KISAH NABI MUSA DAN KHIDIR A.S.: ILMU MANUSIA BANDINGAN AIR PADA PARUH PIPIT YANG MEMATUK AIR LAUT

KISAH NABI MUSA DAN KHIDIR A.S.: ILMU MANUSIA BANDINGAN AIR PADA PARUH PIPIT YANG MEMATUK AIR LAUT

Hadis riwayat Ubay bin Kaab رضي الله عنه:

Ia berkata : Dari Said bin Jubair ia berkata: Aku pernah berkata kepada Ibnu Abbas رضي الله عنه  bahwa Naufan Al-Bukali beranggapan bahwa Musa عليه السلام  nabi Bani Israel adalah bukan Musa yang menjadi sahabat Khidhir.

Ibnu Abbas berkata: Musuh Allah adalah pembohong. Aku pernah mendengar Ubay bin Kaab رضي الله عنه  berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

Musa عليه السلام pernah berdiri berpidato di tengah-tengah Bani Israel.

Dia (Musa) lalu ditanya: Siapakah manusia yang paling berilmu? Dia menjawab: Akulah orang yang paling berilmu.

Allah lantas menegurnya karena dia tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Allah lalu memberi wahyu kepadanya bahwa salah seorang hamba-Ku yang menetap di tempat pertemuan dua lautan adalah lebih berilmu daripada kamu.

Selanjutnya Musa bertanya: Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat bertemu dengannya? Dikatakan kepadanya: Bawalah seekor ikan dalam sebuah keranjang. Di mana saja kamu kehilangan ikan tersebut, maka di situlah dia berada.

Kemudian Musa pun berangkat bersama muridnya bernama Yusya’ bin Nun. Musa عليه السلام membawa ikan tersebut dalam sebuah keranjang. Dia dan muridnya berangkat dengan berjalan kaki sampai keduanya mencapai sebuah batu karang besar dan tidurlah Musa عليه السلام dan muridnya. Sementara ikan yang berada dalam keranjang bergerak dan keluar dari keranjang lalu jatuh ke laut. Kemudian Allah menahan ombak, sehingga menjadi seperti sebuah lengkungan buat melintas ikan tersebut. Musa عليه السلام dan muridnya terheran-heran. Mereka meneruskan sisa perjalanan pada siang dan malam hari sedangkan murid Musa عليه السلام lupa untuk memberitahukannya.

Keesokan paginya Musa عليه السلام berkata kepada muridnya: Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. Tetapi (Musa عليه السلام) tidak akan merasa letih sebelum dia sampai di tempat yang diperintahkan.

Muridnya berkata: Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di sebuah batu karang tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, setanlah sebenarnya yang membuatku lupa untuk menceritakannya, ikan itu telah masuk ke laut dengan cara yang sangat aneh sekali.

Selanjutnya Musa عليه السلام berkata: Kalau begitu itulah tempat yang kita cari. Keduanya lalu kembali. Keduanya mengikuti jejak mereka semula. Hingga ketika mereka tiba di batu karang tadi Musa tiba-tiba melihat seorang lelaki yang berselimut dengan sebuah pakaian dan itulah Khidhir. Musa عليه السلام mengucapkan salam kepadanya.

Khidhir bertanya kepadanya: Ternyata di negerimu terdapat salam! (Musa عليه السلام) berkata: Aku adalah Musa. Khidhir bertanya: Musa Bani Israel? Dia menjawab: Ya. Khidhir berkata: Sesungguhnya kamu memiliki ilmu dari ilmu-ilmu Allah yang telah diajarkan Allah kepada kamu yang aku tidak ketahui. Sebaliknya aku juga memiliki ilmu dari ilmu-ilmu Allah yang telah diajarkan Allah kepadaku yang tidak kamu ketahui.

Musa عليه السلام berkata kepada Khidhir: Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? Khidhir menjawab: Sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku. Bagaimana kamu bisa sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? Musa عليه السلام berkata: Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusanpun. Khidhir berkata kepadanya: Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan tentang sesuatu apapun sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.

Musa menjawab: Baiklah. Khidhir dan Musa عليه السلام lalu berangkat dengan berjalan kaki di tepi pantai dan lewatlah sebuah perahu di hadapan mereka berdua. Mereka bercakap-cakap dengan para penumpangnya agar mau mengangkut mereka. Karena sudah kenal dengan Khidhir, mereka lalu membawa keduanya tanpa bayaran.

Khidhir beranjak ke salah satu papan perahu lalu dicabutnya. Musa عليه السلام berkata kepada Khidhir: Mereka telah membawa kita dengan percuma tetapi dengan sengaja perahu mereka kamu lobangi! Apakah kamu hendak menenggelamkan penumpangnya. Sesungguhnya kamu telah berbuat suatu kesalahan yang besar? Khidhir berkata: Bukankah aku telah berkata: Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku. Musa عليه السلام berkata: Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.

Selanjutnya mereka meninggalkan perahu tersebut. Saat mereka sedang berjalan di tepi pantai, tiba-tiba ada seorang anak remaja bermain dengan beberapa temannya. Khidhir memegang kepala anak itu lalu memenggalnya sehingga terbunuhlah ia.

Musa عليه السلام berkata: Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu? Bukankah dia tidak membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.

Khidhir berkata: Bukankah sudah aku katakan kepadamu, bahwa kamu tidak akan sabar bersamaku. Perbuatan ini lebih kejam lagi daripada yang pertama. Selanjutnya Musa عليه السلام berkata: Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.

Maka keduanya berjalan, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Ia berkata: Miring, Khidhir mengisyaratkan dengan tangannya dan menegakkan dinding tersebut. Musa عليه السلام berkata kepada Khidhir: Orang-orang yang kita datangi tidak mau menerima kita sebagai tamu dan tidak mau menjamu kita. Jikalau kamu mau niscaya kamu mengambil upah untuk pekerjaan itu. Khidhir berkata: Inilah perpisahan kita. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang membuat kamu tidak sabar terhadapnya.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

Semoga Allah merahmati Musa. Aku akan senang sekali kalau saja Musa عليه السلام boleh bersabar sehingga dia dapat menceritakan kepada kita tentang pengalaman mereka berdua.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

Tindakan Musa عليه السلام yang pertama memang karena lupa. Beliau bersabda: Seekor burung terbang lalu hinggap pada tepi perahu itu dan mematuk ke laut. Khidhir lalu berkata kepadanya: Ilmu kita jika dibandingkan dengan ilmu Allah adalah seperti patukan seekor burung pipit tersebut pada laut itu .

Shahih Muslim

Kitab Keutamaan Beberapa Perkara : Keutamaan-keutamaan Khidhir عليه السلام

Hadits marfu’ .No: 4385

Galakan Untuk Kahwin Mutah Dan Sanggahannya

Dalam urusan nikah mut’ah Syi’ah memiliki banyak keburukan, kekejian, hal-hal yang menjijikkan dan kebodohan terhadap Islam. Mereka mengangkat nilai setiap keburukan dan meninggikan setiap yang kotor. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (berupa zina) atas nama agama dan dusta terhadap para Imam. Mereka membolehkan semua yang mereka mau, mereka membiarkan nafsu tenggelam dalam kelezatan yang menipu dan kemungkaran-kemungkaran. Mut’ah adalah sebaik-baik saksi dan bukti, mereka telah menghiasi mut’ah dengan segala kesucian, keagungan dan keanggunan, hingga mereka menjadikan balasan pelakunya adalah surga -Naudzubillah-, mereka memperbanyak keutamaan-keutamaan mut’ah dan keistimewaannya, seraya menyesatkan -sebagaimana lazimnya- orang-orang yang mereka jadikan sebagai tawanan bagi ucapan-ucapan mereka yang dusta. Di antaranya ialah:

Al-Kasyani dalam tafsirnya, berbohong atas Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda, Telah datang kepadaku Jibril darl sisi Tuhanku, membawa sebuah hadiah. Kepadaku hadiah itu adalah menikmati wanita-wanita mukminah (dengan kawin kontrak). Allah belum pernah memberikan hadiah kepada para nabipun sebelumku, Ketahuilah mut’ah adalah keistimewaan yang dikhususkan oleh Allah untukku, karena keutamaanku melebihi semua para nabi terdahulu. Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dalam umurnya, la menjadi ahli surga. Jika laki-laki dan wanita yang melakukan mut’ah berter di suatu tempat, maka satu malaikat turun kepadanya untuk menjaga hingga mereka berpisah. Apabila mereka bercengkerama maka obrolan mereka adalah berdzikir dan tasbih. Apabila yang satu memegang tangan pasangannya maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan bercucuran keluar dari jemari keduanya. Apabila yang satu mencium yang lain maka ditulis pahala mereka setiap ciuman seperti pahala haji dan umrah. Dan ditulis dalam jima’ (persetubuhan) mereka, setiap syahwat dan kelezatan satu kebajikan bagaikan gunung-gunung yang menjulang ke langit. Jika mereka berdua asyik dengan mandi dan air berjatuhan, maka Allah menciptakan dengan setiap tetesan itu satu malaikat yang bertasbih dan menyucikan Allah, sedang pahala tasbih dan taqdisnya ditulis untuk keduanya hingga hari Kiamat.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani)

Mereka juga berdusta atas nama Ja’far Ash-Shadiq, alim yang menjadi lautan ilmu ini! dikatakan oleh mereka telah bersabda: “Mut’ah itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang mengingkarinya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut’ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut’ah adalah kafir murtad.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)

Mereka juga berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda: “’Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut’ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut’ah tiga kali dimerdekakan dirinya dari neraka.”

Mereka menambah tingkat kejahatan dn kesesatan merea dengan meriwayatkan atas nama Rasulullah Shallallhu‘alihi wasallam: “Barangsiapa melakukan mut’ah dengan seorang wanita Mukminah, maka seoloh-olah dia telah berziarah ke Ka’bah (berhaji sebanyak 70 kali).(‘Ujalah Hasanah Tarjamah Risalah Al Mut’ah oleh Al-Majlisi Hal.16).

Mut’ah, Rukun, Syarat dan Hukumnya

Fathullah Al-Kasyani menukil di dalam tafsirnya sebagai berikut, “Supaya diketahui bahwa rukun akad mut’ah itu ada lima: Suami, istri, mahar, pembatasan waktu (Taukit) dan shighat ijab qabul.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.357)

Dia menjelaskan, “Bilangan pasangan mut’ah itu tidak terbatas, dan pasangan laki-laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat tinggal, dan sandang serta tidak saling mewarisi antara suami-istri dan dua pasangan mut’ah ini. Semua ini hanya ada dalam akad nikah yang langgeng,” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.352)

 

Syarat-syarat Mut’ah

  1. Perkawinan ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada para saksi!
  2. Laki-laki terbebas dari beban nafkah!
  3. Boleh bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita!
  4. Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!
  5. Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!
  6. Lamanya kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu!
  7. Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak!

Abu Ja’far Ath-Thusi menukil bahwa Abu Abdillah Alaihis-Salam (Imam mereka yang di anggap suci) ditanya tentang mut’ah apakah hanya dengan empat wanita?

Dia menjawab, “Tidak, juga tidak hanya tujuh puluh.”

Sebagaimana dia juga pernah ditanya apakah hanya dengan empat wanita?

Dia menjawab, “Kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karena mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya wanita sewaan.”(At-Tahdzif oleh Abu Ja’far Aht-Thusi, Juz III/188)

Mereka menisbatkan kepada imam keenam. yang ma’shum dia bersabda, “Tidak mengapa mengawini gadis jika dia rela tanpa ijin bapaknya.” (At-Tahdzif Al-Ahkam juz VII/256)

Mereka menisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq, dia ditanya, “Apa yang harus, saya katakan jika saya telah berduaan dengannya?” Dia berkata, engkau cukup mengatakan ,aku mengawinimu secara mut’ah (untuk bersenang-senang saja) berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, tidak ada yang mewarisi dan tidak ada yang diwarisi, selama sekian! hari.Jika kamu mau, sekian tahun, Dan kamu sebutkan upahnya, sesuatu yang kalian sepakati sedikit atau banyak.(Al-Furu’ Min Al Kafi Juz V/455)

Demikianlah kawin mut’ah dalam agama Syi’ah yang dengannya mereka menipu orang-orang bodoh dari kalangan orang-orang yang awam, seraya menyihir mata mereka dengan berbagai macam atraksi sulap dan sihir serta, mengada-ada ucapan dusta, atas nama Allah dan Rasul-Nya.

Bantahan terhadap Kebolehan Mut’ah

Sesungguhnya nikah mut’ah pernah dibolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan dan darurat waktu itu kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau malah mengharamkan dua kali, pertama pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan yang kedua pada Fathu Makkah, tahun 8 H.

Mereka [Syi’ah sendiri] meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengharamkan pada Perang Khaibar daging himar jinak dan nikah mut’ah.” (At-Tahdzif Juz II/186) Riwayat inipun terdapat dalam sahih Bukhari. Maka semakin jelas tentang agama mereka yang dibangun atas dasar rekayasa, ucapan mereka bertentangan satu sama lain. Maka kami membantah kalian wahai Syi’ah !!, dengan kitab-kitab kalian sendiri.

Ini adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyah (berbohong). Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Syi’ah tidak boleh melakukan taqiyah dalam mut’ah, la taqiyyata fi al-mut’ah (tidak ada taqiyah dalam mut’ah).

Ali, Umar dan Ibnu Abbas Berlepas Diri

Kemudian, Umar tidak pernah mengatakan, “Mut’ah halal pada zaman Nabi dan saya melarangnya!” Tetapi mut’ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan menegakkan hukum keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal, ya, akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Di antara yang menguatkan lagi adalah pelarangan ‘Ali ketika menjadi khalifah.

Syi’ah tidak memiliki bukti dari Salaf Shalih kecuali dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, akan tetapi Ibnu abbas sendiri telah rujuk dan mencabut kembali kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika di mengetahui larangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia (Ibnu Abbas) telah berkata : “Sesungguhnya hal ini perlu saya jelaskan agar sebagian Syi’ah Rafidhoh tidak berhasil mengelabui sebagian kaum Muslimin.” (Sunan Al-Baihaqi 318 100 ; muhammad Al-Ahdal, hal. 251-252)

Sebagaimana kitab Syi’ah sendiri menyebutkan keharamannya, dan Imam Syi’ah ke-enam [yang diangap suci dari kesalahan] telah berkata kepada sebagian sahabatnya : “Telah aku haramkan mut’ah atas kalian berdua” (Al-Furu’ min Al-Kafi 2 48).

Adapun dalil mereka dengan sebagian hadits-hadits yang ada pada kitab Shahih Ahlussunnah maka hadits-hadits tersebut telah dinasakh [dihapus hukumnya]. Hal ini menjadi jelas dari hadits-hadits yang datang mengharamkan setelahnya. Di antara yang menunjukkan mut’ah bukan nikah adalah mereka [syi’ah] memandang bahwa mut’ah boleh dengan berapa saja sekalipun seribu wanita. Ini adalah menyalahi Syari’at yang hanya membolehkan [paling banyak] empat wanita.

Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi * –  “Asy-Syi’ah minhum ‘alaihim”

____________________________________

* SYAIKH MAMDUH BIN FARHAN AL-BUHAIRINama lengkap:
Abu Maria Mamduh ibn Muhammad ibn Ali Farhan al-Buhairi
Tempat tanggal lahir:
Makkah al-Mukarramah, 10/8/1387 H
Nasab:
Bersambung ke suku Khazraj al-Anshariyyah
Status:
Berkeluarga, baru dikarunia 2 anak putri

Pendidikan formal:
Seluruh jenjang pendidikannya ditempuh di Makkah hingga tamat dari Ma’had al-Haram al-Makki as-Syarif

Pendidikan non formal:
Mulazamah pada Syaikh Ibn Bazz dan Syaikh Ibn Utsaimin saat beliau berdua berada di Makkah al-Mukarramah
Belajar pada para ulama di Masjidil Haram
Aktifitas:

  1. Direktur perhimpunan Muslim Muallaf dunia
  2. Anggota di banyak lembaga islam
  3. Bekerja di bidang dakwah di banyak Negara Islam
  4. Penulis kitab-kitab Islamiyyah terutama bidang dakwah
  5. Komisaris majalah Qiblati
  6. Konsultan dalam masalah keluarga di majalah Qiblati

Karya tulis dalam bentuk kitab:

  1. Asy-Syi’ah Minhum ‘Alaihim (telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul GEN Syi’ah, Sejarah konspirasi Yahudi dan Penyimpangan Aqidah Syi’ah, Dar al-Falah, Jakarta, 2002)
  2. Imathathul-Litsam wa Kabhul-Awham (terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Kuburan agung, Darul Haq, jakarta, 2005
  3. Khushumul Qur`an atau ar-Rass ala Syubuhatil Qur`an (telah diterjemahkan dan belum diterjemahkan. Beberapa bagiannya telah dimuat di rubrik Koreksi dalam majalah Qiblati)
  4. Al-Hadharah al-Islamiyyah
  5. Haqiqatul Kitab al-Muqaddas
  6. dll.

KASIH SAYANG DAN RAHMAT ALLAH

KASIH SAYANG DAN RAHMAT ALLAH

Dari Umar bin Alkhaththab رضي الله عنه, katanya: “Kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم  disampaikanlah tawanan perang. Tiba-tiba ada seorang wanita dari golongan kaum tawanan itu berjalan ketika menemukan seorang anak yang juga termasuk dalam kelompok tawanan tadi. Wanita itu lalu mengambil anak tersebut lalu diletakkannya pada perutnya, kemudian disusuinya.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم  lalu bersabda:

“Adakah engkau semua dapat mengira-ngirakan bahawa wanita ini akan sampai hati meletakkan anaknya dalam api?”

Kita – yakni para sahabat – menjawab:

“Tidak, demi Allah – maksudnya wanita yang begitu sayang pada anaknya, tidak mungkin akan sampai meletakkan anaknya dalam api.”

Selanjutnya beliau صلی الله عليه وسلم  bersabda:

“Niscayalah Allah itu lebih kasih sayang kepada sekalian hamba-hambaNya daripada kasih sayangnya wanita ini kepada anaknya.” (Muttafaq ‘alaih)

 

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه  katanya: “Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

“Ketika Allah menciptakan semua makhluk, maka ditulislah olehNya dalam suatu kitab, maka kitab itu ada di sisiNya di atas ‘arasy, yang isinya: Bahawasanya kerahmatanKu itu dapat mengalahkan kemurkaanKu.” [i]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Telah mengalahkan kemurkaanKu” dan dalam riwayat lainnyalagi disebutkan: “Telah mendahului kemurkaanKu.” – maksudnya bahwa kerahmatan itu jauh lebih besar daripada kemurkaanNya. (Muttafaq ‘alaih)

 

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه  pula, katanya: “Saya mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

“Allah menjadikan kerahmatan itu sebanyak seratus bahagian, olehNya ditahanlah yang sembilanpuluh sembilan dan diturunkanlah ke bumi yang satu bagian saja. Maka dari kerahmatan yang satu bagian itu sekalian makhluk dapat saling sayang-menyayangi, sehingga seekor binatangpun pasti mengangkat kakinya dari anaknya karena takut kalau akan mengenai – menginjak – anaknya itu.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki sebanyak seratus kerahmatan dan olehNya diturunkanlah satu bagian dari seratus kerahmatan itu untuk diberikan kepada golongan jin, manusia, binatang dan segala yang merayap. Maka dengan satu kerahmatan itu mereka dapat saling kasih- mengasihi, dengannya pula dapat sayang menyayangi, bahkan dengannya pula binatang buas itu menaruh iba hati kepada anaknya. Allah mengakhirkan yang sembilanpuluh sembilan kerahmatan itu yang dengannya Allah akan merahmati hamba-hambaNya pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)

Juga diriwayatkan Hadis seperti itu dari riwayat Salman al-Farisi رضي الله عنه, katanya: “Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu memiliki seratus kerahmatan, maka di antara seratus itu ada satu bagian kerahmatan yang dengannya sekalian makhluk dapat saling kasih-mengasihi antara sesamanya, sedang yang sembilanpuluh sembilan untuk hari kiamat nanti.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Sesungguhnya Allah itu di waktu menciptakan semua langit dan bumi, diciptakan pula olehNya seratus kerahmatan, setiap kerahmatan itu dapat merupakan tutup yang memenuhi alam di antara langit dan bumi.[ii] Kemudian dari seratus tadi yang satu kerahmatan dijadikan untuk diletakkan di bumi, maka dengan satu kerahmatan inilah seseorang ibu dapat mengasihi anaknya, binatang buas dan burung, sebagian kepada setengah yang lainnya. Selanjutnya apabila telah tiba hari kiamat, Allah akan menyempurnakan dengan kerahmatan ini – yakni dilengkapkan menjadi seratus penuh.”

 

Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik  – QS 23.118

Rujukan : Riyadhus-shalihin  – Imam Nawawi


[i] Maksudnya “KerahmatanKu itu mengalahkan atau mendahului kemurkaanKu” itu ialah bahwa kemurkaan Allah Ta’ala ataupun keridhaanNya itu kembali kepada pengertian iradah yakni kehendak Allah sendiri. Jadi sudah menjadi kehendak Allah bahawa pahala itu tentulah diberikan kepada orang yang mentaatiNya, sedangkan seseorang hamba Allah yang memperoleh kemuliaan dari Allah itu bererti mendapatkan keridhaan serta kerahmatanNya. Sebaliknya jika Allah berkehendak menyiksa orang yang melakukan kemaksiatan itupun sudah sepatutnya, sedang kehinaan yang diterima oleh manusia semacam itulah yang dinamakan kemurkaan Allah. Jadi pengertian mendahului dan mengalahkan di sini ialah kerana banyaknya kerahmatan dan apa saja yang terkandung dalam makna rahmat atau kasih sayang Allah itu.

[ii] Ini andaikata diperagakan menjadi suatu yang berbentuk sebagai benda, maka karena banyaknya kerahmatan itu, sehingga dapat memenuhi antara langit dan bumi karena amat besar dan agungnya.

Jawaban Nabi s.a.w. Kepada Kemarahan Ansar Selepas Perang Hunain

Jawaban Nabi s.a.w. Kepada Kemarahan Ansar Selepas Perang  Hunain

Tindakan Muhammad s.a.w. memberikan rampasan perang yang cukup banyak kepada golongan mualaf penduduk Mekah , setelah Mekah dibebaskan dan sesudah perang Hunain dan Ta’if , telah menjadi bahan pembicaraan kalangan Ansar:

“Rasulullah s.a.w. telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri,” kata mereka.

Setelah hal ini disampaikan kepada Nabi, dimintanya Sa’d bin Ubadah — pemimpin Khazraj — mengumpulkan mereka. Sesudah mereka berkumpul kata Nabi s.a.w. kepada mereka:

“Saudara-saudara kaum Ansar. Ada desas-desus disampaikan kepadaku, yang merupakan perasaan yang ada dalam hati kamu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Allah membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Allah memberikan kecukupan kepada kamu, kamu dalam permusuhan, Allah raempersatukan kamu?”

Mendengar itu Ansar hanya menekur, dan jawaban mereka hanyalah:

“Ya benar. Allah dan Rasulullah juga yang lebih bermurah hati.”

Nabi s.a.w. bertanya lagi:

“Saudara-saudara Ansar, kamu tidak menjawab kata-kataku!”

Mereka masih menekur, dan tak lebih hanya mengatakan:

“Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan ada pada Allah dan Rasul-Nya juga.”

Mendengar jawaban itu Rasulullah berkata lagi:

“Ya, sungguh, demi Allah. Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan — kamu benar dan pasti dibenarkan — “Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu, engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu; engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat; engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu.”

Kata-kata itu diucapkan oleh Nabi  s.a.w. dengan jelas sekali dan penuh keharuan. Kemudian katanya lagi:

“Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya karena sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang perlu diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah dapat dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu?

Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Ansar. Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan cucu-cucu Ansar.”

Begitu terharu orang-orang Ansar mendengar kata-kata Nabi yang keluar dari lubuk hati yang ikhlas diucapkan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, terutama kepada mereka yang dulu pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dengan satu sama saling memberikan kekuatan — sehingga orang-orang Ansar itu menangis seraya berkata:

“Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”

Pemberian harta rampasan perang Hunain kepada golongan mualaf bukan yang pertama kali menimbulkan kegelisahan dalam hati orangorang  Ansar. Kegelisahan demikian sudah pernah timbul tatkala Mekah dibebaskan.

Mereka melihat Rasulullah berdiri di Safa sambil berdoa, dan ketika mereka melihatnya sedang menghancurkan berhala-berhala, yang dalam suatu hari berhasil diselesaikannya apa yang diserukannya selama dua puluh tahun. Sekarang terbayang oleh mereka bahwa ia pasti meninggalkan Medinah, kembali ke tempat tumpah darah semula.

Mereka berkata satu sama lain:

“Bagaimana pendapatmu, setelah Allah memberi kemenangan, akan menetapkah Rasulullah di negerinya sendiri?”

Setelah Muhammad mengetahui rasa kekhawatiran itu, ia langsung berkata:

“Berlindunglah kita kepada Allah! Hidup dan matiku akan bersama kamu.”

Peristiwa di atas dirakamkan oleh  Dr. Muhammad Husain Haekal di dalam Bukunya Abu Bakar as Sidiq adalah  bersesuaian dengan hadis berikut :

  • Hadis riwayat Abdullah bin Zaid ra.:
    Bahwa Rasulullah saw. membagi-bagikan harta rampasan perang ketika memenangkan perang Hunain . Beliau memberi orang-orang yang hendak dibujuk hatinya (orang yang baru masuk Islam). Lalu sampai berita kepadanya bahwa orang-orang Ansar ingin mendapatkan seperti apa yang diperoleh oleh mereka. Maka Rasulullah saw. berdiri menyampaikan pidato kepada mereka. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau bersabda: Hai orang-orang Ansar, bukankah aku temukan kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah menunjuki kalian dengan sebab kau? Bukankah aku temukan kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah membuat kalian kaya dengan sebab aku? Bukankah aku temukan kalian dalam keadaan terpecah-belah, lalu Allah mempersatukan kalian dengan sebab aku? orang-orang Ansar menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkit-ungkit. Kemudian beliau bersabda: Mengapa kalian tidak menjawabku? Mereka berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkit-ungkit. Beliau bersabda: Kalian boleh saja berkata begini dan begini pada masalah begini dan begini. (Beliau menyebutkan beberapa hal. Amru, perawi hadis mengira ia tidak dapat menghafalnya). Selanjutnya beliau bersabda: Tidakkah kalian rela jika orang lain pergi dengan membawa kambing-kambing dan unta dan kalian pergi bersama Rasulullah ke tempat kalian? Orang-orang Ansar itu bagaikan pakaian dalam dan orang lain seperti pakaian luar (maksudnya orang Ansarlah yang paling dekat di hati Nabi saw.) Seandainya tidak ada hijrah, tentu aku adalah salah seorang di antara golongan Ansar. Seandainya orang-orang melalui lembah dan lereng, tentu aku melalui lembah dan celah orang-orang Ansar. Kalian pasti akan menemukan keadaan yang tidak disukai sepeninggalku. Karena itu, bersabarlah kalian hingga kalian bertemu denganku di atas telaga (pada hari kiamat). (Shahih Muslim No.1758)
  • Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
    Ketika hari perang Hunain , Rasulullah saw. mengutamakan beberapa orang dalam pembagian. Beliau memberi Aqra` bin Habis seratus ekor unta, memberikan kepada Uyainah dan beberapa para memuka Arab. Ketika itu beliau saw. mengutamakan mereka dalam pembagian. Lalu seseorang berkata: Demi Allah, sungguh ini adalah pembagian yang sama sekali tidak adil dan tidak dikehendaki Allah. Aku (Abdullah) berkata: Demi Allah, aku pasti akan menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Aku datang kepada Rasulullah saw. dan memberitahu beliau tentang ucapan orang tersebut. Mendengar itu, wajah beliau berubah kemerah-merahan, kemudian bersabda: Siapa lagi yang dapat berbuat adil, jika Allah dan Rasul-Nya tidak berbuat adil? Kemudian beliau melanjutkan: Semoga Allah memberikan rahmat kepada Nabi Musa. Dia telah disakiti hatinya (oleh kaumnya) lebih banyak dari ini, tetapi ia tetap sabar. Aku berkata: Sesudah ini aku tidak melaporkan pembicaraan apapun kepada beliau. (Shahih Muslim No.1759)

Galakan baca al-Quran di kubur

Galakan baca al-Quran di kubur
Oleh Hasliza Hassan

AMALAN membaca al-Quran di atas kubur adalah permasalahan ranting agama yang bersifat elektif untuk seseorang mukmin, bukan permasalahan tunjang yang mendasari iman dan Islam. Oleh itu, mengamalkannya dikira satu kebaikan, manakala meninggalkannya bukanlah satu kecelaan.

Perkara itu dijelaskan Penolong Pengarah Institut Latihan Islam Malaysia (ILIM) Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), Zamihan Mat Zain al-Ghari, supaya masyarakat tidak memberi tafsiran songsang hanya kerana mereka gagal menemui nas bahawa perbuatan itu dilakukan Rasulullah SAW.

Justeru, katanya, permasalahan furu’ atau cabang perlu difahami secara menyeluruh berserta dalil dan kaedah syariah yang jelas supaya sesuatu isu dirumus benar-benar menepati tuntutan syarak, selain mengelak daripada sikap fanatik serta melampau.

“Hukum syarak amat fleksibel dalam apa juga permasalahan. Maknanya, jika tidak ada hadis yang menunjukkan amalan itu dilakukan Rasulullah SAW, itu tidak bermakna ia menyalahi hukum kerana kita ada dalil lain.

“Tinjauan kita kepada isu membaca al-Quran di atas kubur menemukan beberapa dalil berkaitan yang dapat difahami serta dihayati dengan baik,” katanya.

Dalam masalah membaca al-Quran di atas kubur, katanya, ada banyak ayat al-Quran yang bersifat umum, tetapi boleh dijadikan panduan bagi menjawab persoalan apabila mafhum ayat itu dibincangkan serta diberi tafsiran lebih mendalam.

Contohnya, firman Allah bermaksud: “Dan orang yang beriman dan diikuti oleh zuriat keturunan mereka dalam keimanan, Kami hubungkan zuriat keturunan itu dengan mereka (di dalam syurga) dan Kami tidak mengurangi sedikit pun daripada pahala amalan mereka. Setiap manusia terikat dengan amal yang dikerjakannya.” (Surah al-Tur, ayat 21)

Zamihan berkata, ayat itu bersifat umum, tetapi menjelaskan bahawa amalan mereka yang masih hidup dapat memberi manfaat kepada yang sudah mati seperti amalan puasa, wakaf, haji dan membaca al-Quran yang termasuk dalam sedekah.

Katanya, jika pahala amalan puasa dan haji yang dilaksanakan untuk orang meninggal dunia sampai, begitu juga pahala membaca al-Quran yang disedekahkan kepada ahli keluarga yang sudah meninggal dunia juga akan sampai kepada mereka.

“Ia bermakna diharuskan kita membaca al-Quran tidak kira di mana sama ada di rumah, pejabat, dalam kapal terbang atau di atas kubur sekalipun. Membaca di atas kubur suasananya lain sikit kerana ini akan membuatkan kita insaf, ingat kepada mati dan mensyukuri nikmat Allah,” katanya.

Katanya, amalan membaca al-Quran di atas kubur berteraskan kepada dalil yang pelbagai, ada kalanya berstatus sahih, hasan, daif dan amat daif.

Imam Muslim meriwayatkan: “Setiap anggota tubuh kamu berpagi-pagian dengan sedekah ke atasnya. Setiap tasbih adalah sedekah. Setiap tahmid adalah sedekah. Setiap tahlil adalah sedekah. Setiap takbir adalah sedekah. Menyuruh yang makruf adalah sedekah. Melarang yang mungkar adalah sedekah. Semua itu dapat diperoleh melalui dua rakaat solat pada waktu duha.” (Hadis riwayat Muslim)

Imam al-Qurtubi mengatakan: “Berdasarkan dalil inilah ulama menggalakkan menziarahi kubur kerana bacaan al-Quran itu bagaikan buah tangan untuk si mati yang dibawa oleh penziarah kubur.”

Sementara Imam Abdullah bin al-Siddiq al-Ghumari mengatakan: “Hadis ini memberi kita satu kefahaman bahawa bacaan al-Quran juga termasuk dalam erti kata sedekah berdasar syarak.”

Imam al-Thabrani meriwayatkan: “Menceritakan kepada kami al-Hussain bin Ishak al-Tustari, menceritakan kepada kami Ali bin Hajr, menceritakan kepada kami Mubasyir bin Ismail, menceritakan kepada kami Abd Rahman bin al-A’la bin Lajlaj daripada bapanya, katanya, berkata Abu al-Lajlaj Abu Khalid: “Wahai anakku, apabila aku meninggal dunia kebumikanlah aku. Apabila kamu meletakkan jasadku di liang lahad, bacalah: “Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah SAW, kemudian curahkanlah tanah dengan cermat ke atasku. Kemudian bacalah di sisi kepalaku permulaan surah al-Baqarah dan penutupnya, kerana aku mendengar Rasulullah SAW bersabda sedemikian.”

Imam al-Haitsami dalam Majma al-Zawaid mengatakan bahawa rangkaian perawi ini terdiri daripada kalangan perawi yang siqah (dipercayai), manakala Imam al-Hakim membawa kesaksian hadis ini dalam kitabnya al-Mustadrak.

Zamihan berkata, membaca al-Quran di atas kubur ternyata bukan bid’ah yang sesat kerana ada nas yang membuktikan bahawa Ibn Umar dan Abu Khalid al-Lajlaj mendengar galakkan daripada Nabi SAW supaya dibacakan ayat suci al-Quran di tanah perkuburan.

Beliau berkata, sebenarnya hadis yang bertali arus dengan amalan membaca al-Quran di atas kubur masih banyak dan perbezaan pendapat di kalangan ulama adalah perkara biasa terutama dalam permasalahan cabang agama.

Oleh itu, katanya, apabila Rasulullah SAW tidak melakukan sesuatu perkara itu tidak bermakna ia salah dan tidak wajar ada pihak yang memberi hukuman melampau kerana Baginda juga tidak melakukan semua amalan yang diharuskan syarak.

“Namun, kita perlu mengambil pendekatan bijak dan bersikap sederhana ketika berinteraksi dengan keadaan ini. Hal ini penting supaya aktiviti kehidupan kita menepati tuntutan syarak dan merapatkan kita kepada takwa.

“Ia sekali gus mengelakkan kita daripada bersikap keras kepala terhadap amalan yang sudah sebati dalam masyarakat dan diperakui pihak yang mempunyai kuasa dalam bidang berkenaan. Sebenarnya isu klasik ini sudah ditangani ulama, tetapi masih ada pihak sengaja membangkitkannya,” katanya.

Katanya, perlu diingat bahawa amalan yang tidak dilakukan Rasulullah SAW dan generasi salaf tidak boleh dijadikan alasan untuk mengharamkan sesuatu amalan selagi tidak ada tegahan putus daripada nas syarak.

sumber: http://www.bharian.com.my/Current_News/ … index_html

An Nur

An Nur


Allah  adalah  cahaya

yang menerangi langit dan bumi

perumpamaan cahaya Allah,

adalah seperti sebuah mishkat[1],

sebuah lubang yang tak tembus, bagai ceruk cahaya

yang di dalamnya ada pelita besar

pelita itu di dalam gelok kaca

kaca itu seakan-akan bintang  bercahaya cemerlang

seperti mutiara,

yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati

itulah pohon zaitun

yang tumbuh tidak di sebelah timur

dan tidak pula di sebelah barat

yang minyaknya  hampir-hampir menerangi,

walaupun tidak disentuh api.


Cahaya di atas cahaya – berlapis-lapis

Allah membimbing kepada cahaya-Nya

siapa yang Dia kehendaki,

dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,

dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.


Demikian kutitip pemahaman tamsilan  Allah yang mempersona

ketika menekuni an Nur 35



[1] Mishkat  atau sebuah lubang yang tak tembus, bagai ceruk cahaya adalah sebuah tempat di dinding yang di tinggikan sedikit dari lantai bagi sebuah bilik di dalam sebuah rumah, tempat meletak lampu, pada zaman sebelum ada letrik, supaya ruang bilik tersebut menjadi terang.Ruang tersebut akan lebih terang jika dinding tersebut berkapur putih.

 

Di ceruk cahaya tersebut diletakan lampu dari minyak zaitun. Cahayanya lembut nyaman yang diberkati menerangi  nuraini manusia yang bertakwa!

SELAMAT MENYAMBUT HARI RAYA KORBAN 1430

Selamat Menyambut Hari Raya Korban  1430 H

Menjelang sambutan Hari Raya Korban  dan perlaksanaan ibadat korban tahun ini mari kita renungkan  firman Allah swt :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Maksudnya : Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).

QS Al Haj 34

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Maksudnya : Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

QS Al Haj 37

Kita telah memasuki satu bulan yang mengandungi pelbagai hikmah dan kenikmatan, itulah bulan Zulhijjah, yang mana ibadah haji dilaksanakan oleh seluruh muslimin sebagai bukti ketaatan dan ketakwaan ke hadrat Allah. S.W.T. Selain itu juga tuntutan melaksanakan ibadah korban bagi seluruh umat Islam yang berkemampuan dilaksanakan pada bulan yang mulia ini. Ibadah korban ini sebenarnya adalah suatu pernyataan dari hati yang tulus ikhlas dan tawaddu’ daripada seorang hamba kepada penciptanya. Ini telah terbukti melalui ayat-ayat Allah serta sejarah para nabi terdahulu yang telah melaksanakan ibadah korban bermula pada zaman Nabi Adam, Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim a.s. Tuntutan melaksanakannya berterusan sehingga kini ke atas umat nabi Muhammad S.A.W.

Korban membawa maksud haiwan yang disembelih kerana ibadah pada hari Aidil Adha tanggal 10 Zulhijjah dan pada hari-hari tasyrik 11, 12 dan 13 Zulhijjah dengan matlamatnya untuk mendamping serta mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Haiwan yang sah disembelih untuk ibadah korban itu hendaklah daripada haiwan ternakan (An’am)  seperti unta atau sejenisnya, kerbau atau yang  sejenisnya dan kambing atau yang sejenisnya seperti biri-biri dan kibas.

Sesungguhnya bukanlah daging  haiwan korban itu dan bukan pula darahnya yang akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya ialah sifat takwa kita  kepadaNya.

Ya Allah, terimalah korban kami tanda ketakwaan kami , kami pohon keredzaan Mu  dan rahmatilah kami.

SELAMAT MENYAMBUT HARI RAYA KORBAN 1430

Apakah syiah

Apakah syiah itu ?


Syiah adalah aliran sempalan dalam Islam dan Syiah merupakan salah satu dari sekian banyak aliran-aliran sempalan dalam Islam.
Sedangkan yang dimaksud dengan aliran sempalan dalam Islam adalah aliran yang ajaran-ajarannya menyempal atau menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW, atau dalam bahasa agamanya disebut Ahli Bid’ah.
Selanjutnya oleh karena aliran-aliran Syiah itu bermacam-macam, ada aliran Syiah Zaidiyah ada aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariah ada aliran Syiah Ismailiyah dll, maka saat ini apabila kita menyebut kata Syiah, maka yang dimaksud adalah aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariah yang sedang berkembang di negara kita dan berpusat di Iran atau yang sering disebut dengan Syiah Khumainiyah.
Hal mana karena Syiah inilah yang sekarang menjadi penyebab adanya keresahan dan permusuhan serta perpecahan didalam masyarakat, sehingga mengganggu dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa kita.
Tokoh-tokoh Syiah inilah yang sekarang sedang giat-giatnya menyesatkan umat Islam dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Apa arti kata Syiah menurut bahasa ?

Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok.
Sebagai contoh : Syiah Muhammad artinya pengikut Muhammad atau pecinta Muhammad atau kelompok Muhammad.
Oleh karena itu dalam arti bahasa, Muslimin bisa disebut sebagai Syiahnya Muhammad bin Abdillah SAW dan pengikut Isa bisa disebut sebagai Syiahnya Isa alaihis salam.
Kemudian perlu diketahui bahwa di zaman Rasulullah SAW Syiah-syiah atau kelompok-kelompok yang ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah SAW, sehingga saat itu tidak ada lagi Syiah itu dan tidak ada Syiah ini.
Hal mana karena Rasulullah SAW diutus untuk mempersatukan umat dan tidak diutus untuk membuat kelompok-kelompok atau syiah ini syiah itu.
Allah berfirman :

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا         ( العمران:١۰٣)


“ Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai (berkelompok-kelompok).”

Tapi setelah Rasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai ada, sehingga saat itu ada kelompok-kelompok atau syiah-syiah yang mendukung seseorang, tapi sifatnya politik.
Misalnya sebelum Sayyidina Abu Bakar di baiat sebagai Khalifah, pada waktu itu ada satu kelompok dari orang-orang Ansor yang berusaha ingin mengangkat Saad bin Ubadah sebagai Khalifah. Tapi dengan disepakatinya Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah, maka bubarlah kelompok tersebut.
Begitu pula saat itu ada kelompok kecil yang berpendapat bahwa Sayyidina Ali lebih berhak menjadi Khalifah dengan alasan karena dekatnya hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah SAW. Tapi dengan baiatnya Sayyidina Ali kepada Khalifah Abu Bakar, maka selesailah masalah tersebut.
Oleh karena dasarnya politik dan bukan aqidah, maka hal-hal yang demikian itu selalu terjadi, sebentar timbul dan sebentar hilang atau bubar.
Begitu pula setelah Sayyidina Ali dibaiat sebagai Khalifah, dimana saat itu Muawiyah memberontak dari kepemimpinan Kholifah Ali, maka hal yang semacam itu timbul lagi, sehingga waktu itu ada kelompok Ali atau Syiah Ali dan ada kelompok Muawiyah atau syiah Muawiyah.
Jadi istilah syiah pada saat itu tidak hanya dipakai untuk pengikut atau kelompok Imam Ali saja, tapi pengikut atau kelompok Muawiyah juga disebut Syiah.
Argumentasi tersebut diperkuat dengan apa yang tertera dalam surat perjanjian atau Sohifah At-tahkim antara Imam Ali dengan Muawiyah, dimana dalam perjanjian tersebut disebutkan:


هذا ما تقاضى عليه على بن ابى طالب ومعاوية بن ابى سفيان وشيعتهما

( اصول مذهب الشيعة )

Ini adalah apa yang telah disepakati oleh Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abi Sufyan dan kedua Syiah mereka.
(Ushul Mazhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah)

Dengan demikian penyebutan kata syiah pada saat itu memang sudah ada, tetapi hanya dalam arti bahasa dan dasarnya hanya bersifat politik dan bukan landasan aqidah atau mazhab.
Adapun aqidah para sahabat saat itu, baik Imam Ali dan kelompoknya maupun Muawiyah dan kelompoknya, mereka sama-sama mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Hal ini dikuatkan oleh keterangan Imam Ali, dimana dalam suratnya kepada Ahli Amsor, beliau menceritakan mengenai apa yang terjadi antara beliau (Imam Ali) dengan Ahli Syam (Muawiyah) dalam perang Siffin sbb:


كان بدء امرنا انا التقينا والقوم من اهل الشام، والظاهر ان ربنا واحد، ونبينا واحد،         ودعوتنا فى الاسلام واحد، ولا نستزيدهم فى الاسلام بالله والتصديق برسوله، ولا          يستزيدوننا، الامر واحد الا ما اختلفنا فيه من دم عثمان، ونحن منه براء

( نهج البلاغة- ٤٤٨ )

Adapun mas’alah kita, yaitu telah terjadi pertempuran antara kami dengan ahli syam (Muawiyah dan Syiahnya).
Yang jelas Tuhan kita sama, Nabi kita juga sama dan da’wah kita dalam Islam juga sama. Begitu pula Iman kami pada Allah serta keyakinan kami kepada Rasulullah, tidak melebihi iman mereka, dan iman mereka juga tidak melebihi iman kami.
Masalahnya hanya satu, yaitu perselisihan kita dalam peristiwa terbunuhnya (Kholifah) Usman, sedang kami dalam peristiwa tersebut, tidak terlibat.”
(Nahjul Balaghoh – 448)

Selanjutnya, oleh karena permasalahannya hanya dalam masalah politik yang dikarenakan terbunuhnya Khalifah usman RA dan bukan dalam masalah aqidah, maka ketika Imam Ali mendengar ada dari pengikutnya yang mencaci maki Muawiyah dan kelompoknya, beliau marah dan melarang, seraya berkata:


انى اكره لكم ان تكونوا سبابين ، لكنكم لو وصفتم اعمالهم، وذكرتم حالهم، كان اصوب     فى القول وابلغ فى العذر، وقلتم مكان سبكم اياهم، اللهم احقن دماءنا ودماءهم، واصلح

ذات بيننا وبينهم   ( نهج البلاغة -٣٢٣)


“ Aku tidak suka kalian menjadi pengumpat (pencaci-maki), tapi andaikata kalian tunjukkan perbuatan mereka dan kalian sebutkan keadaan mereka, maka hal yang demikian itu akan lebih diterima sebagai alasan. Selanjutnya kalian ganti cacian kalian kepada mereka dengan :
Yaa Allah selamatkanlah darah kami dan darah mereka, serta damaikanlah kami dengan mereka
(Nahjul Balaghoh – 323)

Demikian pengarahan Imam Ali kepada pengikutnya dan pecintanya. Jika mencaci maki Muawiyah dan pengikutnya saja dilarang oleh Imam Ali, lalu bagaimana dengan orang-orang Syiah sekarang yang mencaci maki bahkan mengkafirkan Muawiyah dan pengikut-pengikutnya, layakkah mereka disebut sebagai pengikut   Imam Ali
Kembali kepada pengertian Syiah dalam bahasa yang dalam bahasa Arabnya disebut Syiah Lughotan, sebagaimana yang kami terangkan diatas, maka sekarang ini ada orang-orang Sunni yang beranggapan bahwa dirinya otomatis Syiah. Hal mana tidak lain dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka akan hal tersebut. Sehingga mereka tidak tahu bahwa yang sedang kita hadapi sekarang ini adalah Madzhab Syiah atau aliran syiah atau lengkapnya adalah aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyyah).
Oleh karena itu, istilah Syiah Lughotan tersebut tidak digunakan oleh orang-orang tua kita (Salafunassholeh), mereka takut masyarakat awam tidak dapat membedakan antara kata syiah dengan arti kelompok atau pengikut dengan aliran syiah atau Madzhab Syiah. Hal mana karena adanya aliran-aliran syiah yang bermacam-macam, yang kesemuanya telah ditolak dan dianggap sesat oleh Salafunassholeh.
Selanjutnya salafunassholeh menggunakan istilah Muhibbin bagi pengikut dan pecinta Imam Ali dan keturunannya dan istilah tersebut digunakan sampai sekarang.
Ada satu catatan yang perlu diperhatikan, oleh karena salafunassholeh tidak mau menggunakan kata Syiah dalam menyebut kata kelompok atau kata pengikut dikarenakan adanya aliran-aliran Syiah yang bermacam-macam, maka kata syiah akhirnya hanya digunakan dalam menyebut kelompok Rofidhah, yaitu orang-orang Syiah yang dikenal suka mencaci maki Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar.
Sehingga sekarang kalau ada yang menyebut kata Syiah, maka
yang dimaksud adalah aliran atau madzhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah.
Memang dengan tidak adanya penerangan yang jelas mengenai Syiah Lughotan dan Syiah Madhhaban, maka mudah bagi orang-orang Syiah untuk mengaburkan masalah, sehingga merupakan kesempatan yang baik bagi mereka dalam usaha mereka mensyiahkan masyarakat Indonesia yang dikenal sejak dahulu sebagai pecinta keluarga Rasulullah SAW.

Apa yang dimaksud dengan aliran (madzhab)Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah itu ?


Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah adalah salah satu aliran Syiah dari sekian banyak aliran-aliran Syiah yang satu sama lain berebut menamakan aliran Syiahnya sebagai madzhab Ahlul Bait. Dan penganutnya mengklaim hanya dirinya saja atau golongannya yang mengikuti dan mencintai Ahlul Bait. Aliran Syiah inilah yang dianut atau diikuti oleh mayoritas (65 %) rakyat IRAN. Begitu pula sebagai aliran Syiah yang diikuti oleh orang-orang di Indonesia yang gandrung kepada Khumaini dan Syiahnya.
Apabila dibanding dengan aliran-aliran Syiah yang lain, maka aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ini merupakan aliran Syiah yang paling sesat (GHULAH) dan paling berbahaya bagi agama, bangsa dan negara pada saat ini.
Dengan menggunakan strategi yang licik yang mereka namakan TAGIYAH (berdusta) yang berakibat dapat menghalalkan segala cara, aliran ini dikembangkan.
Akibatnya banyak orang-orang yang beraqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tertipu dan termakan oleh propaganda mereka, sehingga keluar dari agama nenek moyangnya (Islam) dan masuk Syiah.
Karena didasari oleh Ashobiyah atau kefanatikan yang mendalam, maka aliran ini cepat menjalar dan berkembang, terutama dikalangan awam Alawiyyin (keturunan nabi Muhammad) dan Muhibbin (pecinta mereka). Sehingga bagaikan penyakit kanker yang ganas sedang berkembang didalam tubuh yang sehat, yang ratusan tahun dikenal beraqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Sebenarnya bagi orang-orang yang berpendidikan agama, wabah ini tidak sampai menggoyahkan iman mereka, tapi bagi orang-orang yang kurang pengetahuan Islamnya, mudah sekali terjangkit penyakit ini.
Dalam situasi yang memprihatinkan ini, bangkitlah orang-orang yang merasa terpanggil untuk melawan dan memerangi aliran tersebut. Berbagai cara telah mereka tempuh, ada yang dengan jalan berceramah, ada yang dengan menulis, bahkan ada yang dengan jalan berdiskusi dan Alhamdulillah mendapat sambutan yang positif dari masyarakat dan dari pemerintah.
Berbeda dengan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang penuh dengan saling hormat menghormati dan penuh dengan cinta mencintai serta penuh dengan maaf memaafkan karena berdasarkan Al Ahlaqul Karimah dan Al Afwa Indal Magdiroh (pemberian maaf disaat ia dapat membalas) serta Husnudhdhon (baik sangka), maka ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ini penuh dengan caci maki dan penuh dengan fitnahan-fitnahan serta penuh dengan laknat-melaknat, karena dilandasi dengan Suudhdhon (buruk sangka) dan dendam kesumat serta kefanatikan yang tidak berdasar.
Dapat kita lihat bagaimana mereka tanpa sopan berani dan terang-terangan mencaci maki para sahabat, memfitnah istri-istri Rasulullah SAW, khususnya Siti Aisyah, bahkan Rasulullah sendiri tidak luput dari tuduhan mereka.
Ajaran-ajaran Syiah yang meresahkan dan membangkitkan amarah umat Islam ini, membuat para ulama di seluruh dunia sepakat untuk memberikan penerangan kepada masyarakat. Ratusan judul kitab diterbitkan, berjuta kitab dicetak dengan maksud agar masyarakat mengetahui kesesatan Syiah dan waspada terhadap gerakan Syiah. Dalam menulis kitab-kitab tersebut para ulama kita itu mengambil sumber dan sandaran dari kitab-kitab Syiah (kitab-kitab rujukan Syiah), sehingga sukar sekali bagi orang-orang Syiah untuk menyanggahnya.
Selanjutnya dengan banyaknya beredar kitab-kitab yang memuat dan memaparkan kesesatan ajaran Syiah, maka banyak orang-orang yang dahulunya terpengaruh kepada Syiah, menjadi sadar dan kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Hal ini tentu tidak lepas hidayah dan inayah serta taufiq dari Allah SWT. Terkecuali orang-orang yang memang bernasib buruk, yaitu orang-orang yang sudah ditakdirkan oleh Allah sebagai orang Syagi (celaka dan sengsara).
Semoga kita dan keluarga kita digolongkan sebagai orang-orang yang Suada’ atau orang-orang yang beruntung yang diselamatkan oleh Allah dari aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah yang sesat dan menyesatkan.

Sumber : http://www.albayyinat.net/

PANDANGAN IMAM KHOMEINI DALAM KITAB AL-HUKUMAH AL-ISLAMIAH DAN KASYFU AL-ASRAR

Oleh Zakaria @ Mahmud Daud

Pendahuluan

Kajian ini ditulis untuk menjelaskan pandangan dan sikap Khomeini terhadap beberapa perkara yang ditulis dalam kitabnya terutama Kitab “al-Hukumah-al-Islamiyyah” atau “Wilayat al-Faqih” dan “Kitab Kasyf al-Asrar”. Pandangan dan pendapat beliau perlu dijelaskan kepada umum khususnya kepada umat Islam Malaysia yang bermazhab Ahli Sunnah, semoga dengan penjelasan nanti, kita dapat mengetahui pandangan beliau yang sebenar terhadap beberapa masalah yang menyentuh ajaran Islam.

Daripada penjelasan ini nanti dapatlah kita mengambil kesimpulan adakah ajaran atau pandangannya bersesuaian dengan pandangan Ahli Sunnah atau sebaliknya dan juga kita boleh menilai siapa Imam Khomeini yang sebenar, kerana umat Islam di Malaysia sekarang ini berbelah bagi pendapat mengenai beliau. Ada segolongan mengatakan Khomeini seorang ‘ulama Syiah yang sesat lagi menyesatkan manakala golongan lain pula mengatakan beliau adalah seorang mujaddid atau reforman, seorang ulama agung yang mengguling kerajaan Shah Iran dan dapat menubuh kerajaan Islam Iran di abad kedua puluh ini.

Untuk mengetahui buah fikiran dan pendapat beliau maka perlu mengkaji hasil karya tulisannya sendiri yang menjadi umum khususnya golongan Syiah Imamiyyah di Iran sekarang. Tanpa kita mengetahui buah fikiran beliau yang sebenar, kita tidak dapat membuat apa-apa komentar dan hukum terhadapnya. Untuk itu di bawah ini akan dijelaskan secara ringkas antara isi kedua-dua buah kitab tersebut.

PENGENALAN RINGKAS KEDUA-DUA KITAB TERSEBUT

Khomeini adalah seorang ulama besar golongan Syiah yang luas ilmu pengetahuan dan dia seorang pemimpin yang dikenali di seluruh dunia. Beliau telah menghasilkan beberapa buah kitab agama. Antara karya-karya tulisan beliau ialah: “Al-Hukumah al-Islamiyyah” atau “Wilayatal-Faqih”, “Kitab Kasyf al-Asrar”, “Kitab Tahrir al-Wasilah” dan lain-lain lagi.

Kitab “al-Hukumah al-Islamiyyah” sebagaimana yang ada ditangan penulis dicetak di Beirut, Lubnan, oleh percetakan “Muassasah al-‘ Alami, tanpa menyebut tahun ia dicetak. Kitab ini adalah himpunan daripada beberapa tajuk kuliah agama yang disampaikan oleh Khomeini kepada pelajar-pelajar agama di Najaf, di bawah tajuk ‘ Wilayah al-Faqih ‘. Kuliah tersebut bermula pada 13 Zulqi’dah 1398H sehingga 1 Zulhijjah tahun yang sama. 1 Tebal kitab ini adalah kira-kira 150 halaman, dan mengandungi 49 tajuk-tajuk kecil. Antara tajuk-tajuk penting ialah penjelasan mengenai pentingnya membentuk sebuah kerajaan Islam, menjelaskan hakikat undang-undang Islam dalam kewangan, pertahanan, hukum-hukum jenayah, menerangkan mengenai pemerintahan Islam dan syarat-syarat seorang pemerintah, haram berhukum kepada pemerintah yang zalim, dan ulama adalah rujukan dalam semua perkara dan lain-lain.

Kitab “Kasyf al-Asrar” pula setakat yang penulis tahu, dicetak dalam dua bahasa, pertama dalam bahasa Parsi (edisi asal) dan keduanya dalam bahasa Arab (edisi terjemahan). Edisi asal dalam bahasa Parsi dicet’ak di Qum oleh percetakan Dar Intisyarat Azadi dizaman revolusi. 2 Kitab asal berbahasa Parsi ini setebal kira-kira 350 halaman. 3 Adapun edisi Bahasa Arab telah diterjemahkan oleh Dr. Muhammad al-Bandari dan kata-kata aluannya ditulis oleh Dr. Ahmad al-Khatib, seorang pensyarah dan Fakulti Syariah, Urnversiti Jordan. Kitab ini setebal 344 halaman, di cetak oleh pencetakan Dar Ammar, Amman. Isi kandungan kitab ini pada keseluruhannya mengandungi jawapan Khomeini terhadap 12 persoalan pokok yang dikemukakan kepadanya. Di antaranya mengenai Tauhid, Imamah, kedudukan Fuqaha atau ulama Mujtahid, kerajaan dan tugasnya, undang-undang, hukum Nasakh-Mansukh al-Quran dan al-Sunna, sebab-sebab orang ramai menjauhi diri daripada menghayati agama dan lain-lain.

BEBERAPA PENDAPAT KHOMEINI DALAM KEDUA-DUA KITAB TERSEBUT

Di sini penulis akan menulis kajian mengenai kedua-dua kitab tersebut. Oleh kerana kitab ini besar, maka penulis hanya ingin menyebut beberapa pendapat dan pandangan beliau yang nampak kontroversi sahaja. Kemudian selepas disebut tiap-tiap pendapat beliau, penulis sertakan ulasan ringkas sebagai penjelas kepada pembaca sekalian. Kajian ini akan dimulakan dengan kitab “al- Hukumah al-Islamiyyah”, kemudian diikuti dengan kitab “Kasyf al-Asrar”.

A) PENDAPA T KHOMEINI DALAM ” AL-HUKUMAH AL-ISLAMIYY AH” DAN ULASAN

Setelah dikaji isi kandungan kitab ini didapati terdapat beberapa pendapat Khomeini yang ganjil tentang beberapa perkara seperti kedudukan imam-imam dan kelebihan mereka, Khalifah-khalifah Islam terutama Khalifah Abu Bakar, Umar dan Othman r.a. dan lain-lain lagi. Antara perkara yang perlu disebut di sini ialah:

i) KEDUDUKAN IMAM-IMAM

Mengenai perkara ini Khomeini menyebut bahawa kedudukan mereka begitu tinggi sehingga melebihi kedudukan para Rasul dan Malaikat, mereka juga dianggap tidak melakukan dosa (ma’sum), semua kata-kata imam dan pendapatnya semuanya betul dan benar dan tidak pernah salah, mereka tidak pemah lupa dan lalai. Makhluk seluruhnya tunduk dan patuh kepada mereka. Sebelum dicipta alam ini mereka adalah cahaya (Nur) yang duduk mengelilingi ‘Arasy Allah’. Tentang hal ini Khomeini berkata:

“Maka sesungguhnya bagi imam-imam (ketua negara) itu mempunyai maqam dan kedudukan yang terpuji, darjah yang tinggi dan mempunyai kuasa ‘Khalifah Takwiniyyah’ (kuasa yang dilantik oleh Allah), segala atom-atom di dunia tunduk dan patuh kepada kekuasaanNya.” 4

Beliau menyebut lagi:

“Dan diantara perkara penting dalam mazhab kita (mazhab Syiah), kita (beriktikad) bahawa imam-imam kita mempunyai maqam, atau kedudukan yang tinggi yang tidak sampai ke maqam tersebut oleh para Malaikat yang hampr (dekat dengan Allah) dan tidak juga oleh para Nabi dan Rasul Allah”. 5

“Mengikut riwayat-riwayat dan Hadith-hadith Rasulullah yang ada pada kita (orang-orang Syiah), bahawa Rasulullah s.a.w dan semua Imam-Imam a.s., sebelum alam ini dijadikan mereka semua adalah Nur, kemudian Allah menjadikan mereka mengelilingi ‘Arsy-Nya dan Allah memberikan kepada mereka kedudukan yang paling tinggi (tidak diketahui kedudukan yang paling tinggi itu melainkan Allah jua) dan Malaikat Jibril berkata sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hadith Mi’raj, jika aku hampiri sekadar satu jari lagi nescaya aku akan terbakar”. 6

Pada halaman lain Khomeini ada menyebut’:-

“Tidak tergambar kepada kita bahawa para imam itu bersifat lalai dan lupa “. 7

Dan katanya lagi:-

Sesungguhnya ajaran para Imam sama seperti ajaran-ajaran al-Quran yang bukan untuk sesuatu generasi tertentu sahaja, bahkan ajaran itu untuk semua manusia di setiap tempat dan masa hingga ke Hari Kiamat. Ia wajib dilaksanakan dan wajib diikuti.” 8‑

Ulasan:

Daripada petikan di atas jelas menunjukkan bahawa Khomeini menyanjung tinggi para imam dan meletakkan mereka ke taraf yang paling tinggi mengatasi taraf nabi-nabi dan malaikat. Alam seluruhnya tunduk kepada mereka, ajaran-ajaran dan buah fikiran mereka disamakan dengan ajaran al-Quran. Setiap pendapat dan kata-kata mereka mesti diikuti dan dilaksanakan dalam kehidupan. Ini berlawanan sekali dengan pandangan al-Quran dan Sunnah Nabi s.a.w. serta pendapat ulama Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.

Ulama Ahli Sunnah berpendapat bahawa tidak ada manusia yang lebih tinggi pangkat dan tarafnya mengatasi taraf para nabi dan Rasul. Selepas Rasulullah s.a.w., maka Khulafa’ ar-Rasyidinlah orang yang paling mulia dan tinggi darjatnya, dan yang paling mulia di kalangan mereka ialah Abu Bakar r.a. kemudian diikuti oleh Omar ibn al-Khattab, Othman ibn Affan dan Ali ibn Abu Talib.

Tidak ada ajaran yang lebih tinggi daripada ajaran al-Quran dan hadith Rasulullah s.a.w. Kedua-dua ajaran tersebut adalah sumber utama hukum syara’ , manakala sumber-sumber lain seperti Qias dan lain-lain diambil daripada al-Quran dan hadis dan dijadikan sumber ketiga, keempat dan seterusnya.

Anggapan mengatakan kata-kata imam sama dengan al-Quran dan lebih tinggi daripada hadith adalah pendapat yang melampau yang dan tidak boleh diterima.

ii) KEDUDUKAN KHALIFAH AR-RASYIDIN DAN PENENTUAN PERLANTlKAN ALl

Perkara kedua ialah mengenai kedudukan Khalifah ar-Rasyhidin dan beberapa orang sahabat Rasulullah s.a.w. .Semasa membicarakan tentang ‘Kerajaan Islam ” Khomeini tidak mengiktirafkan kerajaan ketiga-tiga Khalifah Abu Bakar, Umar dan Othman sebagai khalifah Islam, bahkan beliau tidak menyebut langsung kerajaan di zaman ketiga-tiga Khalitah tersebut. Beliau menganggap kerajaan Islam hanya ada pada zaman Rasulullah dan di zaman Saidina Ali dan juga di zaman beberapa orang imam mereka selepas itu, iaitu kerajaan dua belas Imam mereka. Beliau menganggap Saidina Abu Bakar, Omar dan Othman r.a. telah merampas hak Saidina Ali. Juga beliau mengatakan bahawa Rasulullah s.a.w. telah diabaikan oleh sahabat- sahabat lain dengan melantik Abu Bakar.

Mengenai perkara di atas Khomeini menyebut antara lain:-

“Telah thabit (tetap) pada syara’ dan pada akal bahawa sebagaimana pentingnya di zaman Rasulullah s.a.w. dan di zaman Amirul-Mu’minin Ali bin Abu Talib r.a. mesti adanya sebuah kerajaan Islam (maka perkara itu) masih berterusan penting adanya sampai ke zaman kini”. 9

Di tempat lain beliau membawa bukti Nabi menentukan Ali sebagai penggantinya dengan berkata:-

“Kami beriktikad (dan percaya) dengan walayah, dan kami beriktikad dengan sesungguhnya bahawa Nabi S.A.W. akan menentukan pengganfi selepasnya dan memang Baginda melakukannya”. 10

Selepas beberapa baris beliau menambah:-

“Dan demikianlah Rasulullah s.a.w. melakukan perlantikan (Ali menjadi khalifah selepasnya). Jika Baginda tidak melakukannya, maka Baginda tentunya tidak menyampaikan risalahnya dan penentuan khalifah selepas itu bertujuan supaya khalifah melaksanakan hukuman dan undang-undang (Allah), mengawalnya dan supaya melakukan keadilan sesama manusia. Ini adalah merupakan satu usaha bagi menyempurnakan tugas risalahnya”. 11

Di tempat lain beliau membawa bukti Rasulullah s.a.w. telah melantik Ali dengan berkata:-

“Di Ghadir Khum (setelah pulang daripada) menunaikan Haji Wida’, Nabi s.a.w. menentukan seorang hakim (Imam) sebagai penggantinya (iaitu Ali), dan bermula dari sinilah perselisihan faham mula tercetus di jiwa umat Islam, dan kalau sekiranya Nabi s.a.w. hanya menentukan Amirul-Mi’minin Ali sebagai mufti, sebagai pentafsir al-Quran atau sebagai seorang ulama yang menerangkan hukum hakam agama, tentunya dia tidak ditentang oleh sesiapa pun, tetapi (kerana ditentukan menjadi penggantinya) maka (Ali) ditentang, diperangi dan dibunuh”. 12

Beliau juga menyebut:-

“Sesungguhnya (Nabi s.a.w.) telah menentukan Amirul-Mu’minin sebagai wali (imam) untuk orang ramai dan (bermula dari sini) berkekalanlah berpindahnya jawatan imam yang lain sehingga sampai kepada imam al-Mahdi al-Muntazar a.s”. 13

Penentuan Ali menjadi pengganti ini disebut lagi dalam kitab “Kasyf al-Asrar” dengan panjang lebar.

Ulasan:

Daripada petikan di atas jelaslah bahawa Imam Khomeini seolah-olah tidak mengiktiraf kerajaan Khalifah ar-Rasyidin kecuali di zaman Ali sahaja dan beliau juga menetapkan Sayyidina Ali telah ditentukan oleh Rasulullah s.a.w. sebagai penggantinya, tetapi jawatan itu dirampas oleh ketiga-tiga khalifah. Ini bererti bahawa ketiga-tiga khalifah telah melakukan ( dosa )besar kerana melanggar hukum dan ketetapan yang telah ditetapkan oleh Rasullah S.A.W. sedangkan yang sebenarnya Baginda tidak pernah menentukan sedemikian dan khalifah tersebut tidak bersalah. Hadith Ghadir Khum tidak boleh dijadikan hujah kerana beberapa sebab, antaranya:-

1. Perkataan Maula dalam ‘Hadith Ghadir Khum’ bukan bermaksud ‘khalifah atau Imam’ atau ‘ketua negara’ tetapi mem beri maksud, ‘penolong’ atau ‘pembantu Baginda’. 14

Maksud yang disebut ini disokong sendiri oleh al-Hasan al- Muthanna cucu Saidina Ali. Apabila beliau ditanya,Adakah tidak Rasulullah S.A.W. bersabda”:-

Sesiapa yang aku ini penolongnya maka Ali adalah penolongnya.

Mendengar soalan itu beliau menjawab:-

“Ya ! Akan tetapi, demi Allah (dengan kata-kata itu) Rasullah s.a.w. tidak bermaksud (menentukan) Ali menjadi Imam atau Khalifah. Jika Baginda mahu melantik dia menjadi pengganti, tentu Baginda menyebut dengan terang, kerana Rasulullah selalu berterus terang dengan orang Islam. Jika benarlah sebagaimana yang didakwa, tentu Baginda berkata begini, Wahai manusia, ini adalah pemimpin kamu dan pemerintah kamu selepas aku, maka hendaklah kamu semua mendengar kata-katanya dan mematuhinya’. Demi Allah jika sekiranya Allah dan RasulNya telah memilih Ali menjadi pengganti dan pemerintah kepada orang-orang Islam selepas Baginda, tiba-tiba Ali meninggal tidak mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya tentu Ali merupakan orang yang mula-mula sekali melanggar perintah Allah dan RasulNya.:” 15

Jika sekiranya apa yang didakwa oleh Khomeini dan Syiah-syiah lain itu betul dan benar bahawa Nabi telah menentukan Ali menjadi Khalifah dengan disaksi oleh ramai para sahabat, maka mengapa mereka yang begitu ramai tidak membantah Saidina Omar dan Abu Bakar serta sahabat-sahabat lain yang berada di Saqifah membincangkan mengenai perlantikan Abu Bakar menjadi Khalifah ? Sedangkan kita tahu para sahabat adalah antara umat Islam yang paling kuat mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya. Kalau benarlah apa yang didakwa, tentu mereka bangkit menentang keputusan tersebut. Manakala Sayyidina Ali sendiri pula tidak pernah mengemukakan hujah dan bukti yang dia lebih berhak daripada Abu Bakar, Omar dan Othman menjadi khalifah.

Semasa Ali tidak memberi baiah kepada Abu Bakar diawal perlantikannya, dia tidak berhujah dengan hadith itu bagi menuntut haknya menjadi khalifah. Ini semua membuktikan bahawa Hadith Ghadir Khum tidak boleh menjadi hujah yang Rasulullah s.a.w. telah menentukan Ali menjadi penggantinya sebaik sahaja Baginda wafat.

iii) TIDAK MENGIKTlRAF KERAJAAN MUA’WIYYAH, UMAWIYYAH DAN ABBASIYAH

Khomeini juga menganggap kerajaan Muawiyah tidak sah, kerana itu beliau tidak mengiktirafnya, dan tidak mengiktiraf kerajaan Umawiyyah seluruhnya. Beliau berkata:-

“Sesungguhnya Muawiyah telah membunuh ramai orang Islam dengan semata-mata disyaki (orang itu melakukan kejahatan) dan menawan orang ramai beberapa lama serta membuang negeri juga menghalau mereka dari rumahnya secara zalim, tidak ada kesalahan yang mereka lakukan kecuali kerana mereka beriman kepada Allah semata-mata. Kerajaan Muawiyah itu tidak melambang atau menyerupai kerajaan Islam, sama ada dari dekat atau jauh”. 16

Kemudian katanya lagi:-

“Di awal Islam, golongan Umawiyyah dan pengikut-pengikutnya berusaha menghalang supaya kerajaan Imam Ali bin Abu Talib a.s. tidak teguh, sedangkan kerajaan itu diredai Allah dan Rasul-Nya. Dengan usaha jahat mereka itu berubahlah kedudukan pemerintahan serta menyelewenglah daripada Islam.

Kemudian selepas ilu datang pula golongan Abbasiyah dan mereka pun mengikut jejak langkah yang sama dan menukar sistem khalifah dengan bentuk kekuasaan raja berketurunan”. 17

Ulasan:

Dari sini jelaslah Khomeini tidak mengiktirafkan kerajaan pimpinan Muawiyah, Kerajaan Bani Umaiyyah dan Abbasiyah. Beliau menganggap khalifah-khalifah zaman itu merampas hak Ahlul Bait secara kekerasan dan kezaliman. Apabila kerjaan Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah serta pimpinan Abu Bakar, Umar dan Uthman tidak diiktiraf oleh Khomeini, maka tidak ada lagi kerajaan Islam di dalam sejarah dunia kecuali kerajaan pimpinan Rasullah s.a.w dan kerajaan di zama Ali dan Husin sahaja. Kalau inilah pandangan beliau, maka tentunya pendapat itu tidak boleh diterima, kerapa apa yang sebenarnya tidak demikian. Ahli Sunnah menganggap kerajaan Abu Bakar, Umar, Uthman dan kerajaan Bani Umawiyah serta Abbasiyah adalah kerajaan Islam.

Ahli Sunnah dari kalangan Mufassirin, Muhaddisin dan Fuqaha, termasuk Imam empat mengiktiraf Kerajaan ini sebagai Kerajaan Islam. Manakala kesalahan yang dilakukan oleh setengah khalifah itu tetap salah. Kalau mereka bertaubat Insya Allah, Allah menerima taubat mereka.

IV) TIDAK MENGIKTIRAF KADI-KADI BUKAN DARIPADA KALANGAN SYIAH

Satu lagi perkara yang ditimbulkan Khomeini dalam kitab “al-Hukumah al-Islamiyyah” ialah beliau tidak mengiktiraf kadi-kadi yang dilantik sama ada yang dilantik oleh Khalifah Abu Bakar, Umar dan Uthman atau oleh Khalifah Umawiyyah dan seterusnya. Disini beliau membawa satu contoh hadith yang ia dakwa diriwayat oleh Abu Abdillah a.s.:

“Bahawa Abu Abdullah berkata, ‘Amirul mu’minin Ali berkata kepada Syuraih (seorang kadi dari kalangan sahabat), wahai Syuraih, sesungguhnya engkau telah menduduki satu majlis atau satu jawatan yang tidak harus menduduki majlis ataujawatan itu kecuali Nabi atau wasinya atau orang yang celaka,”18

Kemudian beliau menambah:

“Syuraih ini telah memegang jawatan kadi hampir 50 tahun, dan dia menyokong Muawiyah, memujinya serta menyebut sesuatu kebaikan yang dia bukan ahlinya. Sikap beliau demikian meruntuh kerajaan (Islam) yang telah dibina oleh Amirulmu’minin akan tetapi (walaupun sikapnya demikian). Saidina Ali a.s. tidak berkuasa hendak memecatnya, kerana orang sebelumnya telah melantiknya”. 19

Ulasan:

Di akhir petikan di atas nampak kepada kita Sayyidina Ali r.a. takut kepada orang. Di manakah sifat berani yang ada pada Ali yang diakui oleh ahli Sunnah dan Syiah sehingga dia tidak berani merubah kesalahan? Ini tidak betul.

Sikap Khomeini tidak mengiktiraf kadi yang dilanlik oleh kerajaan Islam yang bukan daripada kalangan Syiah, sebagaimana di atas itu bukanlah perkara baru bagi orang-orang Syiah, bahkan sikap demikian telah dipegang oleh ulama mereka dahulu dan sekarang.

Al-Kulaini, pengarang Kilab “al-Kafi” juga mengambil sikap yang sama, beliau berpendapat mana-mana kadi atau imam yang bukan daripada kalangan Syiah dianggap sebagai Taghut, dan sesiapa yang berhakimkan kepada kadi tersebut, maka orang-orang dianggap sebagai berhakim kepada Taghut. 20

Jadi daripada petikan-petikan dan ulasan di atas jelaslah bahawa dalam kitab “al-Hukumah al-Islamiyyah”, tulisan Khomeini itu terdapat banyak perkara yang berlawanan Ulama Ahli Sunnah, dan banyak pula kata-kata yang menghina Abu Bakar, Umar, Uthman dan Muawiyah juga kerajaan Umawiyyah dan Abbasiah. Dari sini penulis mengambll kesimpulan bahawa pendapat beliau itu tidak boleh diterima dan serentak dengan itu beliau tidak perlu disanjung tinggi oleh setiap umat Islam pengikut Ahli Sunnah.

Kemudian di bawah ini mari kita cuba melihat pendapat Khomeini dalam Kitab “Kasyf al-Asrar”.

B) PENDAPA T KHOMEINI DALAM KASYF DAN ULASAN

Dalam dua belas jawaban Khomeini dalam kitab di atas didapati banyak buah pikirannya yang tidak tepat dan berbeza dengan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah. Antaranya beliau berpendapat meminta sesuatu hajat daripada orang-orang mati atau batu-batu kubur tidak syirik, imam-imam mereka tidak terkena dosa bahkan ma’sum. Khalifah Abu Bakar dan Omar semasa hidupnya melakukan kesalahan yang berlawanan dengan al-Quran dan hadith. Malaikat Jibril turun membawa wahyu kepada Saidatina Fatimah binti Rasulullah s.a.w. selepas kewafatan baginda dan Rasulullah s.a.w. takut kepada orang ramai untuk menyampaikan risalahnya dan lain-lain.

Dibawah ini diterangkan perkara itu dengan ringkas berserta dengan ulasannya.

i) MEMINTA SESUATU DARIPADA KUBUR ATAU DENGAN BATUNYA TIDAK SYIRIK

Semasa menerangkan mengenai tauhid beliau menyebut bahawa meminta sesuatu hajat daripada kubur atau batu dan tanah kubur imam-imam mereka tidak dianggap syirik. Di bawah tajuk kecil, “Meminta sesuatu hajat daripada orang mati tidak syirik”, beliau berkata,” Maka dengan itu meminta sesuatu hajat daripada batu kecil atau daripada batu besar tidak syirik, sekali pun (cara itu) satu amalan yang batil. 21

Kemudian dalam menjawab soalan yang berbunyi: “Adakah meminta syafa’at daripada tanah (kubur para imam) dianggap syirik?”

Beliau berkata:-

” Perkara itu tidak dianggap syirik dan kufur, apabila berlaku permintaan itu atas asas atau anggapan bahawa Allah berkuasa menerima permintaan melalui (imam-imam) yang bermati-matian kerana mempertahankan agama dan mengorbankan nyawa kerana Allah”. 22

Di tempat lain beliau menyebut, ” Kalau seseorang sakit datang menziarahi mana-mana kubur imam dan meminta supaya disembuhkan penyakitnya, maka penyakit itu akan sembuh.”

Beliau berkata:- ” Akan tetapi banyak kita dengar tentang kubur imam dan sesungguhnya kita tahu bahawa beratus-ratus ribu orang yang datang melawat ke kubur-kubur imam pada tiap-tiap tahun dan mungkin di dalam beberapa tahun itu akan lahirnya seorang yang dikehendaki oleh Allah akan sembuh penyakitnya dengan sebab dia berdamping dengan kubur imam-imam itu. Kalau sekiranya kamu pergi ke kubur dan meminta daripada Allah supaya disembuhkan daripada penyakit ganjil dan bodoh -Kedua-duanya adalah seburuk-buruk penyakit- mungkin doa kamu diterima dan jangan kamu berputus asa dari pada rahmat Allah ” 23

Di tempal lain beliau menambah:-

“Sesungguhnya Allah telah memberi kuasa kepada tanah untuk menghidupkan roh, dan tidak harus seseorang berkata bahawa Allah tidak berkuasa -hendak menjadikan tanah yang tidak ada roh -boleh menghidupkan semua sesuatu”. 24

Ulasan:

Petikan di atas jelas bahawa Khomeini membolehkan seseorang meminta sesuatu hajat daripada kubur daripada batunya dan tidak dianggap syirik, sedangkan perkara itu adalah syirik besar kerana memohon sesuatu kepada yang lain daripada Allah s.w.t. menyembuh penyakit jahil dan bodoh ia boleh dilakukan dengan roh imam mereka di kubur. Cara ini menyalahi sunnah Allah dan berlawanan dengan ajaran Islam serta dengan sebab-musabab yang diharuskan. Islam mengajar ummatnya supaya berubat dengan cara yang halal. Penyakit jahil dan bodoh hendaklah diatasi dengan belajar di samping berdoa kepada Allah S.W.T. Penyakit ini biasa pula hendaklah diubat melalui ruwatan. Rasulullah s.a.w. menyebut tidak ada penyakit yang tidak ada ubat kecuali mati.

ii) MEMBINA QUBBAH ATAS KUBUR IMAM DAPAT PAHALA BESAR

Khomeini juga membenarkan pengikutnya membina Imam atau qubbah di atas kubur-kubur imam dan sesiapa yang membina qubbah itu akan diberi pahala yang besar serta dihapuskan dosanya. Bagi menguatkan pendapatnya, beliau menyebul pendapat ‘Syeikh al-Thusi’ yang menyebul bahawa :-

“Sayyidina Ali bertanya Rasulullah s.a.w., dan Baginda berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau (wahai Ali) akan berpindah ke Iraq dan akan dikebumikan di bumi Iraq”. Kemudian Ali bertanya lagi, Wahai Rasulullah, apakah balasan pahala bagi orang datang menziarahi kubur-kubur kami dan mendirikan bangunan qubbah di atasnya?”, Rasulullah men.iawab, ‘Wahai Abu al-Hasan (Ali), sesungguhnya Allah menjadikan kubur engkau dan kubur anak-anak engkau sebagai satu kawasan syurga dan sebagai satu tanah lapang daripada tanah lapang syurga. Allah telah memilih beberapa orang daripada makhluk-Nya dan memasukkan rasa kasih sayang kepada kamu di dalam hati mereka, dan mereka sanggup menanggung bala bencana dan kehinaan kerana mempertahankan kamu. Mereka mengulangi membina kubur-kubur dan datang menziarahi kamu (di kubur) sebagai tanda taqarrub mereka kepada Allah dan Rasul-Nya Sesungguhnya sesiapa yang membina kubur-kubur Kamu dan datang menziarahinya, maka pahalanya sama seperti dia bersama pengikut Nabi Sulaiman bin Daud membina al-Quds. Sesungguhnya sesiapa yang datang menziarahi kubur-kubur kamu, dia akan memperolehi pahala sebanyak 70 kali haji selain Haji Islam (haji wajib), dan dihapuskan dosanya serta jadilah dia (bersih daripada dosa) seperti kanak-kanak yang baru lahir daripada perut ibunya’. 25

Ulasan:

Lihatlah betapa beraninya Khomeini memetik riwayat palsu yang disebut oleh at-Thusi, sedangkan pendapat beliau itu berlawanan dengan hadith yang melarang umatnya membina qubbah di ata kubur.

Rasulullah s.a.w .bersabda:26

Jabir r.a. berkata,  Rasulullah s.a.w. melarang menambak kubur, duduk di atasnya dan membuat binaan di atasnya.

Mengenai membina Qubbah di atas kubur ini ramai ulama menegahnya,Imam asy-Syafie berkata:-

“Sesungguhnya aku suka meninggikan kubur sekadar sejengkal (mengatasi tanah biasa) dan aku suka jangan dibina sebarang bangunan dan tembok” 27

Ibn Hajar al Haitami dalam kitab al-Zawajir berkata:-

“Dan wajib disegerakan meruntuh masjid-masjid dan bangunan-bangunan qubbah di atas kubur kerana bangunan itu lebih mudarat atau lebih bahaya daripada ‘Masjid Dhirar’ kerana ia diasaskan di atas maksiat kepada Rasulullah s.a.w.”. 28

Imam al-Syaukani pula menyebut:

“Berapa banyak telah berlaku kerosakkan disebabkan pembinaan qubbah di atas kubur dan memperelokkannya, antara kerosakan itu ialah orang-orang jahil beriktiqad mengenai binaan itu sama seperti iktiqad orang-orang kafir terhadap berhala mereka, sehingga mereka memuja dan memuliakan (bangunan dan kubur tersebut), kerana menganggap perkara itu berkuasa memberi sesuatu manfaat kepadanya dan dapat mengelak sesuatu bala”. 29

Selain daripada itu Nabi sendiri tidak ada menyebut ganjaran pahala yang begitu besar akan diberikan kepada orang yang membina kubur-kubur imam dan yang datang menziarahinya. Apa yang ada Baginda sebut, menziarahi kubur adalah sunat kerana ia boleh mengingati mati dan hari Akhirat.

iii) SAYYIDA TINA FATIMAH MENERIMA WAHYU

Antara pendapat Khomeini lagi dia mengatakan Sayyidatina Fatimah menerima wahyu daripada Malaikat Jibril selepas Baginda s.a.w. wafat. Beliau berkata:-

“Dalam hadith disebut bahawa selepas baginda wafat, Malaikat Jibril datang kepada Fatimah membawa beberapa berita ghaib dan Amiral-mu’minin (Ali) menjalankan tugas menulis berita ghaib itu dan itulah dia Mashaf Fatimah”. 30

Ulasan:

Adakah seseorang selain daripada Nabi dan Rasul menerima wahyu Allah? Mengikut aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah, orang yang menerima wahyu Allah hanya Nabi dan Rasul sahaja. Anak-anak para Rasul tidak pernah menerima wahyu kecuali jika dia juga menjadi nabi, seperti Nabi Sulaiman anak Nabi Daud a.s.

Apakah yang dimaksudkan oleh Khomeini bahawa wahyu tersebut adalah ‘Mashaf Fatimah’? Adakah ia memberi maksud, “al-Quran lain yang diturunkan kepada Fatimah sebagai tambahan kepada al-Quran mashaf Uthman? Kalau inilah maksudnya, adakah ia berbeza dengan al-Quran mashaf ‘Othman itu? Jika “Ya!”, maka sikap Khomeini itu sama dengan sikap ulama-ulama Syiah lain yang mengatakan al-Quran mashaf Uthman yang ada sekarang telah diubah dan dikurangkan beberapa ayat oleh Saidina Uthman. Manakala mashaf yang tidak diubah ialah “Mashaf Fatimah”.

Hajj Mirza Husin bin Muhammad Taqi al-Nuri al-Tabarsi – seorang ulama agung Syiah -telah berpendapat demikian dan pendapatnya itu disokong olah ulama-ulama Syiah lain. Kerana itu pada tahun 1292H beliau menulis kitab berjudul :-

“Kata Putus Untuk Membuktikan Berlakunya Penyelewengan Kitab Suci Tuhan”

Dalam kitab ini beliau menyebut bahawa beratus-ratus pendapat ulama Syiah yang lain daripada pelbagai zaman mengatakan bahaw al-Quran sekarang telah berlaku penambahan dan pengurangan”. 31

Kalau inilah pandangan Khomeini, alangkah beraninya dia membuat tuduhan yang bukan-bukan terhadap al-Quran itu sendiri dan juga terhadap sahabat Rasulullah s.a.w., khususnya Saidina Uthman r.a.

IV) TUDUHAN TERHADAP SAHABAT-SAHABAT RASULULLAH S.A.W DAN MENGHINA MEREKA

Dalam tajuk “al-Imamah”, Khomeini menyebut Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Uthman banyak melanggar hukum-hukum al-Quran dan Hadis Rasul. Beliau mengatakan mereka gila kuasa, memeluk Islam secara nifaq, bertujuan mendapat kekuasaan. Sayyidina Uthman dan Muawiyah ialah sahabat yang bodoh dan tidak layak menjadi khalifah. Beliau menyebut hal ini dengan katanya :-

“Kami di sini tidak ada sebarang hubungan dengan kedua-dua syeikh (Abu Bakar dan Umar) terhadap apa yang mereka lakukan yang berlawanan dengan al-Quran dan mempermainkan hukum Ilahi, menghalalkan dan mengharamkan sesuatu mengikut sesuka hati mereka, dan melakukan kezaliman ke atas Sayyidatina Fatimah, anak Rasulullah s.a.w.. Tetapi kami mahu menjelaskan tentang kejahilan mereka berdua terhadap hukum-hukum Ilahi dan agama, iaitu:-

Abu Bakar menjatuhkan hukuman potong tangan kiri ke atas seorang pencuri, dan membakar seorang pencuri yang lain, sedangkan hukuman tersebut adalah haram. Beliau jahil mengenai hukum pusaka, beliau tidak menjatuhkan hukuman qisas ke atas Khalid bin al-Walid yang membunuh Malik bin Nuwairah dan mengambil isterinya pada malam itu juga.

Adapun Umar, maka amalannya (yang menyalahi hukum) tidak dapat dihitung banyaknya. Antaranya dia menyuruh melaksanakan hukum rejam ke atas perempuan mengandung dan ke atas perempuan gila. Adapun Uthman, Muawiyah dan Yazid, maka orang ramal semua tahu keadaan mereka bertiga dengan jelas”. 32

Kemudian beliau menambah lagi :-

“Orang seumpama mereka ini yang jahil lagi bodoh melakukan kezaliman, tidak layak memegang jawatan lmamah dan menjadi Ulu al-Amri”. 33

Di tempat lain disebut:-

“Di awal-awal Islam beberapa orang sahabat Nabi yang terkenal suci dan bersih agamanya seperti Amirul- Mu’minin Ali, Sayyidina Hassan, Husin, Salman al- Farisi, Abu Dhar, al-Miqdad, ‘Ammar, al-Abbas dan Ibn Abbas, mereka semua bangkit menentang (Abu Bakar dan Umar) dan mereka mahu melaksanakan perintah Allah dan perintah Nabi mengenai Ulu al-Amri”. Tetapi pakatan yang lahir bersama lahimya manusia dan kerana pengaruh hawa nafsu itulah yang menolak kebenaran. Perlantikan Abu Bakar di Saqifah untuk memerintah dianrgap bermulanya perletakan batu asas yang salah. 34

Ulasan:

Dari sini jelas bahawa Khomeini begitu berani membuat tuduhan karut kepada Abu Bakar, Umar, Uthman dan Muawiyah, sehingga dikatakan sahabat ini jahil dan bodoh, tidak mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya serta melanggarnya. Kalau sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan Uthman dianggap jahat, jahil dan banyak melanggar hukum Allah, maka mengapa Baginda menggolongkan mereka bertiga ke dalam kurnpulan 10 orang sahabat  yang dijamin masuk syurga. 35

Kalau Abu Bakar jahat, mengapa Baginda mengambil beliau menjadi temannya semasa berhijrah dan mengambil Saidatina Aisyah sebagai isteri Baginda, dan Abu Bakar sebagai mertuanya. Kalau Umar jahat mengapa Baginda mengahwini anaknya Hafsah dan mengapa Sayyidina Ali mengahwinkan anaknya Ummi Kalthom dengan Umar, dan kalau Sayyidina Uthman juga jahat mengapa Nabi mengahwini kedua-dua anaknya Ummi Kalthom dan Ruqaiyyah dengan Uthman? Manakala Muawiyah pula mengapa dilantik oleh Baginda sebagai seorang penulis wahyu dan dilantik oleh Abu Bakar, Umar dan Uthman menjadi gabenor di Syam beberapa tahun? Adakah Rasulullah bersabahat dengan orang jahat.? Tentu tidak!

Sebenarnya sahabat-sahabat tersebut bukan jahat dan jahil sepertimana yang didakwa oleh Khomeini, tetapi beliau dan golongan Syiah keseluruhannya sengaja membenci ramai para sahabat Rasulullah s.a.w.. Manakala tuduhan yang dikemukakan oleh Khomeini terhadap ketiga-tiga orang sahabat Nabi itu sebenarnya telah dijawab oleh ramai ulama Ahli Sunnah dalam mereka seperti Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab ”as-Sawaiq Muhriqah Fi al-Radd Ala Ahl al-Bida’ Wa al_Zandaqiyah” dan oleh asy-Syeikh Abdul Aziz ad-Dahlawi dalam “Mukhtasar at-Tuhfah al-Ithna Asyariyyah” dan lain-lain lagi.

V) SEBAB-SEBAB AL-QURAN TIDAK MENYEBUT DENGAN TERANG TENTANG PERLANTIKAN ALl MENJADI PENGGANTI BAGINDA S.A.W.

Selepas Khomeini menerangkan kejahilan Abu Bakar, dan Uthman dan kezaliman mereka, beliau menyebut yang al-Quran ada menjelaskan secara terus terang mengenai perlantikan Ali menjadi pengganti Rasulullah s.a.w. Tetapi ayat-ayat itu dibuang sahabat Rasulullah s.a.w. yang ada kepentingan. Katanya:-

“Kita yakin bahawa jika sekiranyaAllah menyebut perkara itu dengan terus terang dalam al-Quran, maka perselisihan tidak akan terhapus, bahkan beberapa penyelewengan lain tetap akan berlaku pula”. 36

“Kalaulah di dalam al-Quran Allah menyebut mengenai pcrlantikan imam (Ali) maka siapakah yang dapat memberi jaminan perselisihan sesama Islam tidak akan berlaku, kerana mereka yang mendakwa dirinya beragama Islam dan sahabat, juga oleh kerana mereka telah membuat pakatan, tentunya mereka tidak berpegang dengan ayat-ayat al-Quran dan mereka yang gila kuasa apabila mendapati matlamat mereka tidak tercapai dengan Islam, mereka akan menubuhkan pakatan (jahat) bagi menentang Islam”. 37

“Kalaulah masalah Imamah telah dijelaskan oleh al-Quran dengan terang, maka mereka yang tidak mengambil berat terhadap Islam dan al-Quran -kerana mereka gila kuasa -tentunya akan mengambil al- Quran sebagai cara bagi mencapai matlamatnya, iaitu dengan membuang ayat-ayat al-Quran dan menggugurkannya daripada dilihat oleh orang ramai buat selama-lamanya”. 38

Ulasan:

Alangkah beraninya Khomeini membuat tuduhan palsu kepada Khalifah Rasulullah s.a.w. dan lain-lain lagi sehingga dikatakan mereka berani menghapuskan ayat-ayat al-Quran demi untuk memperolehi hajat dan kuasa pemerintahan.

Kalau kita terima dakwaan beliau yang mengatakan para sahabat , berani mengubah al-Quran, ini bererti dakwah dan didikan Nabi terhadap para sahabat tidak berjaya dan tidak berkesan, dan dakwah Baginda dianggap sia-sia. Baginda tidak dapat membentuk peribadi para sahabat dengan peribadi Islam. Kalau inilah yang berlaku, maka bukan sahabat sahaja yang dituduh oleh Khomeni, tetapi termasuk juga Rasulullah sendiri. Kalau ini berlaku, maka siapalah lagi yang mendapat didikan Baginda? Barangkali hanya Khomeini dan ulama-ulama mereka sahajalah yang mendapat didikan Rasulullah s.a.w. yang sebenar.

VI) ABU BAKAR DAN UMAR MELANGGAR HUKUM AL-QURAN

Tidak cukup dengan tuduhan-tuduhan di atas dilemparkan kepada Abu Bakar dan Umar, bahkan ditambah lagi dengan tuduhan lain, sehingga dibuat dua tajuk khas. Pertama: Abu Bakar menyalahi al-Quran. Kedua: Umar menyalahi Kitab Allah. 39

Dalam lajuk pertama Khomeini menyebut:-

“Di sini kami terpaksa menyebut beberapa contoh kedua-dua (Abu Bakar dan Umar) menyalahi al-Quran, antaranya ialah:-

  1. Fatimah binti Rasulullah datang berjumpa dengan Abu Bakar dan meminta pusakaayahnya. Abu Bakar menjawab bahawa Nabi bersabda maksudnya: “Kami para Nabi tidak membahagikan pusaka, apa yang kami tinggal adalah sedekah “.  Pendapat Abu Bakar ini berlawanan dengan ayat 5-6 Surah Maryam ! 40
  2. Semua ulama sepakat mengatakan satu bahagian daripada harta zakat mesti diberi kepada orang muallaf bahkan boleh diberi kepada orang kafir 1/3 daripada harta zakat untuk mengambil hati mereka dan untuk menarik mereka memeluk Islam akan tetapi Abu Bakar menggugurkan hukum ini dengan perintah Umar. 41

Dalam tajuk kedua Khomeini menyebut beberapa contoh Sayyidina Umar melanggar hukum al-Quran, diantaranya dikatan beliau mengharamkan Nikah mut’ah. Umar menghukum jatuh talak tiga bagi suami yang menceraikan isterinya dengan talak tiga serentak. 42 Selepas menyebut perkara itu Khomeini berkata,

Daripada semua yang telah disebut di atas, jelaslah kedua-kedua Syeikh (Abu Bakar dan Umar) melakukan perkara berlawanan dengan al-Quran”. 43

Ulasan:

Daripada petikan ini jelas sekali Khomeini masih tidak berpuas hati dengan tuduhan-tuduhan sebelumnya terhadap Abu Bakar dan Umar, ditambah lagi dengan tuduhan-tuduhan lain seperti dalam contoh-contoh di atas.

Mengenai Abu Bakar tidak memberi pusaka kepada Fatimah, Abu Bakar tidak jahat dan beliau tidak membuat hadith palsu, sebagaimana didakwa oleh Khomeini, tetapi kerana beliau mahu mengikut perintah Nabi di dalam hadith sebagaimana yang dijelaskan, hadith yang diterangkan oleh Abu Bakar itu adalah hadith sahih. Ibn Taimiyah menyebut :-

“Hadith tersebut telah diriwayatkan oleh ramai para sahabat tennasuk Abu Bakar, Umar, Uthman, Ali, Talhah, al-Zubair, Saad, Abdul Rahman bin’ Auf, al-Abbas, isteri-isteri Nabi, juga Abu Hurairah r.a, kemudian ulama hadith meriwayatkan hadith itu daripada sahabat tersebut dan memasukkan ke dalam hadith dan musnad mereka”. 44

Apa yang didakwa oleh Khomeini bahawa sikap Abu Bakar itu berlawanan dengan ayat al-Quran, maka itu tidak timbul, kerana kedua-dua ayat yang dibawanya memberi maksud “mewarisi pangkat kenabian” bukan mewarisi harta pusaka. Ayat pertama bermaksud, Nabi Sulaiman mewarisi pangkatkenabian Nabi Daud. 45 Manakala yang kedua bermaksud Nabi Yahya mewarisi pangkat kenabian Nabi Zakaria. 46

Apa yang dikatakan Sayyidina Abu Bakar tidak memberi habuan kepada muallaf setelah mendengar pendapat Umar juga tidak boleh dianggap salah, kerana masa itu Islam telah kuat dan orang Islam telah ramai, kerana itu habuan tersebut tidak lagi wajib diberikan kerana semata-mata untuk memujuk dan mengambil hati golongan muallaf. Kerana itu apabila golongan tersebut datang kepada Umar meminta habuannya, Omar berkata: -Selepas dia berjihad “Habuan ini telah diberi oleh Rasulullah s.a.w. kepada kamu bertujuan untuk memuliakan Islam dan tidak perlu lagi memujuk atau mengambil hati kamu”. Apabila perkara ini diketahui oleh Abu Bakar, beliau bersetuju dengan keputusannya. Persetujuan itu tidak dibantah oleh ramai para sahabat -termasuk Sayyidina Uthman dan Ali, bahkan kedua-dua mereka tidak memberi habuan tersebut semasa pemenntahan mereka. 47

Kalaulah apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar itu salah, mengapa Khomeini hanya mencela Abu Bakar dan umar sahaja, dan tidak mencela Sayyidina Ali yang juga tidak memberi habuan itu semasa pemerintahannya?

Apa yang dikatakan Sayyidina Umar mengharamkan nikah mut’ah juga tidak benar, kerana nikah tersebut telah diharamkan oleh Rasulullah s.a.w. sendiri. Banyak hadith menjelaskan perkara ini, antaranya, hadith Muslim daripada ar-Rabii bin Sabrah al-Hujani bahawa Rasulullah s.a.w. bcrsabda, maksudnya: ” Wahai manusia, sesungguhnya dahulu aku telah mengizinkan kamu beristimta’ dengan perempuan (Nikah mut’ah), sesungguhnya (sekarang) Allah telah mengharamkan perkara itu sampai ke hari Qiamat. Sesiapa yang ada padanya perempuan (yang dinikah secara ini ) maka hendaklah dilepaskan dan jangan kamu mengambil daripadanya sebarang harta , yang kamu berikan kepada mereka walaupun sedikit sebagai maskahwin. 48

Jadi daripada ulasan-ulasan ringkas di atas dapatlah dibuat, kesimpulan bahawa Abu Bakar dan Umar sebenamya tidak melanggar hukum-hakam al-Quran dan hadis sebagaimana yang didakwa oleh Khomeini dan ulama-ulama Syiah yang lain tetapi apa yang dilakukan itu adalah menurut Sunnah Rasulullah s.a.w.

VII) DIKATAKAN RASULULLAH S.A.W. TAKUT HENDAK  MENYAMPAIKAN PERINTAH ALLAH

Perkara terakhir yang hendak disebutkan daripada apa yang ditulis oleh Khomeini dalam Kitab “Kasyf al-Asrar” ialah beliau menuduh Rasulullah s.a.w. takut dan gerun kepada umatnya untuk disampalkan perintah Allah mengenal perlantikan Sayyidina Ali. Baginda dituduh takut dan tidak berani hendak menerangkan hukum tersebut hingga turunnya ayat al-Quran memerintahkan supaya Baginda menyampaikan juga suruhan itu menerusi Firmannya: 49

Wahai Rasulullah, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu dan jika engkau tidak melakukannya, maka bermakna engkau tidak sampaikan perutusanNya, dan Allah jualah akan memeliharamu daripada (kejahatan) musuh (Al- Maidah, 67).

Mengikut beliau, setelah turunnya ayat ini barulah Rasulullah berani menyampaikan perintah tersebut, dan perintah itu katanya ialah perintah melantik Ali menjadi khalifah. Beliau berkata:

“Jelas bahawa Muhammad s.a.w. sampai ke waktu itu (waktu turunnya ayat di atas) telah menyampaikan segala hukum yang diisyaratkan Baginda di Ghadir Khum, kerana itu jelaslah perintah (dalam ayat di atas) adalah khusus mengenai perintah perlantikan Imam Ali”.

“Daripada himpunan dalil dan hadith jelas bahawa Nabi memang dan gerun kepada orang ramai bagi (menyampaikan) dakwah perlantikan imam. Sesiapa yang membaca sejarah dan hadith, dia akan tahu bahawa Nabi memang takut hendak menyampaikan (perintah itu), akan tetapi Allah memerintahkan Baginda supaya menyampaikan perintah tersebut dan menjanjikan mahu mengawalnya, dengan itu menyampaikan perintah Allah.” 50

Ulasan:

Pendapat Khomeini di atas tidak boleh diterima, kerana Baginda s.a.w. tidak pemah takut kepada sesiapapun. Tidak terdapat dalam sirah Rasulullah s.a.w., yang menyebut Baginda takut kepada selain daripada Allah. Perintah dalam ayat di atas bukannya perintah perlantikan Ali sebagaimana yang didakwa oleh Khomeini.

Ulama Ahli Sunnah berpendapat bahawa perintah tersebut sebenamya perintah Allah supaya Baginda menyampaikan -segala ajaran Islam yang diturunkan kepadanya -bukan perintah perlantikan Ali. Ibn Kathir semasa mentafsir ayat di atas berkata, “Allah Ta’ala bercakap dengan Nabi Muhammad s.a.w. (mewahyukan kepadanya) sebagai seorang Rasul dan seorang hambanya dengan memerintah kepada Baginda supaya menyampaikan segala ajaran agama yang disampaikan kepadanya, dan Rasulllah mengikut perintah itu serta mentaatinya dengan sempurna”. 51

KESIMPULAN

Daripada pendedahan pendapat Khomeini di dalam dua buah kitabnya bersama ulasan nngkas mengenainya dapatlah dibuat beberapa kesimpulan, antaranya:-

1)    Banyak pendapat Khomeini bercanggah dan berlawanan dengan pandangan Ahli Sunnah Wal-Jamaah khususnya mengenai aqidah, kedudukan para Sahabat Rasulullah, dan Imamah. Menurut Khomeini: Meminta sesuatu daripada kubur, batu-batu kubur dan qubbahnya tidak syink. Sayyidatina Falimah dikatakan menerima wahyu selepas Baginda wafat dan Nabi Muhammad s.a.w. di katakan takut kepada sahabat.

2)    Kerajaan Islam yang diiktiraf beliau hanya kerajaan di zaman Rasulullah s.a.w., zaman Sayyidina Ali dan di zaman anak cucunya, selepas itu. Kerajaan di zaman Abu Bakar, Umar, Uthman dan kerajaan Umawiyyah juga Abbasiyah tidak diiktirafnya sebagai kerajaan Islam.

3)    Menurut beliau, Nabi telah menentukan Ali menjadi Khalifah di Ghadir Khum, tetapi ditentang oleh ramai sahabat khususnya Abu Bakar, Umar dan Uthman. Sahabat tersebut dituduh sanggup mengubah al-Quran demi untuk kepentingan dunia dan kuasa.

4)    Kalau sekiranya sahabat-sahabat tersebut jahat, gila kuasa, dan lain-lain lagi, maka ini menunjukkan didikan Nabi tidak berjaya. Kalau ini berlaku, maka banyak ayat Quran dan hadith-hadith Nabi tidak boleh diterima, kerana disampaikan oleh sahabat yang tidak adil dan zalim. Sedangkan yang sebenarnya tidak demikian.

5)    Bukan setakat itu sahaja penyelewengan Khomeini, bahkan beliau mengharuskan meroboh masjid jika perlu dan membatalkan hukum-hukum Islam. Dalam majalah “al-Baith al-Islam” yang dicetak di India bilangan 34, keluaran bulan Safar 1401H, ada memetik katak-kata Khomeini, antaranya, “Harus bagi pemerintah menutup masjid ketika perlu dan meruntuhkannya. Juga pemerintah boleh menghapus atau membatalkan mana-mana hukum daripada hukum Islam sama ada hukum-hukum ibadat atau lain-lain apabila hukum tersebut didapati menyalahi kepentingan Islam, juga pemerintah boleh menegah rakyat daripada menunaikan haji yang menjadi hukum Islam yang penting apabila ia boleh mendatangkan kemaslahatan kepada kerajaan Islam”.

CADANGAN

Untuk mengakhiri penulisan ini penulis mencadangkan beberapa perkara. Antaranya:-

1)    Para pem baca sekalian hendak1ah mengam bil berat tentang pandangan Khomeini dan pandangan Syiah seluruhnya, dan jangan terpengaruh tanpa usul periksa betul salahnya.

2)    Pembaca yang berkemampuan diminta membaca buku-buku Arab dan lain-lainnya mengenai Syiah daripada karangan ulama Ahli Sunnah dan lain-lainnya. Dan maklumat yang diperolehi hendaklah disebarkan kepada umum, kerana dikhuatiri akan ramai golongan Ahli Sunnah akan menjadi Syiah atau bermazhab Syiah, terpengaruh dengan dakyah menghalalkan nikah mu’tah, sembahyang Jama’ dan lain-lain.

3)    Setiap dakyah dan propaganda mengagungkan Syiah dan Khomeini yang dilakukan oleh sesiapa sahaja perlu diawasi dan perlu berhati-hati supaya tidak terpengaruh. Pihak-pihak berkenaan dengan hal ehwal keagamaan seperti Majlis Agama Islam, Pusat Islam dan lain-lain, hendaklah peka terhadap perkembangan Syiah di Malaysia sekarang, dan menghadapinya dengan bijaksana dan jika perlu mengharamkan risalah-risalah dan buku-buku Syiah .

NOTA KAKI

  1. Lihat catitan di awal kitab “Al-Hukumah al-Islamiyyah”.
  2. Lihat kulit belakang “Kitab Kasyf al-Asrar”, Arab.
  3. Lihat Syeikh Muhammad Manzur Nu’mani,”al-Thaurah al-Iraniyyah”, hal: 49.
  4. ” Al-Hukumah al-Islamiyyah”, hal: 52.
  5. Ibid.
  6. Ibid.
  7. Ibid, hal: 51.
  8. Ibid, hal: 113.
  9. “Al-Hukumah al-Islamiyyah”, hal: 26.

10.  Ibid, hal: 18.

11.  Ibid, hal: 19.

12.  Ibid, hal: 131-132, Dr. Abdullah Mohd al-Gharib, ” Waja’a Daur al-Majus”, hal: 173.

13.  Ibid, hal: 98.

14.  Lihat Syah Ab. Aziz Waliyyullah al-Dahlawi, “Mukhtasar at- Tuhfah al-Ithna ‘Asyariyyah”, hal: 160.

15.  Ibid, hal: 160-161.

16.  Ibid, hal: 71.

17.   Ibid, hal: 33.

18.  Ibid, hal: 74.

19.  Ibid.

20.  Dr. Abdullah Muhammad al-Gharib, “Al-Khomeini Baina at-Tattarruf Wa al-I’tidal”, ha1: 31.

21.  “Kasyf al-Asrar”, (Arab), hal: 49.

22.  Ibid, hal: 59.

23.  Ibid, hal: 140.

24.  Ibid, hal: 62.

25.  Ibid, hal: 84.

26.  Al-Sayyid Sabiq, “Fiqh al-Sunnah”, juzuk 1, hal: 554.

27.  Ibid, juzuk 1, hal: 548.

28.  Ibid, hal: 549-550.

29.  Ibid, hal: 549.

30.  “Kasyf al-Asrar”, hal: 143.

31.  A-Sayyid Muhibuddin al-Khatib, “Al-Khututal-Aridhah”, hal:9.

32.  Ibid, hal: 126-127.

33.  Ibid.

34.  Ibid, hal: 128.

35.  LihatTermizi,juzuk,5, hal: 311, al-Jami’ al-Saghir,juz: 6.

36.  Kasyf al-Asrar, hal: 129.

37.  Ibid, hal: 130.

38.  Ibid, hal: 131.

39.  “Kasyf al-Asrar”, hal: 131:135.

40.  Ibid, hal: 132.

41.  Ibid, hal: 134.

42.  Ibid, hal: 135-136.

43.  Ibid, hal: 138.

44.  Ibn Taimiyyah, “Minhaj al-Sunnah”, juzuk 2, hal: 158.

45.  Lihat, “Pimpinan al-Rahman”, hal: 977.

46.  Ibid, hal: 747-748.

47.  Al-Sayyid Sabiq, “Fiqh al-Sunnah”, juzuk 1, hal: 389-390.

48.  “Sahih Muslim”, juzuk 2, hal: 1025.

49.   Surah al-Maidah, ayat: 67.

50.  “Kasyf al-Asrar”, hal: 150.

51.  Ibn Kathir, Tafsir al-Quran al-Azim, juzuk, 2, hal: 77.

UGAMA SYIAH : VIDEO

Fail 1/21: Dengan lawan sesuatu , kita mengenal sesuatu , gelap kita kenal kerana ada terang, demikian Syiah – Ajaran sesat yang tertua ialah Syiah – Satu Mazhab dalam Islam atau suatu agama baru – Syiah berpecah kepada 300 bahagian – Syiah Imam 12 mempercayai sahabat nabi

Fail 2/21

Fail 3/21

Fail 4/21

Fail 5/21

Fail 6/21 : Ciri-ciri Syirik

Fail 7/21 : Syiah  dan kavadi – Abdullah bin Saba – Perang Jamal dan Sifin – akidah syirik –

Fail 8/21

Fail 9/21

Fail 10/21

Fail 11/21

Fail 12/21

Fail 13/21: Takyiah – ugama dusta – semua manusia anak zina kecuali syiah

Fail 14/21 : Orang sunah = nasibi = najis – tanah karbala – sembahyang jumaat tidak wajib sehingga datang mahdi – perayaan syiah – karbala –

Fail 15/21 : 10 muharam – Imam Jaafar as Sadik di fitnah Syiah

Fail 16/21 : Imam Jaafar as Sadiq – Mengapa tidak Ismail sebagai Imam –

Fail 17/21 : Soaljawab

Fail 18/21 :Fakta tentang Ali , gagah atau lemah – tongkat ali – kacip fatimah – Nabi saw marah Ali nak kawin dengan anak Abu Jahal.

Fail 19/21 : Aurat bagi Syiah – Ali duduk atas riba aishah – Syiah menghina nabi

Fail 20/21 : akidah benteng yang perlu dijaga – mengawal pengaruh syiah –

Fail 21/21 : usaha mendekatkan suni syiah – adalah kerja sia-sia – dailog suni syiah adalah penipuan syiah -syiah adalah ugama bukan mazhab – PENUTUP