Nikah Mut’ah : Pengalaman Bersama Imam Khomeini

Nikah Mut’ah  : Pengalaman Bersama Imam Khomeini[1]

Oleh : Al-Syeikh Al-Allamah Dr. Sayid Husain Al-Musawi Al-Husaini[2]

Ketika Imam Al-Khomeini tinggal di Iraq, kami berulang alik menemuinya dan menimba ilmu daripadanya sehingga hubungan kami dengannya menjadi rapat. Pernah sekali aku mendapat peluang musafir bersama beliau setelah beliau mendapat jemputan dari bandar Tal’afir, sebuah bandar yang terletak di barat Mausil2 yang jauh perjalanannya sekitar sejam setengah dengan menaiki kereta. Beliau telah mengajak ku untuk musafir bersamanya, maka aku pun bermusafir bersamanya. Mereka menyambut dan memuliakan kami selama tempoh kami tinggal bersama di salah sebuah keluarga Syiah di sana. Mereka berjanji akan menyampaikan ajaran Syiah di tempat tersebut dan mereka masih menyimpan gambar kenangan bersama kami yang diambil di rumah mereka.

Setelah selesai tempoh musafir, kami pulang. Ketika dalam perjalanan pulang ke Baghdad, Imam Al-Khomeini ingin berehat daripada keletihan musafir, lalu beliau menyuruh kami menuju ke kawasan Al ‘Atifiah yang merupakan tempat tinggal seorang lelaki berasal daripada Iran yang dikenali dengan Sayid Shahib, yang mempunyai hubungan yang rapat dengan beliau. Sayid Shahib sangat gembira dengan kedatangan kami. Kami tiba di tempatnya waktu Zuhur. Beliau menyediakan makan tengah hari yang istimewa kepada kami dan memaklumkan kepada saudara maranya tentang kedatangan kami. Mereka hadir dan memenuhi rumah beliau menyambut kedatangan kami dengan penuh penghormatan.

Sayid Shahib meminta kepada kami supaya bermalam di rumahnya pada malam tersebut. Imam pun bersetuju. Kemudian apabila tiba waktu Isyak kami disediakan dengan makan malam. Para hadirin yang hadir mencium tangan Imam dan bersoal jawab dengannya. Ketika hampir tiba waktu tidur para hadirin bersurai kecuali ahli rumah tersebut. Imam Al-Khomeini melihat kanak-kanak perempuan berumur empat atau lima tahun dan kanak-kanak tersebut sangat cantik. Imam meminta daripada ayahnya Sayid Shahib untuk bermut’ah dengannya dan ayahnya bersetuju dengan perasaan sangat gembira. Imam Al-Khomeini tidur dan kanak-kanak tersebut berada dalam dakapannya. Kami mendengar suara tangisan dan teriakan kanak-kanak tersebut.

Apa yang penting ialah Imam telah melalui malam tersebut. Apabila tiba waktu pagi, kami bersama-sama untuk sarapan pagi. Imam telah melihat kepada ku dan mendapati tanda-tanda tidak puas hati yang lahir secara jelas di wajah ku; Bagaimana pada waktu itu beliau sanggup bermut’ah dengan kanak-kanak perempuan tersebut sedangkan di dalam rumah tersebut terdapat ramai wanita-wanita muda, baligh, berakal yang tidak menjadi halangan kepada beliau untuk bermut’ah dengan salah seorang daripada mereka. Kenapa beliau tidak berbuat demikian?

Beliau berkata kepada ku: Sayid Husain, apa pendapat kamu tentang bermut’ah dengan kanak-kanak perempuan? Aku berkata kepadanya: Kata pemutus adalah kata-kata kamu, perbuatan yang benar adalah perbuatan mu dan kamu Imam Mujtahid. Mana mungkin orang seperti ku berpandangan atau berpendapat melainkan apa yang telah kamu lihat dan katakan , -dan seperti diketahui tidak mungkin aku bertentangan dengan kamu-.

Beliau berkata: Sayid Husain, sesungguhnya bermut’ah dengan kanak-kanak tersebut adalah harus tetapi dengan bercumbu-cumbuan, berciuman dan tafkhiz[3].  Adapun bersetubuh, dia (kanak-kanak) masih belum mampu untuk melakukannya.

Imam Al-Khomeini berpendapat harus bermut’ah walaupun dengan kanak-kanak yang masih menyusu. Beliau berkata: Tidak mengapa bermut’ah dengan kanak-kanak yang masih menyusu dengan memeluk dan tafkhiz – meletakkan zakarnya di antara dua pahanya- dan bercumbuan.

Lihat kitabnya { 2/241 : تحرير الوسيلة masalah nombor 12}


[1]Di petik daripada kitab “Pengakuan Ulama’ Syiah kepada Allah dan sejarah” dan kitab terjemahan bertajuk “Kenapa Aku Tinggalkan Syiah”. Buku ini sebenarnya satu lagi pendedahan secara akademik yang sekali gus membongkar beberapa perkara pokok pegangan Syiah Imamiah. Yang penting bagi setiap pembaca ialah dapat membezakan antara pegangan Imam-imam Dua Belas yang tulen dan penyelewengan yang dilakukan oleh beberapa orang tokoh Syiah khususnya selepas tahun 329 H.

[2] Seorang ulama Najaf. Berdasarkan proses pengajian dan pengalaman beliau mengajar di beberapa al-Hauzah Najaf, maka beliau berpeluang menjalinkan hubungan yang amat rapat dengan ulama-ulama dan tokohtokoh Syiah. Antaranya Kasyif al-Ghito’, Al-Khu’i, Al-Sadr , al-Khomeini, dan Abd Al-Husain Syarafuddin yang selalu berulang-alik ke Najaf. Tambahan pula ayah penulis juga merupakan antara ulama Syiah. Beliau kemudian meninggalkan Syiah

[3] Meletakkan zakar antara dua paha


10 thoughts on “Nikah Mut’ah : Pengalaman Bersama Imam Khomeini

  1. salam..
    ada yang bedah buku : “Kenapa Aku Tinggalkan Syiah” yang ditulis oleh Candiki Repantu.

    Allahumma shalli ‘ala muhamamd wa aali muhammad…

    HUSAIN AL-MUSAWI TIDAK MENGENAL ULAMA-ULAMA DAN IMAM-IMAM SYIAH

    “Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid syiah ini, ternyata tidak mengenal tokoh-tokoh dan ulama-ulama syiah, bahkan ia tidak mengenal imam syiah.”

    Sebagai buku yang ditulis untuk propokatif, karya Husain al-Musawi, “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah?” memang sudah sewajarnya tidak memiliki bobot akademis dan ilmiah. Selain kerancuan dan kejanggalan sosok Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid syiah, dia juga tidak mengenal tokoh-tokoh syiah bahkan gurunya sendiri. Selain itu bahkan dia tidak mengetahui tradisi keilmuan syiah dalam ushul maupun furu’.

    Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Husain al-Musawi adalah sosok fiktif yang mengarang buku dengan khayalan dan imajinasinya. Dia ingin membuat sandiwara dan berusaha menjadi pemain utamanya dan menjadikan yang lain sebagai “bandit-banditnya”. Tapi sayang, ternyata pemeran utama ini tidak tahu naskah skenarionya, dan tidak mengenal dengan baik lawan bermainnya. Pada edisi ketiga ini, kita akan mengungkap lanjutan kepalsuannya dan kebodohannya tentang ulama-ulama dan imam
    -imam syiah. Untuk tidak berpanjang mari kita cermati beberapa isi buku tersebut.

    1). Pada halaman 4 (dan berlanjut dihalaman2 berikutnya), ia menulis :

    > “Yang penting, saya menyelesaikan studiku dengan sangat memuaskan, hingga saya mendapat ijazah (sertifikat) ilmiah dengan mendapat derajat ijtihad dari salah seorang tokoh yang paling tinggi kedudukannya, yaitu SAYID MUHAMMAD HUSAIN ALI KASYIF AL-GHITA”….

    # Perhatikanlah, Husain Musawi menyebut “Sayid Muhammad Husain Ali Kasyf al-Ghita, padahal Allamah Kasyif al-Ghita bukanlah “SAYID”, karena beliau bukanlah keturunan dari Rasulullah saaw dan Ahlul bait nabi saaw. Sehingga Allamah Kasyf al-Ghita tidak pernah dipanggil dengan Sayid melainkan dengan “SYEIKH”. Kita bisa baca semua buku-buku ulama syiah yang besar maupun yang kecil, semua menyebut dengan “SYEIKH KASYF AL-GHITA”. Bahkan kita bisa lihat sendiri di dalam karya-karyanya misalnya “Ashl Syiah wa Ushuluha” disana disebutkan nama SYEIKH MUHAMMAD HUSAIN ALI KASYF AL-GHITA.

    Bagaimana mungkin Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid dan menjadi murid Syeikh Kasyif al-Ghita, tidak tahu tentang silsilah gurunya ini…??? Padahal orang awam syiah sekalipun tahu perbedaan antara Sayid dengan Syeikh.

    2). Pada halman 12, ia menulis :

    > “…sebagaimana SAYID MUHAMMAD JAWAD pun mengingkari keberadaannya ketika memberi pengantar buku tersebut”,

    # Perhatikanlah, dia menyebut Sayid Muhammad Jawad, padahal yang benar adalah “SYEIKH MUHAMMAD JAWAD (MUGHNIYAH)” karena beliau juga bukan keturunan ahlul bait as.

    # Masih banyak lagi kesalahannya seperti menyebut Sayid Ali Gharwi (lihat halaman 26), padahal seharausnya Mirza Ali Ghuruwi. Begitu juga pada halaman 111 dia menulis “SAYID MUHAMMAD BAQIR ASH-SHADUQ”..??? Siapa orang ini….??? Apakah maksudnya Syeikh Shaduq yang bernama asli Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qummi (gelarnya Syeikh Shaduq)…???? Atau apakah maksudnya adalah Allamah Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadr, salah seorang marja’ syiah di Najaf…?? … ini mungkin hanya salah tulis

    3. Tidak hanya disitu ia juga tidak bisa membedakan antara ulama sunni dan syiah. Bahkan keliru menyebut buku syiah. Misalnya : Pada halaman 28 dan 29 dia mengutip dari buku “Maqatil ath-Thalibin” padahal buku tersebut bukan buku syiah. “Maqatil ath-Thalibin” adalah buku karya Ulama ahlus sunnah Abul Faraj al-Isfahani al-Umawi.

    Itu diantara kekeliruan2 nya menyebut ulama-ulama syiah. Tapi hal itu masih lumayan. Sebab, tidak hanya sampai disitu, bahkan Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid syiah ini, tidak bisa membedakan imam2 syiah. Dia kesulitan membedakan Imam-imam syiah karena terkadang memiliki panggilan yang sama. Perhatikan pernyataanya berikut ini :

    4. Pada halaman 18, ia menulis :
    > Amirul mukminin as berkata, “Kalaulah aku bisa membedakan pengikutku, maka tidak akan aku dapatkan kecuali orang-orang yang memisahkan diri. Kalaulah akau menguji mereka, maka tidak akan aku dapatkan kecuali orang-orang murtad. Kalaulah aku menyeleksi mereka, maka tidak ada yang akan lolos seorang pun dari seribu orang.” (Al-Kafi/Ar-Raudhah, 8/338)

    # Ternyata Husain al-Musawi tidak mengenal Imam-imam Syiah. Diatas ia menulis “AMIRUL MUKMININ as berkata”. Perlu diketahui, gelar AMIRUL MUKMININ itu diperuntukkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib as (imam pertama syiah). Setelah kita periksa ke kitab ar-Raudhah al-Kafi, ternyata tidak terdapat kata “Amirul Mukminin”, tetapi yang ada adalah “ABUL HASAN”. Di bawah ini saya tuliskan riwayatnya sbb :

    وَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الصُّوفِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ بَكْرٍ الْوَاسِطِيُّ قَالَ قَالَ لِي أَبُو الْحَسَنِ ( عليه السلام ) لَوْ مَيَّزْتُ شِيعَتِي لَمْ أَجِدْهُمْ إِلَّا وَاصِفَةً وَ لَوِ امْتَحَنْتُهُمْ لَمَا وَجَدْتُهُمْ إِلَّا مُرْتَدِّينَ وَ لَوْ تَمَحَّصْتُهُمْ لَمَا خَلَصَ مِنَ الْأَلْفِ وَاحِدٌ وَ لَوْ غَرْبَلْتُهُمْ غَرْبَلَةً لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا مَا كَانَ لِي إِنَّهُمْ طَالَ مَا اتَّكَوْا عَلَى الْأَرَائِكِ فَقَالُوا نَحْنُ شِيعَةُ عَلِيٍّ إِنَّمَا شِيعَةُ عَلِيٍّ مَنْ صَدَّقَ قَوْلَهُ فِعْلُهُ .

    “Dengan sanad-sanad ini, dari Muhammad bin Sulaiman, dari Ibrahim bin Abdillah al-Sufi berkata: meyampaikan kepadaku Musa bin Bakr al-Wasiti berkata : “Abu al-Hasan a.s berkata kepadaku (Qala li Abul Hasan) : ‘Jika aku menilai syi‘ahku, aku tidak mendapati mereka melainkan pada namanya/sifatnya saja. Jika aku menguji mereka, nescaya aku tidak mendapati mereka kecuali orang-orang yang murtad (murtaddiin). Jika aku periksa mereka dengan cermat, maka tidak seorangpun yang lulus dari seribu orang. Jika aku seleksi mereka, maka tidak ada seorangpun yang tersisisa dari mereka selain dari apa yang ada padaku, sesungguhnya mereka masih duduk di atas bangku-bangku, mereka berkata : Kami adalah Syi‘ah Ali. Sesungguhnya Syi‘ah Ali adalah orang yang amalannya membenarkan kata-katanya. (ar-Raudhat al-Kafi hadis no 290)

    # Perhatikan, hadits di atas menyebutkan ABUL HASAN as, bukan Amirul Mukminin. Ketahuilah Abul Hasan as adalah panggilan utk beberapa imam syiah diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib as (imam pertama), Imam Ali Zainal Abidin as (imam keempat), Imam Musa al-Kadzhim (imam ketujuh), Imam Ali ar-Ridha (imam kedelapan), dan Imam Ali al-Hadi (imam kesepuluh).

    Sekarang siapakah Abul Hasan yang dimaksud oleh hadits di atas..???

    Jawabnya adalah bahwa hadits diatas berasal dari Imam Musa al-Kadzhim bukan dari Amirul mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as. Sebab, hadits tersebut diriwayatkan oleh Musa bin Bakr al-Wasithi, dan beliau adalah sahabat Imam Musa al-Kadzhim as (imam ketujuh syiah).

    Bagaimana mungkin, Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid ini, tidak mengenal imamnya sendiri..???? Ini mujtahid yag salah kaprah….

    # Selain itu, perhatikan bagaimana ia memotong bagian akhir dari riwayat tersebut yang menegaskan, “Kami adalah Syi‘ah Ali. Sesungguhnya Syi‘ah Ali adalah orang yang amalannya membenarkan kata-katanya”.

    Jika kita perhatikan akhir dari riwayat tersebut, maka jelaslah bagaimana Imam Musa al-Kadzim menyipati orang2 syiah yg sejati…..
    Dimanakah posisi Husain al-Musawi…??? mungkin termasuk yag bagian pertama dari hadits di atas….yaitu ngaku syiah dan murtaddin yang tidak lolos seleksi para imam….Wallahu a’lam.

    bersambung……

    untuk lebih lengkapnya sila kunjungi :

    http://www.facebook.com/note.php?note_id=130417240761

    http://www.facebook.com/note.php?note_id=130980440761

    http://www.facebook.com/note.php?note_id=133367755761

    http://www.facebook.com/note.php?note_id=152332315761

    http://www.facebook.com/note.php?note_id=152924205761

    salam damai…

    • Salam,
      Terima kasih saudara May atas ulasan melalui copy paste dan link yang diberikan.
      1. Sebuah novel saya tidak pentingkan siapa penulisnya – yang saya hayati dan perhatikan ialah kandungannya atau plot ceritanya. Penulisnya boleh jadi orang terkenal atau boleh saja sebaliknya. Saya tidak kisah ia keturunan Nabi s.a.w atau atau sekadar seorang Seikh. Saya juga tidak kisah jika di katakan penulisnya adalah tokoh yang tidak pernah ujud!Demikan pula buku Mengapa Aku Meninggalkan Syiah , tidak kira lah ianya sebuah kitab atau sebuah novel. Jestru dalam bedah buku Mengapa Saya Meninggalkan Syiah, saya mengharapkan contoh ulasan yang menyanggah fakta yang di beri oleh penulis Al-Syeikh Al-Allamah Dr. Sayid Husain Al-Musawi Al-Husaini, seperti sepatutnya saudara May atau Candiki Repantu mengulas kewajaran nikah Mutah. Apakah wajar Khomaini bermutah dengan kanak-kanak kerana Imam Al-Khomeini berpendapat harus bermut’ah walaupun dengan kanak-kanak yang masih menyusu. Beliau berkata: Tidak mengapa bermut’ah dengan kanak-kanak yang masih menyusu dengan memeluk dan tafkhiz – meletakkan zakarnya di antara dua pahanya- dan bercumbuan.

      Lihat kitabnya { 2/241 : تحرير الوسيلة masalah nombor 12}

      Adakah saudara bersetuju dengan Khomaini? Apakah jika saudara mempunyai anak perempuan yang masih kecil, sangup saudara serahkan kepada sesiapa pun ? Patutnya ini yang saudara ulaskan. Atau anda tentunya bersyukur kerana anda berpeluang bermutah dengan 1000 wanita sekalipun! Apakah anda periksa ajaran ini , sanadnya sampai kepada Nabi s.a.w ?

      2. Mengenai keujudan Abdullah bin Saba apakah sekadar menyatakan :

      (Keberadaan Abdullah bin Saba’ disebutkan baik oleh buku2 syiah maupun buku2 sunni. Jika ditelusuri sumber buku2 syiah ttg Abdulah bin Saba’ terdapat pada karya An-Naubakhti, Firaq al-Syiah dan al-Asyari al-Qumi, al-Maqqalat wal Firaq. Dan setelah kita periksa maka ternyata karya an-Naubakhti dan al-Qummi ini tidak menyebutkan sanadnya dan sumber pengambilannya…shg dianggap bahwa mereka hanya menuliskan cerita populer tersebut yg beredar dikalangan sunni.)

      Demikian sikap orang Syiah bila menolak sesuatu yang tidak disukai. Penolakkan tersebut juga sekaligus mendedahkan apakah demikian sikap ulama besar Syiah, yang sungguh tidak cermat didalam penulisan kitab mereka .

      Kita mengambil contoh , An-Naubakhti menyebut bahawa Ja’far bin Muhammad Al-Baqir telah menentukan anaknya Ismail sebagai imam secara nas semasa hidupnya lagi. Tetapi ternyata kemudiannya Ismail meninggal dunia, sedangkan bapanya Ja’far bin Muhammad al-Baqir masih hidup, katanya:

      Terjemahannya:

      “An-Naubakti menyebut bahawa Jafar bin Muhammad al-Baqir telah menentukan anaknya Ismail sebagai imam semasa beliau masih hidup. Tiba-tiba Ismail mati Iebih dahulu daripadanya, maka Jafar berkata, “Tidak ternyata kepada Allah mengenai sesuatu perkara sebagaimana tersembunyi kepada-Nya mengenaiperistiwa anakku Ismail”.

      (Kenyataan ini dipetik daripada kitab Fatawa Min Aqaid al-Syiah oleh Muhamad Umar Ba Abdillah hal. 15)

      Ringkasnya An Naubakhti menyebut Allah tidak tahu Imam akan mati dahulu atau anak imam akan mati dahulu!

      Ini lah konsep al Bada’ yang di percayai Syiah. Mengapa orang Syiah tidak periksa konsep al bada’ sanadnya sampai kepada nabi atau tidak ? Adalah mustahil dan tak masuk akal Nabi s.a.w akan mengatakan Allah tidak berpengetahuan apa yang akan berlaku!

      Maksud firman Allah:

      “Dan pada sisi Allah jualah anak kunci perbendaharaan segala yang ghaib, tiada sesiapa yang mengetahuinya melainkan Dialah sahaja dan Ia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut dan tidak gugur sehelai daunpun melainkan In mengetahuinya dan tidak gugur sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak gugur yang basah dan yang kering melainkan (semuanya) ada tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz) yang terang nyata.”

      (Surah al-An’am ayat 59)

      Soalan saya Quran mana yang saudara rujuk ? Sudah tentu saudara merujuk Quran yang lain!

      3. Jika kita membaca tulisan pada kitab Syiah terdapat macam-macam pekara pelek dan tak masuk akal yang ditulis oleh Ulama Syiah , mengapa saudara tidak periksa sanadnya sampai atau tidak kepada Nabi s.a.w?

  2. @Aburedza,

    Dugaan saya ternyata benar bahwa pernyataan Imam Khomeini yg sdr kutip bersumber dari Al-Syeikh Al-Allamah Dr. Sayid Husain Al-Musawi Al-Husaini yg katanya ulama Syi’ah yg keluar dari ajaran Syi’ah.

    Dari awal saya sdh mencurigai si Husein Musawi sbg ulama Syi’ah gadungan. Logika saya sederhana saja. Syi’ah sbg salah satu mazhab dlm Islam, sangat menekankan akal disamping naqal. Setiap org yg hendak mengenal Syi’ah bebas melakukan penelitian berbagai sumber, diskusi atau debat secara terbuka. Syi’ah tdk mengenal sistem pembelajaran yg dogmatis dan tertutup spt LDII umpamanya. Jadi ketika org masuk Syi’ah hal itu pasti berdasarkan kesadaran ilmunya yg tinggi. Makanya aneh kalau ada seorang “ulama Syi’ah” keluar dari Syi’ah. Yg terjadi justru sebaliknya.

    Dengan pembuktian dari sdr May yg menelanjangi kepalsuan Husein Musawi, seharusnya sdr melakukan penelitan dahulu dan lebih berhati-hati dlm mengutip suatu sumber. Begitu pula dlm tulisan sdr mengenai nikah mut’ah ternyata dari sumber yg memang sangat membenci Syi’ah, yaitu Hakekat.com. Hakekat.com terkenal dg ketidak-jujurannya dlm mengutip suatu sumber informasi. Mereka tak segan2 memotong atau mengedit sesuai dg maksudnya.

    Al-Quran mengingatkan kpd kita bahwa jangan karena kita membenci suatu kaum, kita berlaku tdk adil.

    • Saudara Wahyudi,
      Saya juga dah menjangka , saudara juga akan berkata Al-Syeikh Al-Allamah Dr. Sayid Husain Al-Musawi Al-Husaini adalah tokoh khayalan seperti mana orang2 Syiah berkata Abdulah bin Saba adalah tokoh khayalan. Saya hairan mengapa itu yang saudara pentingkan – mengapa saudara tidak megupas petikan ini :

      Imam Al-Khomeini berpendapat harus bermut’ah walaupun dengan kanak-kanak yang masih menyusu. Beliau berkata: Tidak mengapa bermut’ah dengan kanak-kanak yang masih menyusu dengan memeluk dan tafkhiz – meletakkan zakarnya di antara dua pahanya- dan bercumbuan.

      Lihat kitabnya { 2/241 : تحرير الوسيلة masalah nombor 12}

      Sepatutnya kenyataan di atas yang saudara ulaskan , betul atau salah, setuju atau tidak setuju. Memang orang Syiah menggunakan akal , tetapi akal yang dipercantikkan oleh Syaitan. Akal dengan dipandu syaitan memang akan mengatakan mutah dengan 1000 wanita adalah baik! Hanya akal yang di bantu Syaitan akan mengatakan Aisyah r.a perempuan jahat!

      Mengapa saudara alergic dengan hakikat com ? Sebabnya kerana hakikat.com membawa sumber syiah sendiri yang saudara tidak menjangkanya ? Sepatutnya saudara menafikan mana yang tidak betul , sebaliknya saudara tangkap borong sahaja. Gunakanlah akal !

  3. Betul syiah hanya mencari cari yg menguntungkan buat dia, akan tapi yg sebenarnya disembunyikan , itulah Syiah…

  4. Syiah hanya mencari fakta yg menguntungkan buat dia, akan tetapi fakta yg sebenarnya disembunyikan , itulah Syiah…

  5. Kalau guru kencing berdiri, anak murid kencing sambil berlari lari….. Somehow it must have something to do with that things between the legs…. Daripada Mutaah, kepada Caligula, Maharaja China yang ada 3,000 concubines, kamasutra…..

Tinggalkan komen