KASIH SAYANG DAN RAHMAT ALLAH

KASIH SAYANG DAN RAHMAT ALLAH

Dari Umar bin Alkhaththab رضي الله عنه, katanya: “Kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم  disampaikanlah tawanan perang. Tiba-tiba ada seorang wanita dari golongan kaum tawanan itu berjalan ketika menemukan seorang anak yang juga termasuk dalam kelompok tawanan tadi. Wanita itu lalu mengambil anak tersebut lalu diletakkannya pada perutnya, kemudian disusuinya.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم  lalu bersabda:

“Adakah engkau semua dapat mengira-ngirakan bahawa wanita ini akan sampai hati meletakkan anaknya dalam api?”

Kita – yakni para sahabat – menjawab:

“Tidak, demi Allah – maksudnya wanita yang begitu sayang pada anaknya, tidak mungkin akan sampai meletakkan anaknya dalam api.”

Selanjutnya beliau صلی الله عليه وسلم  bersabda:

“Niscayalah Allah itu lebih kasih sayang kepada sekalian hamba-hambaNya daripada kasih sayangnya wanita ini kepada anaknya.” (Muttafaq ‘alaih)

 

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه  katanya: “Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

“Ketika Allah menciptakan semua makhluk, maka ditulislah olehNya dalam suatu kitab, maka kitab itu ada di sisiNya di atas ‘arasy, yang isinya: Bahawasanya kerahmatanKu itu dapat mengalahkan kemurkaanKu.” [i]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Telah mengalahkan kemurkaanKu” dan dalam riwayat lainnyalagi disebutkan: “Telah mendahului kemurkaanKu.” – maksudnya bahwa kerahmatan itu jauh lebih besar daripada kemurkaanNya. (Muttafaq ‘alaih)

 

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه  pula, katanya: “Saya mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

“Allah menjadikan kerahmatan itu sebanyak seratus bahagian, olehNya ditahanlah yang sembilanpuluh sembilan dan diturunkanlah ke bumi yang satu bagian saja. Maka dari kerahmatan yang satu bagian itu sekalian makhluk dapat saling sayang-menyayangi, sehingga seekor binatangpun pasti mengangkat kakinya dari anaknya karena takut kalau akan mengenai – menginjak – anaknya itu.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki sebanyak seratus kerahmatan dan olehNya diturunkanlah satu bagian dari seratus kerahmatan itu untuk diberikan kepada golongan jin, manusia, binatang dan segala yang merayap. Maka dengan satu kerahmatan itu mereka dapat saling kasih- mengasihi, dengannya pula dapat sayang menyayangi, bahkan dengannya pula binatang buas itu menaruh iba hati kepada anaknya. Allah mengakhirkan yang sembilanpuluh sembilan kerahmatan itu yang dengannya Allah akan merahmati hamba-hambaNya pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)

Juga diriwayatkan Hadis seperti itu dari riwayat Salman al-Farisi رضي الله عنه, katanya: “Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu memiliki seratus kerahmatan, maka di antara seratus itu ada satu bagian kerahmatan yang dengannya sekalian makhluk dapat saling kasih-mengasihi antara sesamanya, sedang yang sembilanpuluh sembilan untuk hari kiamat nanti.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Sesungguhnya Allah itu di waktu menciptakan semua langit dan bumi, diciptakan pula olehNya seratus kerahmatan, setiap kerahmatan itu dapat merupakan tutup yang memenuhi alam di antara langit dan bumi.[ii] Kemudian dari seratus tadi yang satu kerahmatan dijadikan untuk diletakkan di bumi, maka dengan satu kerahmatan inilah seseorang ibu dapat mengasihi anaknya, binatang buas dan burung, sebagian kepada setengah yang lainnya. Selanjutnya apabila telah tiba hari kiamat, Allah akan menyempurnakan dengan kerahmatan ini – yakni dilengkapkan menjadi seratus penuh.”

 

Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik  – QS 23.118

Rujukan : Riyadhus-shalihin  – Imam Nawawi


[i] Maksudnya “KerahmatanKu itu mengalahkan atau mendahului kemurkaanKu” itu ialah bahwa kemurkaan Allah Ta’ala ataupun keridhaanNya itu kembali kepada pengertian iradah yakni kehendak Allah sendiri. Jadi sudah menjadi kehendak Allah bahawa pahala itu tentulah diberikan kepada orang yang mentaatiNya, sedangkan seseorang hamba Allah yang memperoleh kemuliaan dari Allah itu bererti mendapatkan keridhaan serta kerahmatanNya. Sebaliknya jika Allah berkehendak menyiksa orang yang melakukan kemaksiatan itupun sudah sepatutnya, sedang kehinaan yang diterima oleh manusia semacam itulah yang dinamakan kemurkaan Allah. Jadi pengertian mendahului dan mengalahkan di sini ialah kerana banyaknya kerahmatan dan apa saja yang terkandung dalam makna rahmat atau kasih sayang Allah itu.

[ii] Ini andaikata diperagakan menjadi suatu yang berbentuk sebagai benda, maka karena banyaknya kerahmatan itu, sehingga dapat memenuhi antara langit dan bumi karena amat besar dan agungnya.

Membaca Al Quran Semasa Ziarah Kubur

Jumaat sebelum menjelang Hari Raya Puasa baru-baru ini , khatib menyebut dalam kutbahnya ziarah kubur bukan sunah Rasullah s.a.w. Maka penulis memahami itu adalah pandangan kerajaan negeri, sekaligus semacam melarang ziarah kubur pada kedua hariraya ( Raya Puasa dan Raya Haji ). Sebaliknya menjadi kelaziman penulis setiap selepas solat hari raya akan melakukan ziarah kubur bapa.

Selepas solat sunat hari raya, kelihatan sekitar perkuburan ditepi masjid dipenuhi penziarah. Apakah amalan ini perlu dihapuskan? Bagi penulis, selagi ia bukan tegahan Allah dan Rasulnya teruskanlah bila-bila saja , termasuk pada kedua hari raya. Kerana hanya hari itu yang ada kelapangan , hari tu saja dapat balik kampung , maka silakan ziarah kubur orang tersayang. Takut-takut kalau tidak ziarah pada hari raya , terus tidak ziarah langsung.

Apakah boleh agaknya kita meminta jangan makan ketupat pada hari raya? Makan lah pada hari yang lain? Kalau analogi ini tidak sesuai, bagaimana kalau dibuat arahan , mengadakan kenduri kahwin jangan pada musim cuti sekolah , buatlah pada masa yang lain, kerana ini bukan sunah Rasullah s.a.w. !

Penulis apabila menziarahi kubur bapa akan membaca al Quran dan berdoa. Seorang teman mempersoalkan penulis  kerana membaca al Quran dan berkata ia bukan sunah Rasullah s.a.w. Beberapa hari kemudian teman tersebut menghulurkan buku kecil diterbitkan Jabatan Mufti Perlis bertajuk Membaca Al Quran Di Kubur.

Di dalam buku kecil tersebut mengandungi  dua tulisan. Pertama bertajuk Hadis Palsu Menyesatkan Umat oleh Dr Azwira Abdul Aziz . Tulisan kedua bertajuk Membaca Al Quran di Kubur oleh Mohd Khairil Anwar Abdul latif.

Penulis apabila membaca kedua-dua tulisan tersebut tidak mendapati pun tegahan Allah dan Rasulnya mengatakan tidak boleh membaca Al Quran di kubur. Hanya  penulis mendapati terdapat perbedzaan pendapat dan tafsiran mengenai hadis riwayat Muslim, Tirmizi dan Ahmad dari pada Abu Hurairah maksudnya:

“Jangan kamu jadikan rumah kamu seperti kawasan perkuburan. Sesunggunhnya syaitan akan lari  daripada rumah yang dibaca di dalamnya surah al-Baqarah”

Bagi penulis, hujah dari hadis tersebut tidak cukup kuat untuk mempengaruhi minda penulis untuk  merubah amalan penulis. Sehingga penulis mendapat hujah yang kuat penulis akan berpandukan penulisan Imam Nawawi didalam  Al-Azkar ,Im am Ibn Qayyim didalam Ar Ruh dan Imam al Ghazali didalam  Ihya Ulumiddin.  Untuk makluman penulis juga telah membaca hujah balas Membaca Al-Quran di atas Kubur: Jawapan kepada Artikel Zamihan Mat Zin Al-Ghari.

Pendapat Imam Nawawi

Dalam Kitab Az-Azkar , Pada Bab Apa yang dibacakan sesudah pengebumian beliau menulis:

Dianjurkan duduk sebentar di kuburan itu setelah selesai pengebumiannya sekadar waktu menyembelih seekor unta serta membahagi-bahagikan dagingnya. Orang yang duduk di situ hendaklah membaca AI-Quran, berdoa bagi si mayit, memberikan nasihat kepada yang duduk di situ dan membawakan cerita-cerita orang yang baik dan berita-berita para salihin.

Berkata Imam Syafi’i dan para sahabat: Ketika itu dianjurkan membaca sedikit daripada AI-Quran di tepi kubur itu, dan jika dapat mengkhatamkan AI-Quran semua sekali di situ memanglah sangat baik sekali.

Kami meriwayatkan dengan isnad hasan bahwa Ibnu Umar menganjurkan membaca di tepi kubur setelah selesai penguburan pertama dari surah AI-Baqarah dan akhirnya

Pendapat Imam Ibn Qayyim

Dalam Kitab ar-Ruh, Pada Tajuk Membaca Al Quran di atas kubur, Imam ibn Qayyim menulis:

Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan di at as kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata Abdul Haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menyuruh supaya dibacakan di atas kuburnya surah AI-Baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Mu’alla bin Abdul Rahman. Ada riwayat mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, pada mula­nya mengingkari pendapat ini kerana dia masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.

Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘AI-]ami’:

Telah berkata kepada­ku Al-Abbas bin Muhammad Ad-Dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin AI-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya: Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalarm lahad,  kemudian ratakan kubur itu dengan tanah , kemudian bacakan dikepalaku dengan pembukaan Ayat Surah AI-Baqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar r. a. menyuruh membuat demikian.

Berkata AI-Abbas Ad-Dauri kemudian:

Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu ten tang membaca di atas kubur. Maka katanya: Tidak ada! Kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.

Berkata Khallal, telah memberitahuku AI-Hasan bin Ahmad AI­Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa AI-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya:

Sekali peristiwa saya bersama-sama dengan Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah AI-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang buta membaca sesuatu di atas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya: Wahai fulan! Membaca sesuatu di atas kubur adalah bid’ah!  Apabila kita keluar dari perkuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah kepada Imam Ahmad bin Hanbal:

Wahai Abu Abdullah! Apa pendapatmu pada si Mubasysyir AI-Halabi?

Jawab Imam Ahmad:

Dia seorang yang dipercayai.

Berkata Muhammad bin Qudamah seterusnya:

Aku menghafal sesuatu daripadanya!

Sangkal Ahmad bin Hanbal:

Yakah, apa dia?

Berkata Muhammad bin Qudamah:

Telah memberitahuku Mubasysyir, daripada Abdul Rahman bin AI-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya dia telah berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan di kepalanya ayat-ayat per­mulaan surah AI-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil kata­nya: Aku mendengar Abdullah bin Umar (lbnu Umar) mewasiatkan orang membaca yang demikian itu.

Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah:

Kalau begitu, aku tarik balik tegahanku itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.

Berkata AI-Hasan bin As-Sabbah Az-Za’farani pula:

Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu di atas kubur orang, maka jawabnya: Boleh, tidak mengapa!

Khallal pula telah menyebutkan lagi daripada As-Sya’bi, katanya:

Adalah kaum Anshar, apabila mati seseorang di antara mereka, sentiasa­lah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada AI-Quran.

Pendapat Imam Al Ghazali

Dalam Kitab Ihya Ulumiddin pada tajuk ziarah kubur, Imam Al Ghazali menulis:

Tidak mengapa membaca Quran di atas kubur. Kemudian beliau membawa cerita Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah AI-Jauhari seperti kisah dibawa Ibn Qayyim di atas.

Al Ghazali menambah lagi : Muhammad bin Ahmad al Maruzi  berkata , ” Aku menndengar Ahmad bin Hambal  mengatakan : Apabila kamu masuk ke perkuburan  maka bacalah surah al Fatihah, Surah al Mu’awwaadzatain ( Surah Qul a audzu bi rabbil falaq, Qul a audzu bi rabbil nas ) dan Qul huwallah hu ahad, jadikanlah pahalanya untuk yang dalam kuburan itu, maka  pahala itu akan sampai kepada mereka.

Kesimpulan

  1. Penulis berkeyakinan tiada tegahan melakukan ziarah kubur pada hari raya
  2. Penulis berkeyakinan tiada larangan membaca al Quran di atas Kubur. Jika ada larangan sudah tentu Imam Nawawi , Imam Ibn Qayyim , Imam al Ghazali dan Imam Syafie menyebutnya.
  3. Nabi s.a.w pernah bersembahyang jenazah di perkuburan , bermakna Nabi s.a.w pernah membaca Fatihah di perkuburan.