagi, sebab Nabi telah mengatakan bahwa tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah. Maka kalau dia mendengarkan bacaan Imam saja dan berdiam diri, padahal dia disuruh membaca sendiri di saat itu tidaklah sah sembahyangnya.
Hadis Abu Hurairah pun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. Inipun umum. Maka dikecualikanlah dia oleh Hadis Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apa-apa juapun, kecuali al·F atihah.
Dan datang pula sebuah Hadis Anas bin Malik, dirawikan oleh Ibnu Hibban, demikian bunyinya:
9. “Berkata Rasulullah s.a.w.: Apakah kamu membaca di dalam sembahyang yang kamu di belakang Imam, padahal Imam sedang membaca? Jangan berbuat begitu. T etapi hendaklah membaca tiap seorang kamu akan Fatihatul-Kitab di dalam dirinya. (Artinya; baca dengan tidak keras-keras.)”
Oleh sebab itu maka golongan pertama tadi menjalankanlah kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang Imam yang menjahar, tetapi tidak boleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca. Dan apabila telah selesai membaea al·F atihah, merekapun menjalankan maksud Hadis, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan Imam yang lain.
Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti samasekali membaea al-Fatihah karena berpegang pada Hadis Abu Hurairah dan ayat 104 Surat al-A’raf tadi, pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah dihormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua faham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka penulis menjawab: “Aku memegang faham yang pertama, yaitu walaupun Imam menjaharkan bacaannya, namun sebagai ma’mum penulis tetap membaca alFatihah untuk diri sendiri. Karena payah penulis hendak mengenyampingkan Hadis yang terang tadi, yaitu tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah.”
Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri sejenak, atau seketika dia membaca? Maka Ulama-ulama dalam MazhabSyafi’i, berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca al-F atihah dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak memberi kesempatan kepada ma’mum supaya mereka membaca al-F atihah pula. T etapi kalau Imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat at au Surat-surat yang mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca alFatihah, terus pulalah si ma’mum membaca al-Fatihah, sedang Imam itu membaca Surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah si ma’mum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.
Catitan kuliah Magrib Malam Selasa di Masjid As Syakirin ( Dengan beberapa tambahan ) pada 12 Mei 2009 :
Allah berfirman :
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, ( At Taubah 117 )
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. ( At Taubah 118 )
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. ( At Taubah 119 )
Tafsirnya :
Ayat-ayat diatas mengisahkan perihal peperangan Tabuk. Ibnu Hisyam berkata, AI-Zuhri, Yazid bin Ruman, Abduhlah bin Abu Bakr, Asbim bin Uman bin Qatadah, dan ulama-ulama kami lainnya, semuanya berkata kepadaku tentang Perang Tabuk seperti yang disampaikan kepadanya. Sebahagian dari mereka menceritakan apa yang tidak diceritakan sebahagian lainnya. Mereka berkata, Rasulullah (s.a.w.) memerintahkan sahabatnya bersiap sedia untuk menyerang Rome. Hal itu terjadi ketika Muslimin mengalami masa masa susah, cuaca sangat panas, musim kemarau, buah-buahan mulai ranum, orang-orang lebih menyukai berada di dalam ladang buah-buahan dan tempat mereka berteduh, serta tidak suka berangkat dalam keadaan seperti itu. Rasulullah (s.a.w.) sendiri jarang keluar untuk perang, kecuali merahsiakannya dan menjelaskan bahawa Baginda menginginkan bukan itu daerah yang Baginda tuju, kecuali Perang Tabuk di mana Baginda menjelaskannya kepada kaum Muslimin, kerana perjalanannya sangat jauh, masa-masa yang sangat susah, dan ramainya musuh yang ingin Baginda tuju. Rasulullah (s.a. w.) menjelaskan hal yang demikian agar umatnya membuat persiapan. Betul kali ini, Rasulullah (s.a. w.) memerintahkan kaum Muslimin bersiap-siap dan menjelaskan kepada mereka bahawa Baginda hendak menyerang Rome.
M. Husin Heakal di dalam sejarah Muhammad saw :
Kemudian Muhammad saw menyerukan kepada semua kabilah bersiap-siap dengan pasukan yang sebesar mungkin. Orang-orang kaya dari kalangan Muslimin juga dimintanya supaya ikut serta dalam menyiapkan pasukan itu dengan harta yang ada pada mereka serta mengerahkan orang supaya sama-sama menggabungkan diri ke dalam pasukan itu.
Bagaimana gerangan kaum Muslimin menyambut seruan ini, yang berarti harus meninggalkan isteri, anak dan harta-benda, dalam panas musim yang begitu dahsyat, dalam mengarungi lautan tandus padang sahara, kering, air pun tak seberapa, kemudian harus pula menghadapi musuh yang sudah mengalahkan Persia, dan belum dapat dikalahkan oleh kaum Muslimin? Akan tetapi iman mereka, kecintaan mereka kepada Rasul, serta kemesraan kepada agama, mereka pun terjun menyambut seruan itu, berangkat dalam satu arak-arakan yang rasanya dapat menyempitkan ruang padang sahara itu, sambil mengerahkan semua harta dan ternak mereka, siap dengan senjata ditangan, dengan debu yang sudah mengepul, yang begitu sampai beritanya kepada musuh, mereka akan lari tunggang-langgang.
Dua perasaan itu di kalangan Muslimin ada pada waktu itu. Ada yang menyambut agama ini dengan hati yang bersemarak cahaya dan bimbingan Tuhan, hati yang sudah berkilauan cahaya iman, dan ia sudah tidak mengenal yang lain. Ada yang masuk agama dengan suatu harapan, dan dengan rasa gentar. Mereka mengharapkan harta rampasan perang.
Golongan pertama, dengan segera mereka itu berbondong-bondong menyambut seruan Rasulullah. Ada orang miskin dari mereka itu, tidak ada binatang beban yang akan ditungganginya, ada pula orang yang kaya raya, menyerahkan semua harta kepadanya untuk diserahkan kepada perjuangan di jalan Allah, dengan hati ikhlas, dengan harapan akan gugur pula sebagai syahid di sisi Tuhan.
Sedang yang lain masih berat-berat langkah dan mulai mereka itu mencari-cari alasan, sambil berbisik-bisik sesama mereka dan mencemooh ajakan Muhammad kepada mereka untuk menghadapi suatu peperangan yang jauh, dalam udara yang begitu panas membakar.
Itulah mereka orang-orang munafik, yang karenanya Surah At-Taubah turun, yang berisi ajakan perjuangan yang paling besar dan tegas-tegas menyampaikan ancaman Tuhan kepada mereka yang membelakangi ajakan Rasulullah.
Pasukan yang sudah berkumpul mendampingi Muhammad ini – yang disebut Pasukan ‘Usra karena kesukaran yang dialami sejak mulai dibangun – sebanyak tigapuluh ribu Muslimin.
Tabuk adalah satu tempat berhampiran dengan sempadan negeri-negeri Arab, agak hampir dengan kawasan yang berupa wilayah Kerajaan Rom Timur pada waktu itu, dalam wilayah Syria (yang termasuk Palestin ke dalamnya). Ianya terletak pada jalan keretapi Hijaz, lebih kurang 350 batu barat laut Madinah, dan 150 batu selatan daripada Ma’an.
Sebagai akibat daripada berita angin yang kuat dan bertalu-talu menyatakan bahawa tentera Rom Timur sedang bersiap sedia untuk menyerang Semenanjung Arab, dan bahawa Emperor Byzantain (atau Rom Timur) itu sendiri telah pun sampai berhampiran dengan sempadan negeri, untuk tujuan itu, maka Rasulullah s.a.w. menghimpunkan setakat yang terdaya olehnya tentera seramai mana yang mungkin, lalu baginda mara ke Tabuk.
Ketakutan dan kegerunan kepada pasukan perang dibawah pimpinan Nabi saw menyebabkan serangan tentera Rom Timur itu tidak berlaku. Tetapi baginda s.a.w. menggunakan peluang itu untuk memperkuatkan lagi kedudukan Muslimin ke arah kawasan itu, dan mengadakan perjanjian-perjanjian berdamai dengan kabilah-kabilah Kristian dan Yahudi tertentu berhampiran dengan Teluk ‘Aqabah.
Berkata Mujahid dan lain-Iainnya, bahwa ayat ini diturunkan dalam peristiwa perang Tabuk, di mana para Muslimin pergi ke medan perang dalam musim panas yang terik dan dalam keadaan kesukaran bekal dan air.
Berkata Qatadah, bahwa tatkala kaum Muslimin ke luar menuju Syam dalam tahun perang Tabuk, keadaan cuaca sangat panasnya dan kering sehingga disebut “tahun kesukaran dan kekutangan” sampai-sampai ada kalanya sebuah kurma dibelah menjadi dua untuk dimakan dua orang, bahkan adak alanya hanya untuk dicicip-cicip saja sckedar disertai minum air. Kepada mereka itulah Allah menyatakan tobat-Nya dalam ayat ini.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, bahwa Umar Ibnul Khatthab bercerita tentang “tahun kesukaran” ini sebagai berikut:
“Kami keluar bersama Rasulullah saw. pergi ke Tabuk dalam cuaca panas yang terik, sehingga rasa-rasanya leher kami hampir putus karena haus yang kami derita dan sukamya memperoleh air, dan sampai ada orang yang tcrpaksa menyembelih untanya untuk mendapatkan scsuatu yang menghilangkan hausnya dari dalam perut binatangnya itu. Maka melihat keadaan yang sudah tidak tcrtahankan lagi itu, berkatalah Abubakar ash-Shiddiq r.a. kcpada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, Allah telah biasa menyambut doamu dengan baik, coba berdoalah bagi kita.”
“Apakah engkau minta itu?” tanya beliau saw .
“Ya,” jawab Abubakar.
Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dan sebelum diturunkannya kedua tangan itu, air telah turun dengan derasnya dari langit, sehingga masing-masing jamaah mengisi penuh tempat simpanan airnya. Setelah hujan teduh, kami melihat hujan hanya membasahi lapangan tempat Muslimin berada. “
Berkata Ibnu Jarir, bahwa kesukaran yang dimaksud, ialah kesukaran memperoleh nafkah, bekal dan air, dan karena sangat payahnya segolongan dari para sahabat itu hatinya hampir berpaling dari kebenaran dan meragukan kenabian Rasulullah saw. Namun Allah telah mengampuni mereka setelah mereka kembali kepada Tuhan mereka dan kepada keyakinan mereka yang tidak tergoyahkan.
IbnuIshaq berkata, Kemudian Rasulullah (s.a.w.) tiba di Madinah. Orang-orang yang tidak berangkat bersama Baginda ke Tabuk ialah sejumlah orang-orang munafik dan tiga orang dari kaum Muslimin yang tidak termasuk orang-orang yang ragu dan tidak pula munafik. Ketiga-tiga orang tersebut adalah Kaab bin Malik, Murarah bin ArRabi’ danHilal bin Umaiyah.
Rasulullah (s.a. w.) bersabda kepada para sahabat,
“Janganlah kamu sekali-kali bercakap dengan salah seorang dari ketiga-tiga orang terse but. “
Orang-orang munafik yang tidak ikut berangkat ke Tabuk datang kepada Rasulullah (s.a. w.) kemudian bersumpah kepada Baginda, merninta uzur, dan Baginda memaatkan mereka, namun Allah dan Baginda tidak memberi uzur kepada mereka. Kemudian para sahabat memboikot bercakap dengan ketiga-tiga sahabat dari kaum Muslirnin tersebut.
Selepas bertaubat dan selepas 50 hari diboikot , Kaab bin Malik ra menerima khabar gembira Allah dan Rasulnya saw menerima taubatnya.
Pada ayat 119 Allah meyeru orang mukmin supaya bertakwa kepada Allah dan bercakap benar,tidak berbohong, supaya digolongkan Allah ke dalam golongan yang benar.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar”.
Shyyid Qutb menulis mengenai ayat 13 surah Luqman ini :
Ini adalah satu nasihat yang jujur kerana tiada lain tujuan seorang bapa melainkan supaya anaknya mendapat kebaikan dan tiada sikap yang wajar bagi seorang bapa terhadap anaknya melainkan memberi nasihat.
Disini Luqmanul-Hakim melarang anaknya dan mempersekutukan Allah dengan alasan bahawa perbuatan syirik adalah suatu yang amat besar. Beliau menekankan hakikat ini dua kali.
Sekali dengan mengemukakan larangan dan menjelaskan alasannya dan sekali lagi dengan menggunakan kata-kata “inna” dan “lam” pada “lazulmun”.
lnilah hakikat yang dikemukakan Nabi Muhammad s.a.w. kepada kaumnya lalu mereka mernpertikaikannya dan mengatakan penceritaan ini sebagai ada udang disebalik batu .
Mereka takut penceritaan ini bertujuan untuk mencabut kekuasaan mereka dan menunjukkan kelebihan ke atas mereka.
Apakah yang ada pada nasihat Luqmanul-Hakim yang dikemukakan kepada anaknya?
Tidakkah nasihat seorang bapa kepada anaknya itu bersih dari segala keraguan dan jauh dari segala sangkaan yang buruk? Sebenarnya itulah hakikat yang disebut oleh setiap orang yang dikurniakan Allah pengetahuan hikmat yang bertujuan semata-mata untuk kebaikan bukannya tujuan yang lain darinya. lnilah penerangan psikologi yang dimaksudkan disini.
Catitan kuliah Magrib Malam Selasa di Masjid As Syakirin pada 5 Mei 2009 :
Firman Allah :
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.
At Taubah 112
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
At Taubah 113
Tafsiran :
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnul Musayyab, yang mendengar ayahnya bercerita, “Tatkala Abu Thalib, paman Rasulullah saw. mendekati ajalnya, datanglah beliau menjenguknya, di mana Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umaiyah sudah berada di tempat itu. Dan tatkala beliau mengajak pamannya agar mengucapkan kalimah syahadat
“Lailaha illallah”,
berkatalah Abu Jahl, “Apakah engkau berpaling dari agama Abdul Mutthalib ayahmu?”
Abu Thalib menjawab, “Aku tetap menurut agama Abdul Mutthalib.”
Lalu bersabdalah Rasulullah saw. kepadanya:
Artinya:
“Aku akantetap beristighfar (mintakan ampun) bagimu selama aku tidak dilarang”.
Kemudian turunlah ayat 113 tersebut di atas. Dan dalam hubungan ini turunlah pula ayat:
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
Al Qasas 56
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang berkata,
“Aku mendengar seorang pria beristighfar bagi kedua orang tuanya yang musyrik. Bertanya aku kepadanya,
“Apakah dapat orang beristighfar bagi kedua orang tuanya yang musyrik?”
Ia menjawab, “Tidakkah Nabi Ibrahim telah b~ristighfar bagi ayahnya?”
Lalu aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. yang dijawab dengan turunnya ayat 113 ini.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Buraidah yang mendengar ayahnya bercerita:
“Kami bersama Rasulullah saw. pada suatu waktu dalam suatu perjalanan di mana rombongan kami terdiri hampir seribu orang. Tatkala kami berhenti di suatu tempat kami melihat Rasulullah saw. bersembahyang dua rakaat lalu datang kepada kami dengan kedua matanya mencucurkan air mata. Umar Ibnul Khatthab bangun mendekatinya dan bertanya mengapa beliau menangis. Rasulullah saw. menjawab:
Artinya:
“Aku minta izin dari Tuhanku beristighfar bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengizinkan, maka bercucuranlah air mataku karena aku kasihan kepadanya dari api neraka. Dan aku pernah melarang kamu melakukan tiga perkara,
aku pernah melarang kamu berziarah ke kubur-kubur. Lakukanlah berziarah itu, karena itu dapat mengingatkan kamu akan halhal yang baik.
Aku pernah me/arang kamu makan dagingdaging kurban sesudah tiga hlari, sekarang bolehlah kamu memakannya atau tidak, sesuka hatimu.
Aku pernah melarang kamu meminum minuman dari cawan dan mangkukmangkuk. maka minumlah sesuka hatimu dari cawan manapun dan sekali-kali janganlah minum minuman yang memabukkan”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sulaiman bin Buraidah yang mendengar ayahnya bercerita, “Tatkala Rasulullah saw. datang di Makkah beliau mengunjungi sebuah pusara, duduk di depannya seraya bercakap-cakap, kemudian bangun berdiri sambit menangis. Kami bertanya, “Kami telah melihat apa yang engkau perbuat “ Rasullah saw menjawab ertinya:
“Aku telah minta izin dari Tuhanku untuk berziarah ke kubur ibuku dan diizinkan-Nya, tetapi tidak memberiku izin beristighfar untuknya”.
Maka tidak pernah beliau terlihat menangis sekeras demikian sejak hari itu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Mas’ud yang bercerita: “Pada suatu hari kami melihat Rasulullah saw. ke luar berziarah ke pekuburan, lalu kami mengikutinya hingga kami melihatnya beliau menghadap ke suatu kubur dan bercakap-cakap agak lama, kemudian kami melihatnya menangis dan kami pun turut menangis karena terharu oleh tangisnya. Beliau lalu bertanya, “Apakah yang menyebabkan kamu menangis?”
“Kami menangis karena tangismu, ya Rasulullah,” jawab kami. Kemudian bersabdalah beliau:
“Kubur yang aku duduk dl depannya itu adalah kubur Aminah, ibuku. Aku minta izin kepada Tuhanku untuk menziarahi dan diizinkan-Nya, tetapi ketika aku minta izin untuk berdoa baginya, Allah tidak mengizinkan-Nya dan menurunkanlah kepadaku ayat-ayat ini. Dan aku pernah melarang kamu berziarah ke pekuburan, maka lakukanlah itu sekarang, karena itu dapat mengingatkan kepada akhirat”.
Berkata Qatadah mengenai kedua ayat ini, “Diceritakan kepada kami bahwa ada beberapa sahabat Rasulullah saw. bertanya kepada Rasulullah saw., “Hai Nabi Allah, di antara bapak-bapak kami ada orang-orang yang berkelakuan baik terhadap tetangga, bersilaturrahmi kepada sanak keluarga, meringankan beban orang yang menderita, menepati janji-janji, apakah tidak patut kami beristighfar bagi mereka?”
Rasullah menjawab Artinya:
“Ya, patut kami lakukan itu, demi Allah aku beristighfar bagi ayahku sebagaimana Ibrahim beristighfar bagi ayahnya”.
Maka diturunkanlah oleh Allah kepada beliau dua ayat tersebut.
Diceritakan pula kepada kami, kata Qatadah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Ya, patut kami lakukan itu, demi Allah aku beristighfar bagi ayahku sebagaimana Ibrahim beristighfar bagi ayahnya”.
Maka diturunkanlah oleh Allah kepada beliau dua ayat terscbut.
Diceritakan pula kepada kami, kata Qatadah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Allah telah mewahyukan kepadaku beberapa kalimat yang masuk ke telingaku dan menetap di dalam hatiku: Aku di perintah tidak boleh beristighfar bagi orang mati dalam keadaan musyrik, barangsiapa menafkahkan hartanya yang tersisa adalah baik baginya dan barangsiapa menahannya adalah celaka baginya dan Allah sekali-kali tidak mencela kesederhanaan hidup”.
Mengenai kata “Auwah” dalam ayat 114 ini, banyak. tafsiran yang berbeda dan beraneka ragam, namun menurut Ibnu Jarir, yang paling mendekat kebenarannya, ialah yang menafsirkan dengan “banyak berdoa” yang memang menjadi sifat Nabi Ibrahim a.s. dan yang dilakukannya terhadap ayahnya walaupun ia banyak mengalami gangguan dan ancaman dari pihaknya sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran: Maksudnya :
Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurejam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Maryam 46-47
Intisari kuliah Magrib Malam Selasa di Masjid As Syakirin pada 28 April 2009 :
Maksud firman Allah :
Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. ( At Taubah 112 )
Tafsimya:
Ayat ini merupakan pujian dari Allah bagi hamba-hambaNya yang, telah rela menjual jiwanya dan hartanya kepada Allah dengan imbalan surga. Mereka itu disifatkan, orang-orang yang bertobat dari dosa-dosanya, beribadat kepada Tuhannya dalam kata-kata dan perbuatan, memuji kepada Allah, berpuasa meninggalkan makanan dan minuman yang lezat-Iezat, melakukan salat dengan rukuk dan sujud, dan di samping itu mereka menuntun dan mengajak hamba-hamba Allah ke jalan yang baik, melakukan amar makruf nahi mungkar dan berpengetahuan penuh tentang apa yang wajib dilakukan dan apa yang wajib ditinggalkan dalam batas-batas hukum Allah, halalnya dan haramnya.
Allah berfirman, gembirakanlah orang-orang mukmin itu, karena iman itu menjangkau semua sifat-sifat yang baik itu semuanya, dan bahagialah orang yang memilikinya.
Yang dimaksud dengan kata “melawat” dalam ayat ini ialah berpuasa, demikianlah pendapat Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas menurut riwayat Sufyan at-Tsauri dan Said bin Jubair.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Aisyah r.a. yang berkata, “Lawatannya umat ini adalah puasa.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Assa`ihum (pelancong-pelancong) itu ialah orang-orang yang berpuasa”.
Ada sebuah hadis lain yang memberi penafsiran “jihad” bagi kata “melawat-melancong” dalam ayat ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Umamah, babwa seorang datang kepada Rasulullab meminta izin untuk “siahah” melancong . Oleh beliau dijawab:
“Pelancongan umatku adalah berjihad di jalan Allah”.
Ikrimah berkata, bahwa pelancong-pelancong itu yang di maksud dalam al-Quran, ialah para penuntut ilmu. Sedang Abdurrahman bin Zaid bin Aslam memberi tafsiran, bahwa yang dimaksud ialah para “muhajirin”. Jadi yang jelas, bahwa yang dimaksud dengan kata melawat atau melancong dalam ayat ini, bukanlah melancong dan merantau di atas bumi Allah untuk menyendiri di atas puncak gunung atau di dalam gua-gua. Itu sekali-sekali tidak diperintahkan oleh agama, kecuali dalam keadaan terpaksa untuk menjauhi fitnah dan keguncangan dalam soal-soal agama.
Ustaz Ya Ali meringkaskan semua pendapat di atas sebagai perubahan sikap kepada kebaikan seperti yang di sukai Allah dan rasulnya.